Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia telah menyelesaikan negosiasi dan menyepakati beberapa hal. Setidaknya ada 3 persyaratan besar yang dihasilkan yaitu pembangunan smelter oleh Freeport paling lambat beroperasi di 2022 atau selambatnya 5 tahun, penerimaan negara yang lebih besar dari tambang Grasberg milik Freeport Indonesia di Papua, dan divestasi 51%.

Lewat kesepakatan ini, pemerintah Indonesia menjanjikan akan memperpanjang kontrak Freeport di Papua yang habis pada 2021. Perpanjangan dilakukan selama 10 tahun hingga 2031 dan dapat diperpanjang 1 kali lagi sampai 2041 sesuai ketentuan yang berlaku.

Namun banyak kalangan yang bertanya, kenapa pemerintah tidak membiarkan saja kontrak Freeport habis di 2021 dan mengambil 100% pengelolaan tambang di Grasberg.

"Itu mereka yang mengkritik kenapa Freeport tidak dibiarkan habis 2021 ke mana saja? Kenapa mereka tidak bicara sebelum negosiasi selesai? Kenapa baru ribut sekarang?" kata Menteri ESDM, Ignasius Jonan, memberikan penjelasan, Kamis (1/9).

Memiliki 51% saham Freeport Indonesia ini sudah menjadi suatu hasil yang memuaskan, karena Freeport sebelumnya hanya mau melepas 30% sahamnya.

Jonan menyampaikan, bisa saja pemerintah membiarkan kontrak Freeport Indonesia habis di 2021, namun adakah yang sanggup meneruskan pengelolaan tambang raksasa yang sangat kompleks tersebut?

"Kalau menunggu sampai 2021 bisa saja. Tapi itu yang diserahkan kembali dan menjadi hak negara hanya konsesi tambangnya saja, dan Freeport sesuai UU Lingkungan Hidup wajib melakukan konservasi/rehabilitasi tambangnya. Namun, semua peralatan tambang akan dibawa pulang oleh Freeport. Pertanyaannya, sanggupkah kita melanjutkan tambang itu lagi tanpa jeda yang panjang," papar Jonan.

"Banyak pihak yang merasa ahli, jawabannya bisa, meski mereka belum pernah menjalankan tambang sebesar itu seumur hidupnya," kata Jonan.

Dia bercerita, saat dirinya memimpin PT Kereta Api Indonesia (KAI). Banyak pihak yang mengkritiknya dalam membenahi pelayanan di BUMN transportasi tersebut, dan sekarang kenyataannya, perubahan besar terjadi di KAI.

"Kalau kita mau menambang ulang (di Freeport) perlu waktu berapa lama untuk kembali menambang? Bisa enggak 1 atau 5 tahun karena kita harus membangun kembali peralatan dan infrastruktur yang diambil kembali oleh Freeport. Saya mau tahu," kata Jonan.

Bila kontrak Freeport dibiarkan habis oleh pemerintah, dan tambang baru tidak segera dilakukan, maka implikasinya kepada ekonomi di Papua akan besar. Bagi negara tidak banyak masalah, karena penerimaan negara dari Freeport hanya sekitar US$ 1 miliar. Yang menjadi masalah adalah dampaknya kepada kehidupan masyarakat di Papua.

"Tambang (Freeport) ini sudah terlanjur besar operasinya. Kalau tiba-tiba ditutup itu menjadi masalah," ucap Jonan.

Memang, Freeport ini sudah menjadi sumber kehidupan dan ekonomi bagi masyarakat Papua yang berada di sekitarnya. Bisa dibayangkan bila Freeport tiba-tiba berhenti beroperasi.

"Kecuali misalkan Freeport memang tidak mau memperpanjang kontraknya, dan dia menawarkan peralatan-peralatannya. Maka kita bisa tawar-tawaran harga dan toh kita harus bayar juga kan," tutur Jonan.

Coba dibayangkan 2021, semua peralatan dibawa pulang oleh Freeport, maka kita harus investasi kembali untuk meneruskan pertambangan tersebut, dan itu perlu waktu cukup panjang. Lalu, terjadi proses waktu yang cukup panjang dan mengganggu operasi serta kehidupan masyarakat dan pekerja di sana serta semua pemasok yangmenggantungkan hidupnya selama ini.

"Jadi 51% yang didapatkan pihak Indonesia itu adalah berupa peralatan dan sistem manajemen, bukan tambangnya. Tambang itu adalah miik negara," jelas Jonan.

"Kalau ada yang bilang saya bisa mengoperasikan, tanpa ada destruksi (gangguan), kalau ada tolong orangnya ke saya. Kalau komentar jangan hanya asal komentar. Saya menteri yang pernah melakukan restorasi layanan Kereta Api Indonesia," tutup Jonan. (dtc/mfb)

BACA JUGA: