JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wacana menaikkan ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold) kembali mencuat. Angka ambang batas parlemen sebesar 3,5 persen saat ini dinilai terlalu rendah, sehingga perlu dinaikkan agar bisa memperkuat sistem presidensial.

Usulan menaikkan ambang batas itu dilontarkan Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Surya Paloh. Dia mengusulkan PT sebaiknya dinaikkan dari semula 3,5 persen menjadi 7 persen pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.

Namun Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengaku pesimis  pemberlakuan PT yang tinggi akan menghasilkan penyederhanaan partai. Menurut Titi, menaikkan angka PT bukan lah satu-satunya solusi untuk melakukan penyederhanaan partai politik.

"Pertanyaannya kemudian sejauh mana relevansi besaran PT terhadap penyederhanaan partai politik? lalu penyederhanaan politik seperti apa yang di maksud?" tanya Titi saat dihubungi gresnews.com, Minggu (24/7) .

Partai Nasdem menilai peningkatan ambang batas parlemen akan berpengaruh pada upaya penguatan demokrasi. Konsekuensinya, akan ada penyederhanaan jumlah partai peserta Pemilu sehingga konsolidasi politik semakin membaik.

Bahkan tidak hanya Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga mematok angka PT lebih tinggi dibanding Nasdem. Mereka bahkan ingin mematok PT menjadi 9 persen. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar berdalih sistem multipartai yang tidak tertata juga berpengaruh pada gangguan stabilitas nasional.

Titi mengkhawatirkan wacana untuk menaikkan ambang batas tidak akan memberi pengaruh pada penyederhanaan partai. Dia mencontohkan pada Pemilu 2009 dengan PT 2.5%. Dari 38 partai yang ikut bertarung sembilan partai yang lolos ke Senayan. Sedangkan pada Pemilu 2014 dengan PT 3,5 persen ada 10 partai yang akhirnya lolos ke Senayan.

"Jika diperhatikan penerapan PT tidak memiliki dampak yang cukup siginifikan terhadap penyederhanaan partai politik," ujarnya.

Menurut Titi, ada kesalahan penafsiran tentang pola penyederhanaan partai politik. Selama ini, kata Titi, penyederhanaan hanya diukur dengan jumlah partai politik di parlemen. Padahal ukurannya pada sejauh mana keterlibatan partai politik dalam menentukan kebijakan.

"Bukan dari konsentrasi kursi yang diperoleh partai politik untuk mempengaruhi proses pembuatan putusan di parlemen," ungkapnya.

Lebih jauh Titi menilai, menaikkan PT bukan saja gagal menyederhanakan partai politik tetapi juga terjadi disproporsionalitas. Artinya, pemberlakuan PT akan membuat suara hilang karena partai yang tidak bisa melewati batas minimum suaranya tidak bisa dikonversi menjadi kursi.

Dengan alasan itu, Titi justru mengusulkan solusi lain. Jika pemerintah atau partai politik bermaksud melakukan penyederhanaan partai politik. Salah satunya dengan memperkecil jumlah kursi perdaerah pemilihan, dari 3-10 kursi menjadi 3-6 kursi. Dengan demikian, semakin kecil akan semakin membuat perolehan partai semakin mengerucut, maka upaya menyederhanakan partai bisa diwujudkan.

"Logikanya semakin besar alokasi kursi perdaerah pemilihan maka semakin tersebar konsentrasi kursi di parlemen kepada banyak partai. Sedangkan semakin kecil alokasi kursi daerah per-pemilihan maka semakin sedikit konsentrasi kursi di parlemen terhadap sedikit partai," ungkap Titi.

PERKUAT SISTEM PRESIDENSIL - Hal berbeda disampaikan peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus. Menurut Lucius usulan kenaikan ambang batas parlemen jangan sampaikan mengorbankan isu lain dalam revisi Undang-Undang Pemilu.

Dia melihat, wacana itu tidak bisa dibaca secara terpisah karena isu PT juga sebenarnya berkaitan dengan perbaikan partai politik. Partai politik menurut Lucius, juga perlu dibahas dan diharmonisasikan dengan UU Pemilu. Pembahasannya tidak bisa sebatas UU Pemilu saja, tetapi juga UU lain yang berkaitan.

"Harus dikelompokkan dulu isu krusialnya,  misalnya pembenahan partai politik. Karena mau tinggi atau rendah PT-nya kalau parpolnya buruk tetap saja tidak ada urgensinya," ujar Lucius.

Kendati demikian, Lucius memandang penting untuk menaikkan angka ambang batas parlemen. Idealnya, sedikit partai akan membantu memperkuat sistem presidensil.

Menurutnya, pemerintah juga akan kesulitan untuk mengeksekusi kebijakannya di parlemen. Pada akhirnya, politik transaksional semakin terbuka di tengah partai politik yang cenderung pragmatis.

"Agak sulit memang kalau terlalu banyak partai. Akhirnya selalu transaksional setiap kebijakan yang akan diambil pemerintah," ujar Lucius.

BACA JUGA: