JAKARTA, GRESNEWS – Pasca pemilu legislatif 9 April kemarin, berbagai lembaga survei menyebutkan tiga partai akan menduduki posisi teratas. Dari hasil hitung cepat diketahui PDIP berada di urutan teratas dengan suara sebesar 19 persen, unggul dari Golkar di kisaran 14 persen dan Gerindra di kisaran 11-12 persen. Sebagai partai dengan hasil suara teratas, PDIP mulai melakukan penjajakan untuk koalisi dengan partai lainnya.

Hingga saat ini sudah ada dua partai yang telah resmi menyatakan akan berkoalisi dengan PDIP yaitu Nasional Demokrat dan Partai Kebangkitan Bangsa. Namun, dari pembicaraan dengan dua partai itu, PDIP sendiri sepertinya belum memutuskan siapa yang akan menjadi calon wakil presiden yang pas sebagai pasangan Jokowi di pemilu presiden 9 Juli nanti.

Pengamat politik dari SIGI Medrial Alamsyah mengatakan memprediksi PDIP akan mengambil calon wakil presiden untuk Jokowi dari kalangan militer. Ia melihat dari gaya kepemimpinannya, Jokowi memang membutuhkan partner yang kuat dan tegas.

Namun, ia menyayangkan tidak adanya figur yang kuat untuk dipasangkan dengan Jokowi. "Sekarang dalam lingkungan yang demokratis, saya tidak yakin ada militer yang berhasil. Mereka tidak punya pengalaman dalam dunia demokratis," ujarnya kepada Gresnews.com, Jumat (18/4).

Sementara sosok yang demokratis itu kata Medrial, justru ada di kalangan sipil. Dia menyebut Anies Baswedan bisa menjadi pasangan yang cocok untuk Jokowi sebagai wakil presiden, jika mengedepankan faktor ini. Ia menilai ada dua alasan kenapa layak untuk dipasangkan dengan Jokowi.

Pertama, Anies adalah sosok muda cerdas yang memiliki jaringan internasional dan basis massa yang jelas. Kedua, Anies punya kemampuan untuk mengatakan ketidaksukaan terhadap sesuatu dengan cara yang santun tapi tegas dan bersih.

Soal kemungkinan munculnya cawapres dari kalangan militer untuk dipasangkan Jokowi ini juga dibenarkan pengamat politik dari Charta Politika Arya Fernandez. Dia menjelaskan, untuk cawapres Jokowi kemungkinannya berasal dari kader partai, koalisi dengan partai lain, atau independen atau non partai.

Dari tiga kemungkinan itu, Arya memprediksi, PDIP akan menempuh jalan tengah yang bisa mengurangi tensi konflik antar kader dan antar partai koalisi.  "Mereka akan memilih cawapres yang bisa diterima oleh orang-orang internal dan partai koalisi," ujarnya kepada Gresnews.com.

Jalan tengah itu adalah memajukan tokoh dari non partai. Sehingga ada kemungkinan, partner Jokowi berasal dari militer, ekonom, atau pun profesional. Dari kalangan militer, kata Arya, ada Moeldoko dan dari ekonom ada Jusuf Kalla.

Sementara, jika melihat kemungkinan cawapres dari partai koalisi, yang mulai mendekat ke PDIP yaitu Nasdem dan PKB, masih sulit. "Di PKB, Muhaimin belum bisa diterima seutuhnya oleh kader PKB, untuk Surya Paloh tidak akan diterima PKB karena angkanya lebih tinggi, tambahnya.

Sementara itu dari survei Populi Center diketahui, jika partner Jokowi adalah tokoh yang memahami masalah ekonomi, justru yang muncul adalah nama Wagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan raihan suara 27.67 persen. Kemunculan nama Ahok ini memang agak mengejutkan karena bisa mengalahkan nama Hatta Rajasa yang adalah Menko Perekonomian.

Hatta nangkring di peringkat kedua dengan suara 22,83%. Di posisi berikutnya ada nama Sri Mulyani dengan raihan 13,92 persen. Hanya saja, ketika dimasukkan nama Jusuf Kalla, hasil survei berubah. Sebanyak 21 persen responden menjawab Jusuf Kalla, berikutnya adal Dahlan Iskan dengan suara 16,6 persen, Ahok di urutan ketiga dengan 14,2 persen. Nama Hatta ada di urutan berikut dengan 8,8 persen diikuti Sri Mulyani dengan 5,8 persen.

Direktur Populi Center Usep Ahyar menilai, saat ini bagi masyarakat tidak penting apakah figur itu berasal dari kalangan sipil atau militer. "Soal sipil militer sudah selesai bagi Indonesia kini," ujarnya.

Menurut Usep, kini masyarakat lebih tertarik pada figur atau tokoh untuk menjadi calon pemimpin. Pada pemilu legislatif 9 April 2014, Populi Center mengadakan exit poll atau wawancara pemilih yang baru saja memilih dari TPS. Pertanyaan yang diajukan mengenai alasan memilih partai. Hasilnya sebanyak 27,1 persen menjawab figur, sebanyak 15 persen menjawab bersih dari korupsi, dan 12,5 persen menjawab partai tersebut memiliki program.

Sedangkan untuk ideologi hanya mendapatkan jawaban sebanyak 10 persen. "Latar belakang sekarang tidak menjadi pertimbangan. Saya menduga ini pertarungan terakhir militer-militeran, sisa-sisa zaman Orde Baru. Dalam survei-survei kita sebelumnya ketika ditanya yang paling tegas, biasanya mereka menjawab militer. Sekarang masyarakat sudah mengerti bahwa definisi tegas itu bukan militer atau non militer. Non militer juga ada yang tegas," jelasnya.

BACA JUGA: