Muhammad Roqib, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Ketua Yayasan Kampung Ilmu Bojonegoro

Pemerintah berencana bisa membatalkan peraturan daerah (Perda) melalui peraturan presiden (perpres) dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang saat ini sedang digodok. Apakah itu boleh? Padahal kewenangan pemerintah dalam hal ini Menteri Dalam Negeri dan Gubernur dalam membatalkan Perda telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015.

Lalu, apakah dengan rencana itu pemerintah akan mengabaikan putusan MK tersebut dan juga mengabaikan bangunan negara hukum?

Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 tanggal 5 April 2015. Mahkamah menguji Pasal 251 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (8) UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Putusan itu mencabut kewenangan Menteri Dalam Negeri dan Gubernur membatalkan peraturan daerah kabupaten/kota. Pertimbangan hakim MK, sebaiknya pemerintah pusat mengontrol pemerintah daerah melalui kewenangan executive abstract preview bukan mekanisme review atas peraturan daerah yang sudah berlaku mengikat umum.

Pemerintah pusat diminta melakukan preview terhadap rancangan peraturan daerah yang belum mengikat umum. Jika peraturan daerah itu sudah mengikat umum maka sebaiknya yang mengujinya adalah lembaga peradilan yakni Mahkamah Agung seperti ditentukan dalam Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Kemudian, putusan itu diikuti dengan putusan MK Nomor 56/PUU-XIV/2016 yang mencabut kewenangan Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda provinsi.

Menteri Dalam Negeri dan Gubernur sebelumnya memang memiliki kewenangan executive review yakni membatalkan perda sejak era Orde Baru melalui UU No.5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah hingga era Reformasi melalui UU 22/1999, UU 32/2004, dan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Namun, setelah sekian lama pemerintah pusat mempunyai kewenangan membatalkan perda itu, akhirnya MK mencabut kewenangan itu. Pengujian perda hanya bisa dilakukan melalui Mahkamah Agung.

Menurut UU 12/2011 juncto UU 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa peraturan daerah adalah salah satu bentuk peraturan perundang-undangan dengan hierarki di bawah undang-undang.

Perda adalah produk hukum yang bukan hanya berisi tindaklanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, melainkan berisi pula kekhasan dan kebutuhan daerah dalam kerangka otonomi. Perda mengatur urusan rumah tangga di bidang otonomi dan urusan rumah tangga di bidang tugas pembantuan.

Memang diakui kenyataannya masih banyak perda yang bermasalah. Kementerian Dalam Negeri RI mencatat sepanjang 2001-2009 misalnya terdapat 3.091 perda bermasalah. Tahun 2016 Kemendagri mengeluarkan daftar perda yang dibatalkan atau direvisi sebanyak 3.143 perda. Kemudian, pada tahun 2019 Kemendagri diminta kembali menertibkan perda bermasalah.

Perda yang bermasalah itu karena tidak adanya sinkronisasi atau harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, melanggar kepentingan umum, kesusilaan dan bahkan hak asasi manusia.

Jika merunut sejarah pengaturan perda secara formal itu baru ada sejak adanya Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urut Peraturan Perundang-undangan. Dalam Tap MPR itu hierarki peraturan perundang-undangan yakni: 1) Undang-Undang Dasar 1945; 2) TAP MPR; 3) UU; 4) Perppu; 5) PP; 6) Keppres; dan 7) Perda.

Namun, perda ini tidak dibedakan antara perda provinsi dengan perda kabupaten/kota. Keduanya disusun dalam derajat/tingkatan yang sama karena provinsi, kabupaten/kota sama-sama ditetapkan sebagai daerah otonom yang mempunyai pemerintahan daerah sebagai konsekuensi berlakunya UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Kedudukan perda juga dikuatkan dengan perubahan UUD NRI 1945 dalam Pasal 18 ayat 6 yang menyatakan, ”Pemerintahan daerah berhak menetapkan perda dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.

Pada masa Orde Baru, pengaturan perda tidak diatur dengan jelas. Tap MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia yang mengatur soal hierarki perundang-undangan tidak memasukkan perda.

Hierarki dalam Tap MPRS ini yakni: 1) UUD Republik Indonesia 1945; 2) Tap MPR; 3) UU/Perppu; 4) PP; 5) Keppres dan peraturan pelaksanaan lainnya seperti peraturan menteri, instruksi menteri, dan lain-lainnya. Perda dibentuk hanya untuk melaksanakan perintah peraturan perundang-undangan lebih tinggi.

Selain itu, saat itu diberlakukan mekanisme pengesahan sebagai filter untuk mendeteksi perda yang tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi. Pola sentralisasi atau pengendalian pusat terhadap daerah terasa sangat kuat pada masa Orde Baru.

Pengaturan perda lebih jelas diatur dalam UU 12/2011 juncto UU 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yakni: 1) UUD NRI 1945; 2) Tap MPR; 3) UU/Perppu; 4) PP; 5) Perda provinsi; dan 6) Perda kabupaten/kota.

UU ini menegaskan jalur hierarki antara perda provinsi dengan perda kabupaten/kota. Artinya, dalam konteks negara kesatuan di mana susunan negara “dibagi atas” secara berjenjang sesuai Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945 maka konsekuensinya perda kabupaten/kota tidak boleh bertentangan dengan perda provinsi demikian seterusnya secara berjenjang hingga tingkat lebih tinggi.

Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan putusan MK Nomor 56/PUU-XIV/2016 hakikatnya adalah mengembalikan hak otonomi luas yang diberikan UUD NRI 1945 Pasal 18, 18A, 18B kepada Pemerintahan Daerah. Akan tetapi, Indonesia adalah negara kesatuan yang menerapkan sistem desentralisasi. Dalam negara kesatuan dengan desentralisasi maka harus ada pengawasan.

Sebab, desentralisasi dan pengawasan adalah seperti sekeping mata uang yang mempunyai dua sisi. Dengan begitu akan terjadi keseimbangan sehingga kecenderungan bandul sentralisasi atau desentralisasi tidak berayun berlebihan.

Apabila pemerintah ingin kembali mengambil kewenangan membatalkan perda dengan dalih untuk mengurangi keberadaan perda yang dianggap menghambat investasi di daerah maka itu tidak tepat.

Meskipun nantinya untuk membatalkan perda itu memakai perpres. Ini sama seperti mengembalikan lagi kecenderungan terlalu kuatnya pemerintah pusat mengontrol daerah sehingga daerah tidak bisa berkembang dan berinovasi. Pemerintah sebaiknya memaksimalkan fungsi executive abstract preview yakni mengevaluasi rancangan perda sebelum mengikat untuk umum.

Pemeriksaan materi muatan rancangan perda apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi, kepentingan umum, kesusilaan dan juga hak asasi manusia, perlu lebih dioptimalkan.

Dengan begitu, tidak terjadi tumpang tindih perda dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Selain itu, apabila memaksakan tetap membatalkan perda dengan perpres maka akan bertentangan dengan konstitusi. Mohammad Hatta, Proklamator RI, dalam suatu kesempatan menyatakan:

“Memberikan otonomi tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya auto-aktiviteit. Auto-aktiviteit artinya bertindak sendiri, melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri. Dengan berkembangnya auto-aktiviteit tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, y.i. pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat, rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri."

BACA JUGA: