JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sejumlah Pengamat menilai beban berat yang akan dihadapi pemerintahan baru mendatang adalah persoalan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang tidak tepat sasaran. Sebab beban berat subsidi BBM tersebut telah mengancam defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara.   

Senior Ekonom Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan mengatakan pemerintahan baru harus berani menaikkan harga BBM bersubsidi. Sebab jika tidak dinaikkan akan berpengaruh kepada defisitnya APBN hingga 3 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB).

Dia menjelaskan kenaikkan harga BBM bersubsidi diperkuat dengan wacana Kementerian Keuangan yang ingin mengunci subsidi BBM sebesar 2000 sampai 2500 per liter. "Jikalau harga Rp6500 dengan Rp11000, artinya harga BBM bersubsidi harus naik dikisaran Rp9000," kata Fauzi, Jakarta, Rabu (16/4).

Fauzi menilai jika pemerintah berencana untuk menaikkan kembali harga BBM bersubsidi sangat mungkin disetujui oleh DPR,  karena alasannya kenaikan BBM untuk menyelamatkan APBN dan menghindari defisit APBN agar tidak melampui 3 persen dari PDB. "Kenaikan BBM cocoknya dilakukan pada Oktober-November dengan catatan DPR sudah menyetujui," kata Fauzi.

Sementara itu, Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran Ina Primiana mengatakan pemerintahan berikutnya harus memiliki tim ekonomi yang kuat.  Tim ekonomi tersebut seyogyanya tidak terlalu banyak dari kalangan partai politik dan harus diisi dari kalangan professional ekonomi. Menurut Ia jika tim ekonomi berasal dari kalangan partai maka kasusnya akan terulang kembali seperti Menteri Pertanian dalam kasus impor daging sapi.

Ina mengatakan meskipun dapat diprediksi bahwa calon presiden (capres) yang akan lolos Joko Widodo (Jokowi). Masyarakat diminta untuk mengingatkan masa kepemimpinan PDIP pada saat jaman Megawati Soekarnoputri yang menjual aset-aset negara seperti Indosat. Untuk itu pemerintahan yang baru juga perlu memperbaiki kesalahan-kesalahan pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).  "Waktunya kita untuk memperbaiki ekonomi Indonesia yang semakin habis terpuruk dengan dominasi asing," kata Ina kepada Gresnews.com, Jakarta, Rabu (16/4).

Maka dari itu, Ina mengingatkan pemerintahan yang baru nantinya harus memiliki target dalam lima tahun negara yaitu dengan cara membentuk kebijakan antara Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Provinsi sejalan dengan Pemerintah Pusat.

Selama ini, dia menilai,  kebijakan daerah dan pusat selalu tidak sejalan. Disatu sisi, pemerintahan saat ini masih belum menetapkan ciri khas dari masing-masing daerah, semisal daerah khusus industri, khusus jasa, perdagangan dan agraris. "Per propinsi harus konsisten dengan kebijakan yang diambil," kata Ina.

BACA JUGA: