JAKARTA, GRESNEWS.COM - Di tengah gugatan sejumlah hakim ad hoc yang menuntut pengakuan sebagai pejabat negara ke Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung kembali membuka pendaftaran hakim ad hoc. Para hakim ad hoc ini nantinya akan ditempatkan di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) tingkat pertama dan dan banding.
 
“Lamaran sudah diterima Panitia Daerah paling lambat tanggal 23 Oktober 2014,” kata Panitia Seleksi Calon Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tahap VI tahun 2014, di laman mahkamahagung.go.id, Jumat (26/9). Sementara Panitia Seleksi membuka lamaran itu sejak 25 September 2014.

Sebelumnya, MA mengungkapkan lima pengadilan khusus, yakni Pengadilan Tipikor, Pengadilan HAM, Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan Perikanan, Pengadilan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PHI), serta Pengadilan Kehutanan sampai saat ini belum memiliki hakim ad hoc.
Sementara, berdasarkan Undang Undang Nomor 18 Tahun 2013, hakim ad hoc pada Pengadilan Kehutanan tersebut harus direkrut untuk seluruh Indonesia, yaitu berjumlah 356 pengadilan negeri. Kalau dibutuhkan dua orang pada tiap pengadilan negeri maka MA harus merekrut sekitar 712 orang.
 
Sementara hakim ad hoc di Pengadilan HAM sudah kosong saat ini karena masa jabatannya sudah berakhir.  “Hakim ad hoc di  Pengadilan HAM sudah tidak ada lagi. Setelah kasus Timor Timur tidak ada lagi perkara HAM,” kata Hakim Agung Suhadi saat menyampaikan keterangannya dalam sidang lanjutan  pengujian Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (24/9).
 
Sedangkan keberadaan hakim ad hoc pada pengadilan tindak pidana korupsi diatur dalam Undang Undang Nomor 46 Tahun 2009. Disebutkan, Pengadilan Tipikor bersidang dengan Hakim Majelis yang terdiri dari hakim karir dan hakim ad hoc. Mereka berwenang mengadili perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
 
Hakim ad hoc ini berada di pengadilan tipikor tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul ketua Mahkamah Agung dalam masa jabatan 5 tahun dan dapat diangkat sekali lagi dalam satu masa jabatan. “Saat ini Pengadilan Tipikor berjumlah 33 dan tersebar di seluruh Indonesia,” jelas Suhadi.
 
Jumlah hakim ad hoc tipikor saat ini, sekitar 201 orang. Rinciannya, 8 orang pada tingkat kasasi, 61 orang pada tingkat banding, dan 131 orang pada tingkat pertama. Masing-masing hakim ad hoc ini mendapatkan besaran tunjangan yang berbeda.
 
Tunjangan hakim ad hoc diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2013. Dimana tunjangan hakim adhoc pada pengadilan tindak pidana korupsi ditentukan untuk tingkat pertama Rp20.500.000 per bulan;  Pengadilan tingkat banding Rp25.000.000; dan pengadilan tingkat kasasi Rp40.000.000.

Selanjutnya, tunjangan hakim ad hoc pada PHI tingkat pertama Rp17.500.000; Pengadilan pada tingkat kasasi Rp32.500.000. Sedangkan tunjangan hakim ad hoc pada Pengadilan Perikanan hanya ada di tingkat pertama sebesar Rp17.500.000,00.
 
Penjelasan tersebut disampaikan Suhadi saat menjawab pernyataan MK dalam sidang lanjutan pengujian UU ASS yang dimohonkan hakim ad hoc Gazalba Saleh, Lufsiana, Sumali dan kawan-kawan.

Seperti diketahui, dalam Pasal 122 huruf e UU ASN,  keberadaan hakim ad hoc tidak diakui sebagai pejabat negara. Pasal inilah yang tengah digugat sebelas hakim ad hoc dari sejumlah wilayah di Indonesia.
 
Mereka meminta Mahkamah Konstitusi menguji Pasal 122 huruf e dan membatalkan pasal yang menyatakan hakim ad hoc bukan pejabat negara. Para pemohon menilai pasal tersebut imperfect (tidak sempurna) karena materi muatan diatur dalam aparatur sipil negara yang berada dalam domain eksekutif. Sedangkan hakim ad hoc termasuk dalam domain yudikatif yang sudah diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman.
 
Akibat pasal tersebut, menurut mereka, setiap proses pemeriksaan dan produk putusan pengadilan khusus yang majelis hakimnya beranggotakan hakim ad hoc menjadi ilegal dan batal demi hukum karena tidak memiliki legitimasi dan legalitas kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara.
 
Menurut Gazalba Saleh, salah satu pemohon, pasal tersebut juga bertentangan dengan dua surat yang dikeluarkan MA terkait status hakim ad hoc. “Selama kepemimpinan pak Ketua MA Hatta Ali dan mantan ketua MA Haripin Tumpa, MA telah mengeluarkan dua surat terkait status hakim ad hoc, apakah pejabat negara atau tidak,” ungkapnya.
 
Surat pertama bernomor 35 Tahun 2012 menerangkan hakim ad hoc adalah pejabat negara. Begitu juga dengan surat bernomor 96 Tahun 2011 yang juga menyatakan hakim ad hoc adalah pejabat Negara.

BACA JUGA: