JAKARTA, GRESNEWS.COM - Gabungan perolehan suara partai politik berbasis Islam dalam pemilu legislatif, yang mencapai lebih dari 30 persen berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, terancam tak memiliki arti apa-apa. Pasalnya dengan hitungan kekuatan sebesar itu belum juga membuat partai-partai Islam berhitung untuk membentuk koalisi poros partai Islam yang lebih ajeg dan kuat. Terhalangnya pembentukan koalisi itu adalah karena masih kuatnya ego atau faktor ke-aku-an dari para pemimpin parpol berbasis Islam.

Karena itu tak heran jika wacana koalisi parpol Islam ini masih jalan di tempat. Padahal, jika terwujud akan menjadi koalisi alternatif, di luar koalisi yang digagas oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, atau Partai Gerindra. Sementara untuk faktor modal dan figur dinilai bisa bersaing dengan parpol peringkat tiga besar pemenang pileg.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menilai, keakuan itu menjadi dominan ketika perolehan suara paprpol berbasis Islam seperti yang digambarkankan beberapa lembaga survei, meningkat cukup tinggi dari prakiraan sebelumnya. Akibatnya, muncul hasrat sendiri-sendiri untuk mendapatkan posisi menentukan dengan berkoalisi bersama salah satu partai tiga besar pemenang Pileg.

Padahal, kata Din, melihat perolehan suara partai Islam dalam pemilu legislatif, mereka harusnya kompak bersatu, bukan memilih jalan sendiri-sendiri. "Koalisi ini agak susah diwujudkan, apalagi sudah ada satu partai politik yang sudah mendeklarasikan dukungan kepada partai politik lain," kata Din usai diskusi "Membaca Arah Politik Partai Islam" di Jalan Mahakam, Jakarta Selatan, Sabtu (19/4).

Alasan lainnya, partai berbasis Islam saat ini tidak kompak lantaran di antara pemimpin partai berbasis Islam belum punya arah yang jelas yang secara bersama sama mempunyai satu visi misi. Din menilai keberpihakan partai-partai Islam belum bersifat substansif. Misalnya ekonomi dalam prespektif Islam itu tidak dilakukan. "Faktor lainnya adalah belum ada figur yang bisa ditonjolkan untuk mempersatukan partai politik berbasis Islam ini dalam pemilu presiden," ujarnya.

Faktor lainnya yang dianggap menjadi kendala adalah belum muncul figur yang bisa mempersatukan partai politik ini agar bisa bersaing dalam pemilihan presiden mendatang. "Salah satu kendala implementasi penyatuan partai-partai politik Islam adalah tidak memiliki figur yang bisa mempersatukan mereka dan bisa diterima masyarakat luas," ujar Ketua MUI ini.

Dekan Fisip Universitas Islam Negeri (UIN) Bahtiar Effendy menyatakan sikap berbeda. "Kenapa koalisi itu tidak dilakukan, soal menang atau kalah itu persoalan berikutnya ketika yang dikedepankan adalah nilai-nilai Islam. Padahal menurut saya ada figur yang bisa diterima semua parpol, seperti figur Amien Rais, Din Syamsyudin, Said Aqil Siradj, dan Jusuf Kalla," ujar Bahtiar.

Menurutnya, mereka adalah figur-figur yang pantas mempersatukan koalisi empat partai politik berbasis Islam. Sebab, kata dia, koalisi ini bukan untuk kepentingan diri sendiri dari parpol berbasis Islam, tetapi melibatkan kepentingan umum Islam secara lebih luas. "Kaum muslim di Indonesia masih punya harapan pada partai-partai Islam agar mereka bisa bersatu, terbukti dengan perolehan suara yang diraih partai-partai Islam itu dalam pileg," ujarnya.

Karena itu, ia mendorong agar partai-partai politik Islam tersebut melepaskan kepentingan partainya dan mengedepankan kesamaan pandangan dalam implementasi kebijakan politik secara substansif. Menurut Bahtiar, mestinya Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar percaya diri menggagas dan memimpin koalisi partai Islam. "Ini ironis, politikus partai Islam hanya merasa Islam penting dalam politik Indonesia, tapi tetap tidak ada yang mau menjadi calon dan wakil presiden," tegasnya.

Padahal, lanjut dia, jika semua suara partai Islam digabungkan akan memberikan posisi tawar politik kuat. Terkait masalah dana, menurut Bahtiar, tidak peru dikhawatirkan lagi akan kalah bersaing dengan parpol lain karena telah terbuki sangat mempengaruhi perolehan suara partai Islam dalam pemilu legislatif 9 April kemarin. Contohnya seperti yang terjadi kepada PKB, bergabungnya Rusdi Kirana cukup memengaruhi kampanye PKB di media massa, begitu juga dengan PAN.

Berbeda dengan PKB dan PAN, PPP mendapat perolehan suara yang kecil karena partai berlambang Ka´bah ini dianggap miskin uang. "Berbeda dengan survei yang melihat hanya dari sisi partai politik, pemilih sudah mulai melihat dari segi tokoh-tokoh yang ada di parpol," ujarnya.

Ketua Pengurus Besar Nahdhatul Ulama Slamet Effendi Yusuf menyatakan reaksi partai-partai Islam yang berwacana guna membentuk koalisi Islam bukan hal buruk. Sebab menurut dia, partai berbasis massa Islam macam PPP, PKS, PKB dan PAN menunjukkan masih ada suatu kekuatan politik tersembunyi.

"Isu-isu campur tangan asing, keterlibatan kaum pemodal, dan skenario global tentang politik Indonesia sudah merasuk ke lingkungan umat Islam dan menjadi pemicu adanya reaksi keinginan bersatu dari partai Islam guna melindungi kepentingan bangsa dan umat, karena itu kekuatan politik umat Islam sebaiknya tidak lagi dianggap cuma pelengkap," ujarnya.

BACA JUGA: