JAKARTA, GRESNEWS.COM - Demi sejumput suara sejumlah kalangan kerap menggunakan sentimen Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) di Pilkada DKI 2017. Hal demikian dapat dilihat dari laporan yang dibeberkan Peneliti Pusat Data Bersatu (PDB) Agus Herta Soemarto di sela diskusi publik "Evaluasi Hasil Pilkada DKI Jakarta Putaran I: SARA, Isu atau Fakta" pada Jumat (17/3).

"Secara faktual, SARA bukan hanya sekadar isu. Pilkada DKI putaran I terindikasi kuat melibatkan isu SARA," kata Agus, Jumat (17/3). Uniknya, sambung Agus, praktek SARA pada pemilih beragama muslim sulit diidentifikasi. Sedang pada pemilih non-muslim, sentimen SARA itu sedikit banyak bisa dibuktikan.

"Suara pemilih muslim tersebar, sehingga tidak menunjukkan adanya konsentrasi di salah satu calon tertentu," katanya.

Calon gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang berasal dari etnis dan agama minoritas pun kecipratan sebaran suara pemilih muslim tersebut. Bahkan di beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan mayoritas penduduk beragama Islam, pasangan Ahok-Djarot masih dipilih sebagian besar umat Islam.

Sebagai contoh, di kawasan Tegal Parang yang penduduk muslimnya mencapai 96,2%, perolehan suara Ahok-Djarot sebesar 23,1%. Unggul cukup jauh dari pasangan Agus-Sylvi yang hanya meraup 14,2%. Pasangan Anies-Sandi mendapat 62,7% suara di wilayah ini.

Sedang di wilayah Sukabumi Selatan yang penduduk muslimnya 95,9%, Ahok-Djarot mendapat suara sebesar 22,6%. Unggul tipis dari pasangan Agus-Sylvi yang perolehannya sebesar 20,6%, tapi kalah jauh dari pasangan Anies-Sandi yang memperoleh 56,8% suara.

Namun di Kali Baru, wilayah dengan jumlah penduduk Muslim sebesar 97,7%, Ahok-Djarot menjadi juru kunci (25,5%). Anies-Sandi memperoleh suara 45,8%, sedang Agus-Sylvi memperoleh suara sebesar 28,7%.

Data di atas menunjukkan bahwa di wilayah mayoritas muslim, tidak ada pemenang telak lantaran Ahok masih mendapat suara yang signifikan. Hal demikian berbeda dengan perolehan suara Ahok-Djarot di wilayah dengan penduduk non-muslim. Di semua tempat itu, misalnya di Kelapa Gading, Gondangdia, Mangga Besar, dan Glodok, pasangan Ahok-Djarot mengungguli kedua pesaingnya.

"Ahok-Djarot adalah pasangan paling efektif yang memanfaatkan isu SARA di Putaran I Pilkada DKI," pungkas Agus.

TIDAK JATUH DARI LANGIT - Lepas dari data di atas, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menjelaskan, isu SARA jadi santer dibicarakan di tengah keriuhan Pilkada DKI lantaran penyebabnya jelas, tidak serta-merta muncul begitu saja. Menurut Siti, meski latar belakang suku maupun agama Ahok menegaskan identitasnya sebagai minoritas, hal demikian bukanlah penyebab utama isu SARA di Pilkada DKI 2017 mengemuka.

"SARA merupakan pintu masuk yang digunakan sebagian umat Islam sebagai akumulasi atas sejumlah kekecewaan yang mereka rasakan atas kebijakan dan gaya kepemimpinan Ahok sebagai gubernur," kata Siti, Jumat (17/3).

Sebelumnya, Siti menjelaskan, sebagai petahana, Ahok dikenal sebagai sosok yang tak lepas dari kontroversi. Dan kasus paling kontroversial yang ditimbulkan Ahok adalah kasus Al-Maidah 51. Inilah kemudian yang membuat serangan terhadap Ahok kerap dicap sebagai serangan berbau SARA. Padahal, sambung Siti, serangan itu tidak muncul dengan sendirinya. Sejumlah sebab yang turut melatari munculnya isu SARA itu antara lain kasus penggusuran warga Luar Batang, Bukit Duri dan sebagainya.

Siti juga menyampaikan hasil survei yang dilakukan Cyrus Network pada 2-7 Maret 2015 lalu. Dalam survei yang digelar di Jakarta melibatkan 1.000 responden itu, 50,3% responden menilai Ahok sebagai sosok yang tegas dan berani. Sedang 17,5% responden menyebut Ahok sebagai sosok yang temperamental.

Menurut Siti, pada dasarnya SARA bukanlah masalah besar bagi masyarakat muslim DKI, juga masyarakat muslim lain di Indonesia, dalam kaitannya dengan Pilkada. Pasalnya, dilihat dari peta politik Indonesia secara umum, umat Islam di berbagai daerah masih bisa menerima jika mereka dipimpin kalangan non-muslim. "Di Papua, misalnya, bersama dengan Partai Demokrat, partai Islam PKS turut mendukung pasangan non-muslim Lukas Enembe-Klemen Tinai dalam Pilgub Papua 2013," katanya.

Namun demikian, isu itu terus digoreng sebagian kalangan untuk meraih suara sebanyak-banyaknya, Lantaran itulah Siti mengingatkan, semua pihak yang berlaga di Pilkada DKI jangan sampai terus menerus menggunakan SARA sebagai senjata untuk menjatuhkan lawan.

Menurutnya, seperti halnya korupsi, SARA juga merupakan bahaya laten yang sanggup mengguncang kedaulatan negeri ini. "Sejarah Indonesia mencatat ada sejumlah kasus SARA yang pernah terjadi di Indonesia. Misalnya konflik antar etnis pada 1998, konflik antaragama di Ambon pada 1999, konflik antar etnis di Sampit pada 2001, dan konflik antar golongan Sunni-Syiah di Sampang Madura pada 2011," paparnya.

Untunglah data yang dirilis Pusat Data Bersatu (PDB) menunjukkkan bahwa persoalan SARA tidak dijadikan dasar mutlak bagi muslim DKI untuk menentukan pemimpin. Namun demikian, dengan terus diembuskannya isu SARA, Siti melihat bahwa Pilkada DKI merupakan cermin buram bagi wajah demokrasi negeri ini.

Karena itulah Pilkada mesti segera dibersihkan dari unsur SARA, agar masyarakat tidak alergi dengan demokrasi. "Jangan sampai gara-gara hal seperti isu SARA di Pilkada DKI ini, kelak rakyat bicara tidak perlu lagi demokras. Toh tidak ada gunanya,"pungkasnya.
MENGHIDUPKAN MENTAL KOLONIAL - Sementara itu, Sejarawan JJ Rizal menjelaskan, fenomena SARA yang mengemuka di Pilkada DKI secara tidak langsung malah membawa DKI Jakarta ke zaman kolonial.

Pemilik penerbit buku-buku sejarah Komunitas Bambu tersebut menjelaskan, konsep dasar pembangunan Kota Jakarta sebagaimana yang dikatakan Soekarno adalah membangun wajah-muka Indonesia. Dengan kata lain, Jakarta diproyeksikan sebagai kota yang dapat menampung sekaligus menampilkan spirit kebinekaan bangsa Indonesia, baik dari segi suku, agama, ras, maupun golongan.

"Jadi jelas sekali bahwa praktek politik SARA di Pilkada DKI telah merusak fondasi dasar pembangunan DKI Jakarta sendiri. DKI Jakarta dibangun bukan hanya untuk meruntuhkan struktur topografi kota kolonial, tapi juga struktur mental kota kolonial," kata JJ Rizal.

Ironisnya, sambung JJ Rizal, lewat Pilkada hari ini para politisi justru seolah tengah membangkitkan mental pemerintah kolonial yang penuh faksionalisme etnis dan agama. Sedang di saat bersamaan, faksionalisme keduanya justru tidak ada di masyarakat.

"Hal itu dibuat dan dihidupkan oleh pihak-pihak tertentu agar menjadi pembahasan politik. Mereka melakukan hal itu karena tidak punya gagasan dan prestasi yang bisa dibanggakan, selain memainkan isu SARA sebagaimana pemerintah kolonial," pungkas Rizal.

Terlepas dari persoalan SARA yang selama ini dianggap muncul lantaran provokasi umat Islam, pengamat politik Fachry Ali menilai, dalam kaitannya dengan aksi Bela Islam-aksi yang dinilai sebagai bentuk nyata politik SARA-ada fakta menarik yang luput dari pembacaan publik. Aksi Bela Islam disebut Fachry sebagai bagian dari proses modernisasi kesadaran politik umat Islam.

"Kalangan umat Islam di Jakarta mengalami modernisasi politik. Aksi Bela Islam merupakan upaya kalangan muslim terpelajar untuk  mencari tempat dalam struktur politik-ekonomi nasional," kata Fachry.

Fachry pun menyebut spirit aksi itu tak ubahnya dengan spirit Perang Padri, di mana kalangan agamawan merasa risih menerima fakta bahwa kehidupan di sekitarnya tidak berjalan sesuai ajaran dan norma yang semestinya berlaku saat itu. Perang Padri, yang mulanya merupakan perang horizontal antargolongan di Sumatera Barat, kemudian berubah menjadi perang terhadap kaum kolonial.

"Amat penting untuk memahami konteks sosiologi dan antropologi Indonesia jika bicara soal politik. Tanpa memahami keduanya, umat Islam akan terus dicap sebagai kalangan SARA," kata Fachry. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: