JAKARTA, GRESNEWS.COM - Langkah Anies Baswedan dan Sandiaga Uno untuk bertarung di ajang Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2017 sudah dimulai. Lepas dari berbagai kontroversi yang mengiringi diusungnya Anies-Sandiaga oleh Partai Gerindra dan PKS, keduanya kini tengah merancang strategi untuk bisa bersaing dengan dua pasangan lainnya yaitu petahana Ahok-Djarot dan Agus Yudhoyono-Sylviana Murni.

Gerindra dan PKS sendiri yakin pasangan ini akan bisa berbicara banyak dalam pilkada nanti. Anggota tim pemenangan Anies-Sandiaga, Syarif mengatakan, pasangan Anies-Sandiaga tidak diputuskan berdasarkan kepentingan jangka pendek. Pasangan ini, kata dia, punya chemistry politik yang terjalin sejak lama, sehingga PLS dan Gerindra yakin untuk mengusung mereka.

"Jika partai ibarat besan dan pasangan Cagub-Cawagub adalah pengantin, ternyata Anies dan Sandi ini sudah pacaran sejak lama, itulah sisi terangnya," kata Syarif, di Jakarta, Sabtu (24/9). Syarif menekankan, pasangan ini juga punya konsep yang baik dalam membangun Jakarta, tanpa menyakiti.

Hal senada juga disampaikan anggota tim pemenangan Anis-Sandiaga lainnya, Boy Sadikin. Boy yang baru saja keluar dari PDIP karena kecewa partai "wong cilik" itu malah mengusung Ahok, mengatakan, program kerja Anies-Sandiaga bukan program ´wah´ alias muluk-muluk. Program kerja yang ditawarkan bagi pemilih harus realistis alias masuk akal.

"Programnya nanti bukan program ´wah´, program muluk-muluk. Tapi program yang masuk akal contohnya mengatasi banjir, memperbaiki kelemahan KJP-KJS. Program memperbaiki kelemahan petahana saat ini yang harus diprioritaskan," kata Boy Sadikin, Senin (26/9).

Pembahasan program kerja ini menurut Boy baru akan dibahas setelah tim kampanye disusun. Rencananya Partai Gerindra dan PKS yang mengusung Anies-Sandiaga akan menggelar rapat pada hari Selasa (27/9) atau Rabu (28/9).

"Kita baru rapat minggu ini, Insya Allah hari Selasa atau Rabu karena akhir pekan kemarin pasangan calon sibuk tes kesehatan," sebutnya.

Boy meyakini dua parpol pengusung solid memenangkan Anies-Sandiaga hingga tingkat akar rumput (grass root). Tak ada masalah, dengan posisi Anies yang pada Pilpres 2014 berseberangan dengan Prabowo Subianto.

"Prabowo sudah menerima Anies jadi gubernur. Kalau ketum partai sudah bilang A berarti ke bawah A, tidak ada masalah dan tidak perlu diributkan. Ini bentuk kenegarawanan Pak Prabowo dengan menerima dan mengusung Anies," imbuh Boy

Tak jauh berbeda dengan pasangan Anies-Sandi, pasangan Agus-Sylviana juga menyatakan optimisme serupa. Meski diusungnya Agus sempat menimbulkan pertanyaan karena dinilai terburu-buru dan akan mengorbankan karir cemerlang Agus di militer, namun kubu pengusung pasangan ini yaitu Partai Demokrat, PKB, PPP dan PAN optimis, elektabilitas Agus-Sylviana bakal cepat terdongkrak.

Anggota tim pemenangan Agus-Sylvi, Didi Irwandi Syamsudin menjelaskan, dasar pertimbangan Poros Cikeas mengusung keduanya adalah prestasi. "Dalam pilkada, yang terpenting bukan masalah berapa lama atau berapa cepat kenal, tapi berapa prestasi yang sudah dibuat," katanya.

Didi pun menyebut perpaduan prestasi Agus di bidang militer dan akademik dengan prestasi Sylviana di bidang birokrasi adalah perpaduan ideal yang diharapkan dapat membawa ibukota ke arah yang lebih baik. "Kami ingin meyakinkan publik Jakarta bahwa pasangan ini akan memberi harapan dan terobosan baru, keduanya akan membawa Jakarta ke depan yang lebih manusiawi," tambah Didi.

Masing-masing partai peserta Pilkada memang menegaskan, calon yang mereka usung dalam Pilkada muncul dari pertimbangan yang matang. Namun demikian, Direktur Eksekutif IndoBarometer Muhammad Qodari memiliki pandangan,putusan semacam itu merupakan praktik eksperimen politik yang sifatnya out of the box, lebih-lebih dalam konteks Agus-Sylvi.

"Partai politik seperti kehilangan akal. Nama-nama yang sudah beredar ternyata elektabilitasnya relatif terbatas, sehingga bisa dipastikan nasibnya akan kalah. Ketimbang mengusung nama-nama itu, partai lebih memilih melakukan eksperimen politik dengan mengusung nama-nama yang selama ini tidak ada di daftar menu. Siapa tahu eksperimen ini berhasil menjatuhkan petahana," kata Qodari.

Qodari mengingatkan, hal utama yang mesti dilakukan Anies-Sandi dan Agus-Sylvi jelang Pilkada 2017 adalah sosialisasi. "Popularitas Anies dan Agus ada di kalangan menengah ke atas. Sedang pemilih DKI paling banyak merupakan kalangan menengah ke bawah. Dalam kurun waktu empat-lima bulan ke depan, Anies dan Agus harus sosialisasi habis-habisan," ujarnya.

Namun demikian Qodari juga menyebut, meski terbilang kurang dikenal dibanding Anies-Sandi, pasangan Agus-Sylvi amat diuntungkan oleh faktor Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ketua Umum Partai Demokrat tersebut dinilai Qodari masih punya basis massa yang kuat dan setia di Jakarta.

Selain itu, pengalaman SBY memenangkan pemilu dua kali dapat dijadikan cermin oleh Agus untuk memenangkan pilkada. "Pak SBY sudah berpengalaman dalam urusan kemas-mengemas pemilihan langsung. Pengalaman itu sangat berharga dalam urusan kemas mengemas seorang Agus," kata Qodari.

Saat ditanya soal pangkat militer Agus yang baru sebatas mayor sementara SBY berpangkat jenderal yang dinilai akan berpengaruh pada strategi Agus dalam memenangkan persaingan, Qodari menjawab ringan: "Ya, tapi ini mayor dengan beking mantan presiden," tegasnya.

ANTITESA PETAHANA — Para pesaing Ahok memang diprediksi akan menawarkan alternatif program dan pencitraan diri yang menjadi antitesa bagi pasangan petahana yang selama ini banyak dikritik karena melakukan banyak penggusuran dalam penataan kota. Pasangan Anies-Sandiaga misalnya, mengusung jargon ‘membangun tanpa menyakiti’, dan ‘membuat Jakarta lebih manusiawi’ yang menegaskan sikap berbeda dengan calon petahana.

Hal serupa juga diusung pasangan Agus-Sylvi yang mengusung jargon ´Jakarta untuk rakyat´. Jargon pasangan pesaing Ahok memang seolah mengambil jarak dari sisi lemah pasangan petahana selama ini yang dinilai memimpin DKI dengan tangan besi.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat, kasus penggusuran yang dilakukan Ahok selama tahun 2015 berjumlah 113 kasus. Sedang pada tahun ini, 325 lokasi telah dicanangkan sebagai target penggusuran. Di luar itu, pola komunikasi Ahok dengan rakyat juga terkesan penuh arogansi.

Hal-hal itulah yang dijadikan para pesaing untuk tampil sebagai antitesa Ahok di Pilkada DKI 2017. Dan terkait hal itu, ungkapan kesantunan pun mengemuka sebagai salah satu senjata yang dianggap sanggup menjungkalkan pihak petahana.

Syarif menekankan, faktor yang menyebabkan Jakarta masih damai adalah masih adanya nilai-nilai kesantunan. Sedang perilaku kasar yang selama ini ditunjukkan Ahok dianggapnya sebagai salah satu faktor yang dapat memicu konflik.

Meski belum menyampaikan program-programnya kepada publik secara resmi, Syarif menyatakan bahwa pasangan Anies-Sandi akan mengedepankan pengendalian harga kebutuhan pokok dan menciptakan lapangan pekerjaan sebagai dua program unggulan yang hendak ditawarkan kepada masyarakat DKI.

Upaya mencari kelemahan Ahok untuk kemudian dijadikan peluang para pesaing dianggap sebagai hal positif oleh Qodari. "Dalam kampanye harus mencari posisi yang berbeda, biar kelihatan di mana bedanya," kata Qodari.

Namun terkait stempel kasar yang selama ini dilekatkan pada Ahok, Qodari menegaskan bahwa stempel tersebut harus ditinjau ulang sudut pandangnya. "Jika Ahok diasumsikan kasar, maka yang dicari adalah yang santun, harus diteliti definisi kasar itu versi rakyat atau elit," katanya.

Menanggapi hal itu, anggota tim pemenangan Ahok-Djarot, Taufik Basari mengatakan, langkah timnya untuk mendukung Ahok dan Djarot adalah melakukan kampanye positif. Terkait itu, upaya konkret yang akan dilaksanakannya adalah meluruskan berbagai informasi tidak benar yang kadung sudah beredar.

"Itu yang akan kami luruskan lebih dulu. Kami juga akan memperlihatkan bagaimana program-program Smart City sudah berjalan," kata Taufik.

Taufik menegaskan, yang membedakan Ahok dengan para pesaingnya bukan semata soal kasar tidak kasar, lebih dari itu, Ahok dinilai Taufik tidak butuh pencitraan. "Istilahnya begini, Pak Ahok bilang sekarang lu nilai gua, kalau menurut lu gua gak berhasil ya jangan pilih gua, tapi kalau lu anggap gua berhasil ya ayo lanjutkan sama-sama. Itu yang membedakan Ahok dengan kontestan lainnya," katanya.

Meski dianggap tidak santun oleh banyak pihak, Sejarawan Jakarta JJ Rizal berpendapat, dalam tindak-tanduknya selama ini Ahok sebetulnya menerapkan pola-pola kesantunan. "Saat Olga Lidia bicara tentang penggusuran, Ahok berkata, tidak ada penggusuran di Jakarta, yang ada adalah relokasi," kata Rizal, kepada gresnews.com.

Rizal pun menambahkan, pola kesantunan yang diperagakan Ahok tak ubahnya eufimisme yang sebelumnya berhasil diberlakukan Orde Baru.

MENGOLAH CITRA TEGAS ALI SADIKIN - Tim pemenangan Ahok sendiri tidak menganggap sikap keras Ahok sebagai sebuah kelemahan. Mereka justru berupaya mengolah identitas Ahok yang kerap berkata kasar sebagai sebuah bentuk ketegasan dan mencoba melekatkannya dengan sikap Gubernur DKI yang fenomenal Ali Sadikin.

Hal itu dipandang sebagai sesuatu yang positif oleh Rizal. Dia mengatakan, pada dasarnya kesantunan tidak diperlukan dalam pembangunan kota seperti di Jakarta. Bercermin pada perilaku Ali Sadikin, Rizal mengatakan, sosok yang dikenal sebagai gubernur paling berhasil di DKI tersebut bahkan dikenal sebagai gubernur yang tidak santun.

"Sebagai gubernur, dia dikenal sangat tidak santun. Tapi dia tahu etik. Etik itu menyangkut nilai, dan nilai itu adalah nilai keadaban publik. Orang dianggap santun atau tidak santun diukur dari sejauh mana dia menghormati nilai-nilai publik," kata Rizal.

Ungkapan Rizal didasarkan pada satu kisah di masa kepemimpinan Ali Sadikin. Saat itu sebuah jembatan berusia tiga bulan di kawasan Jakarta Utara roboh. Ali pun menyelenggarakan konferensi pers dan mengatakan pada media bahwa robohnya jembatan tersebut adalah murni kesalahannya pribadi.

Setelah pertemuannya dengan media selesai, Ali mendatangi semua pihak yang terlibat dalam proyek pembangunan jembatan tersebut di satu ruangan. Ali menggampar mereka satu-satu bahkan dengan meneriaki mereka dengan sebutan monyet.

"Kesantunan tidak diuji pada omongan yang mulutnya manis dan penuh kirab suci. Kesantunan diuji dari seberapa kuat dia menjaga diri untuk tetap berkomitmen pada nilai-nilai sosial dan keadaban publik, yakni nilai hukum, nilai sosial, dan nilai budaya," tambah Rizal.

Rizal menegaskan, tantangan Gubernur DKI ke depan, siapa pun pemenangnya, adalah berperang melepaskan diri dari cengkraman oligarki politik dan konglomerasi liar. "Dalam buku 400 Tahun Kota Jakarta, Susan Blackburn mengatakan bahwa dalam sejarah yang panjang kota Jakarta itu punya hama paling berbahaya yang bernama oligarki politik dan konglomerasi liar. Hama tersebut menyebabkan pertumbuhan kota Jakarta menjadi rusak dan kerdil," papar Rizal.

Peta persaingan tiga kontestan Pilkada DKI yang masih dibeking segelintir nama lama dinilai Rizal sebagai bentuk oligarki. Sedang bentuk konglomerasi tampak jelas dalam konteks reklamasi Teluk Jakarta.

"Fenomena itu sangat kuat. Persoalan reklamasi terang-terangan memperlihatkan bagaimana hukum diabaikan dan dijadikan keset, bahkan tidak hanya melibatkan pemerintah provinsi Jakarta, tapi sampai tataran nasional. Kita bisa melihat jaringan aristokrasi uang dan aristokrasi politik kawin menciptakan sebuah ghetto, yakni kota tertutup untuk kelas mereka yang ekslusif," kata Rizal.

Dalam kaitannya dengan Pilkada DKI, Rizal mengkritisi sikap umum para politikus yang kerap tidak konsisten. "Waktu kampanye mereka mengidentifikasi diri dengan wong cilik. Namun selesai Pilkada, mereka ditawan langsung oleh kepentingan oligarki, politik, dan aristokrasi uang. Tiga pihak itulah yang akhirnya selalu menjadi sutradara perubahan kota," pungkasnya. (Gresnews.com/Zulkifli Songyanan/dtc)

BACA JUGA: