JAKARTA, GRESNEWS.COM – Pemerhati Perilaku Remaja dari Wiratama Institute Rahmawati Habie menilai, saat ini dunia pendidikan di Indonesia mengalami krisis kecerdasan emosional. Hal itu disampaikannya menanggapi maraknya isu dari dunia pendidikan terkait kematian pelajar SMA Budi Luhur Bogor, Hilarius Christian Event Raharjo akibat duel ala gladiator dengan pelajar SMA Mardiyuana.

"Duel maut ala gladiator ini sudah menjadi budaya yang dilakukan sejak empat tahun lalu dan terjadi menjelang turnamen basket di Bogor," ujar dia dalam keterangan tertulis yang diterima gresnews.comnya, Jumat (6/10).

Sejauh ini, katanya, polisi telah berhasil menangkap keempat tersangka di lokasi berbeda. Diantara ke empat tersangka, masih ada yang berstatus pelajar. Ia mengatakan, masalah yang terjadi di SMA Budi Luhur itu sangat berhubungan dengan kecerdasan emosional pelajar.

Kecerdasan emosional itu sendiri, terdiri dari beberapa aspek, diantaranya kemampuan untuk mengontrol emosi dengan baik, yang ditunjukkan dengan sikap empati dan saling membantu satu sama lain. "Hal ini dapat membantu dan meningkatkan proses pembelajaran. Akibatnya prestasi belajar menjadi maksimal," terang Rahma.

Mengutip pendapat ahli, Rahma menyebutkan beberapa manfaat kecerdasan emosi bagi pengembangan diri pelajar. Yaitu, dapat berkembang dan berprestasi, menjadi pribadi yang menyenangkan, dapat memperbaiki perilaku, dapat mengendalikan diri, dapat meminimalisasi pemikiran, menjadi rileks, dan sukses dalam kehidupan.

"Siswa yang memiliki kecerdasan emosi stabil, mampu mengendalikan amarah dan dapat memecahkan masalah antar pribadi. Sehingga secara signifikan dapat memengaruhi prestasi belajar pada setiap mata pelajaran yang diajarkan di sekolah," papar dia.

Lebih lanjut, tambah dia, siswa pemilik kecerdasan emosional yang baik akan menjadi manusia yang bertanggung jawab. "Karena itu, guru juga merupakan faktor penting dalam memaksimalkan juga meningkatkan prestasi belajar siswa. Dengan selalu mendorong dan memotivasi siswa untuk belajar, menginsipirasi siswa, memberikan penguatan sehingga akan tercipta rasa tanggung jawab, empati, dan kemampuan dalam mengendalikan amarah," tutup dia.

Menanggapi itu, Pengamat Kebijakan Publik bidang Sosial Masyarakat dari Universitas Indonesia Sri Handiman Supyansuri mengatakan, kini banyak kalangan remaja dan pemuda yang mengalami krisis pengendalian diri. Hal itu terjadi, katanya, akibat minimnya pembelajaran tentang kecerdasan emosional yang diajarkan di sekolah.

Menurut dia, sekolah saat ini cenderung hanya mengajarkan hal-hal yang sangat standar terkait pendidikan, sehingga menyulitkan siswa untuk melihat serta belajar tentang pengendalian diri. Di sisi lain, banyak keluarga yang abai terhadap pendidikan emosional anak-anaknya. Artinya, tidak ada figur yang bisa menjadi teladan anak dalam mengendalikan dirinya.

"Berbekal gadget yang dimiliki, acapkali orangtua merasa telah menjalankan tugas tanggungjawabnya dalam mendidik anak. Padahal, masalah kecerdasan emosional dapat dipelajari dari orangtua sendiri. Bukan dari kecanggihan teknologi. Justru tanpa didikan orangtua secara langsung, maka fasilitas teknologi hanya akan merugikan pertumbuhan kecerdasan emosional anak," papar Handiman.

Ia menyayangkan, para pelaku yang harus mendekam di dalam tahanan selama puluhan tahun akibat perbuatan mereka. Hal itu, tambah Handiman, seolah tindakan yang berupaya memendam teror kepada masyarakat yang lebih luas.

"Bayangkan, jika para pelaku dihukum 15 tahun penjara. Jika saat ini usia mereka sekitar 17-19 tahun, lalu pada usia sekitar 27-19 tahun saat mereka keluar dari penjara, maka potensi mereka untuk mengulangi kesalahan yang sama besar terjadi. Karena itu, pemerintah dan seluruh pihak wajib memikirkan solusi agar kasus seperti ini tidak menjadi lingkaran setan di Indonesia," tandas dia.

Ia mencontohkan, perilaku teror yang terjadi di Las Vegas, Minggu (1 Oktober 2017) lalu, menegaskan Stephen Craig Paddock (65), pelaku penyerangan brutal itu, memiliki ayah seorang perampok bank terkenal. Saat usia 7 tahun, Paddock kecil diajak berenang oleh tetangganya ketika agen FBI menggeledah rumah keluarga tersebut dan menangkap ayahnya.

"Artinya, peran orangtua dalam membentuk pengendalian emosional anak, menjadi sangat penting. Kalau abai, maka sesungguhnya orangtua sedang memelihara dan memendam teror di masa depan," tambah dia lagi.

Sebelumnya diberitakan, Hilarius Christian Event Raharjo tewas setelah terlibat dalam aksi duel ala gladiator. Peristiwa itu sendiri terjadi pada akhir Januari 2016, dan saat itu pihak keluarga tidak menyetujui dilakukan otopsi terhadap jenazah Hilarius.

Namun pada pertengahan September 2017 lalu, pihak keluarga menceritakan semua kisah mengenai kematian Hila sekaligus memohon bantuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Facebook untuk mengusut dan menyelesaikan kasus tersebut. Pihak kepolisian telah berupaya mengungkap kasus tersebut, melalui penangkapan terhadap para pelaku dan telah melakukan otopsi terhadap korban Hila. (mag)

BACA JUGA: