JAKARTA, GRESNEWS.COM - Partai politik peserta Pemilu 2014, saat ini tengah menggadang-gadang koalisi yang akan dan dibangun bukan atas dasar pembagian jatah kursi kekuasaan, seperti calon presiden, wakil presiden hingga posisi menteri. Partai seperti PDIP yang saat ini sudah menggandeng Nasdem, maupun Gerindra yang saat ini sudah menggandeng PPP, sama-sama mengklaim akan membangun koalisi untuk memperkuat sistem presidensial.

Hanya saja, tekad itu terancam hanya sekadar menjadi retorika politik belaka. Aktivis Petisi 28 Haris Rusly Moti menilai, sistem presidensial yang kuat tidak akan berjalan karena UUD 45 hasil amandemen saat ini tidak memungkinkan hal itu. "Sebetulnya masalah besar bangsa kita saat ini ada pada Pancasila sebagai dasar filosofi yang belum mempunyai operasional sistem baku, seperti ideologi besar lainnya, seperti kapitalisme, komunisme juga Islamisme," kata Rusly kepada Gresnews.com, Sabtu (19/4).

Padahal, kata Rusly, ideologi membutukan operasional sistem untuk mewujudkan ide-ide abstrak menjadi nyata dan  dirasakan manfaatnya. "Belajar dari umat Kristen, dasar filosofinya ada pada Yesus dan Kitab Injilnya," ujarnya. Namun ajaran Yesus menjadi nyata dan tersebar luas karena peranan dari Rasul Paulus yang membangun operasional sistemnya.

Sementara Pancasila saat ini, menurut Rusly, hanya judulnya saja Pancasila, tapi operasional sistem politik dan  ekonominya memiliki pahap liberalisme. "Sangat tepat philosophy grondslag-nya mengacu pada Pancasila 1 Juni Bung Karno. Namun, operasional sistem negaranya mengacu pada sistem negara yang pernah di pakai era Orde Baru, disertai sejumlah penyempurnaan," ujarnya.

Pertama, pembatasan masa jabatan Presiden. Kedua, hak politik tentara dibatasi. Ketiga, utusan golongan dan utusan daerah di MPR RI tak diangkat Presiden, tapi diutus oleh golongannya dan DPRD. Keempat, jaminan terhadap kemerdekaan berkeyakinan, berserikat dan berpendapat. Karena itu, kata Rusly, UUD45 harus dikembalikan ke bentuk aslinya dengan adanya amandemen pada keempat hal tersebut agar sistem presidensial yang kuat bisa berjalan.

Sebagai pengejawantahan Pancasila, UUD 45 saat ini malah lebih mengarah pada sistem liberal. Sistem politik pun bergeser dari sistem presidensial ke parlementer. Hampir semua kebijakan strategis harus melalui parlemen, bahkan memilih Panglima TNI, Kapolri dan Dubes, harus sepersetujuan parlemen. "Presidensil itu sebuah sistem, ditegakan hanya bisa pakai sistem UUD 1945 asli," tegasnya.

Rusly berpendapat, dengan operasional sistem era Orde Baru yang dikoreksi, Indonesia tidak akan seamburadul saat ini. Apakah hal ini tidak akan kembali ke rezim diktator? Kata Rusly hal itu tidak mungkin terulang kareana kemerdekaan menyampaikan pendapat melalui media sosial saat ini tak akan sanggup dirampas kembali oleh siapapun penguasanya. "Yang perlu kita jaga, jangan sampai kita mendesain sistem negara dengan dasar trauma. Orang yang trauma itu pasti gagal dalam melakukan resolusi," ujarnya.

Beberapa akademisi memang mendesak agar sistem presidensial diberlakukan kembali sebab sistem politik yang berlaku di Indonesia saat ini dinilai merugikan rakyat. Sistem yang semi parlementer membuat kebijakan pemerintah seringkali dijadikan komoditas politik di parlemen untuk kepentingan politik elit partai. Pengamat politik Paramadina Graduate Schools Abdul Malik Gismar mengatakan sistem politik Indonesia saat ini berjalan setengah-setengah, setengah presidensial dan setengah parlementer. "Jadinya presiden tidak mutlak menjalankan kekuasaannya," kata Malik kepada Gresnews.com, beberapa waktu lalu.

Menurut Malik, bila sistem presidensial murni dijalankan maka presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan mempunyai hak dan wewenang untuk menentukan siapa saja menteri yang duduk di kabinetnya. Termasuk menentukan siapa wakil presidennya.

Lebih lanjut Malik mengatakan, bila presiden bisa tegas menjalankan sistem presidensial secara murni, maka segala kebijakan tidak akan dipengaruhi oleh sistem koalisi yang dibangun. "Kalau presidensial dia punya kewenangan dan hak untuk menyusun kabinetnya sesuai yang dia mau. Tapi kalau parliamentary harus sesuai koalisi," kata Malik.

Malik mengatakan, kewenangan memilih menteri itu justru jauh lebih mandatoris bila diterapkan dalam sistem presidensial Indonesia. Menurut Malik hal itu dikarenakan presiden di Indonesia dipilih langsung oleh rakyat. Dengan dipilih tanpa perwakilan artinya presiden mempunyai mandat langsung dari rakyatnya untuk menjalankan pemerintahan dan negara.

Sistem presidensial juga lebih baik bila dijalankan di negara dengan sistem multipartai seperti di Indonesia. "Justru lebih bisa, karena hal itu akan menunjukkan bahwa pemerintahan tidak bisa sembarang dikendalikan oleh partai-partai lain," imbuhnya.

BACA JUGA: