JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perang opini di media terkait hasil hitung cepat PIlpres 2014 semakin panas. Pemerintah pun terpaksa turun tangan untuk meredakan situasi. Dalam konteks ini, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto meminta pers untuk menyampaikan kepada masyarakat bahwa hasil quick count dan real count yang dilakukan oleh lembaga survei maupun tim sukses dan tim pendukung itu adalah bukan hasil resmi.

"Jadi ini yang paling penting, yang harus teman-teman pers juga menyampikan kepada masyarakat," kata Djoko Suyanto dalam konperensi pers seusai Sidang Kabinet Paripurna di kantor Presiden, Jakarta, Jumat (11/7) sore seperti dikutip situs setkab.go.id.

Djoko yang didampingi Panglima TNI Jendral Moeldoko dan Kapolri Jendral Sutarman mengemukakan, pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa maupun Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam pertemuan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Puri Cikeas, Bogor, Rabu (9/7) malam, telah sepakat bahwa hasil Komisi Pemilihan Umum adalah hasil akhir, dan yang akan diakui kedua pasangan Capres-Cawapres akan  adalah hasil KPU. "Pengumungan KPU adalah hasil akhir dari penghitungan suara," ujarnya.

Terkait dengan komitmen kedua pasang capres-cawapres itu, menurut Menko Polhukam, Presiden SBY telah menginstruksikan kepada jajaran Polri, ajajaran TNI maupun penyelenggara Pemilu untuk mengamankan jalannya proses penghitungan suara mulai dari TPS, TPK, kecamatan,  kabupaten, provinsi sampai dengan KPU Pusat.

"Aparat keamanan yang harus bertindak netral dan mengawal, mengamankan dan menjaga keselamatan para petugas KPU untuk bebas dari ancaman, intimidasi maupun pengaruh-pengaruh dari kelompok manapun. Ini penting supaya hasil suara yang diberikan oleh masyarakat itu mengalir sama dari TPS sampai dengan KPU Pusat," tegas Djoko.

Djoko menegaskan, aparat keamanan juga ikut mengawal bersama-sama dengan para saksi, para tim sukses yang datang di lapangan untuk bersama-sama mengawal hasil pemungutan suara oleh masyarakat. Selain itu, kata Djoko, dalam pertemuan dengan Presiden SBY itu, kedua pasang Capres-Cawapres juga sepakat untuk saling menjaga agar pendukung dan simpatisannya tidak melakukan kegiatan-kegiatan euforia yang berlebihan.

"Saya kira sudah banyak disampaikan melalui media massa, mereka berdua juga sepakat, ini alhamdulilah sampai dengan hari ini tetap tercipta suasana  yang aman, nyaman, dan tertib," kata Djoko.

Adapun terkait dengan kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat dalam menyikap hasil Pilpres paska diumumkannya oleh KPU pada 22 Juli mendatang, menurut Menko Polhukam,  kedua kandidat sepakat menempuh jalur konstitusional. Karena itu, Menko Polhukam berharap kesepakatan yang disampaikan kedua kandidat itu juga harus diikuti oleh seluruh pendukung dan pengikutnya untuk mendukung jalur konsitusional, karena itulah memang yang diatur oleh konstitusi kita.

"Kalau tidak puas maka forum penyelesaian sengketa Pemilu adalah Mahkamah Konstitusi jadi bukan melalui aksi-aksi di jalan yang justru kontra produktif terhadap program pembangunan pendewasaan demokrasi kita," papar Menko Polhukam.

Dalam kesempatan itu, Menko Polhukam Djoko Suyanto meminta masyarakat yang menerima berita-berita melalui sosial media, media online, twitter, SMS, dan lain-lain melalui informasi teknologi, yang banyak tidak benarnya  untuk pandai-pandai mencernanya. "Jangan terpengaruh terhadap upaya berita-berita yang menggambarkan ajakan untuk melakukan tindakan-tindakan yang justru kontra produktif terhadap upaya-upaya demokratisasi kita," pinta Djoko.

Menko Polhukam kembali meminta pers dan media massa untuk ikut menjernihkan dan mendinginkan suasana. Ia mengingatkan, peperangan opini melalui media massa adalah bagus sebagai cermin untuk membebaskan kita untuk menyampaikan aspirasi. tapi kalau itu kemudian dikandung ada tujuan-tujuan yang tidak baik, maka harus dihindarkan.

"Marilah kita ciptakan suasana yang sejuk, yang damai, kepada masyarakat kita. Pro dan kontra terhadap suatu isu, suatu masalah adalah sangat biasa asal tidak berlanjut kepada aksi-aksi yang justru merusak dari sisi-sisi sendi dari demokrasi itu sendiri," imbau Djoko.

Sementara itu, peneliti Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Ari Setiawan meminta agar lembaga dituntut terbuka untuk menyampaikan sumber dananya. "Lembaga survei wajib membuka sumber dana yang mereka gunakan. Kemudian kita mendorong agar lembaga survei diaudit. Ini bukan cuma demi masyarakat, tetapi juga saat diaudit akan ada keuntungan tesendiri bagi mereka," kata Ari.

Hal ini disampaikan Ari dalam jumpa pers FOINI (Freedom of Information Network Indonesia) di kantor TII (Transparency International Indonesia) di Jalan Senayan Dalam, Kebayoran Baru, Jaksel, Jumat (11/7/2014). Menurut Ari, audit sumber dana lembaga survei dapat dilakukan oleh Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi) yang menaungi beberapa lembaga survei di Pilpres 2014.

"Dalam jangka waktu dua minggu, mereka harus melaksanakan audit terhadap lembaga survei yang menjadi anggotanya. Dan hal ini (audit) harus dipublikasikan, karena lembaga survei sudah seharusnya terbuka kepada masyarakat," ujar Ari.

Dalam audit ini, lanjut Ari, siapa yang paling kredibel akan mendapatkan hasil yang baik. Sementara lembaga survei yang menyebarkan hasil keliru bisa dipidana.

"Lembaga survei harus terbuka, supaya kita tahu mana yang bisa dipercaya dan harus mendapat sanksi tegas. Dengan adanya fenomena ini, kita akhirnya tahu bukan cuma atas nama koalisi, tapi masyarakat Indonesia sudah dibuat resah. Dan kami menilai pebedaan ini akan menimbulkan perpecahan yang kita tidak harapkan," tutup Ari. (dtc)

BACA JUGA: