Rudy Gani, Ketua Umum Badko HMI 2010-2012

Memasuki hari-hari terakhir bulan Ramadan 1441 H atau bertepatan dengan 2020 Masehi, berbagai kesedihan menimpa umat muslim seluruh dunia.

Bagaimana tidak. Situasi Ramadan dan Idul Fitri tahun ini akan benar-benar berbeda.

Meski terasa berat, kita bersyukur dapat melewati puasa di tengah pandemik dan tentunya Tarawih yang dikerjakan dari rumah.

Pertanyaanya, sampai kapan umat muslim Indonesia (terpaksa/dipaksa) mengalah pada virus korona sehingga salat berjamaah di masjid tetap tidak dilaksanakan termasuk “mungkin” nanti salat Ied?

Kita masih bisa menerima Tarawih tidak diselenggarakan di masjid karena alasan penyebaran virus dan juga ijtihad belum dilakukan.

Namun menyerahkan diri pada nasib tanpa ikhtiar mengubah, memperbaiki serta melakukan terobosan sama saja dengan kufur pada nikmat yang Allah berikan berupa pikiran.

Apakah umat Islam yang diberikan akal pikiran oleh Allah SWT dibolehkan mengalah serta berputus asa tanpa ijtihad menghadapi virus korona terkait ibadah umat Islam?

Lalu, langkah seperti apakah yang diharapkan oleh penduduk muslim terbesar di dunia ini, khususnya kepada para ulama, cendekiawan dan umara untuk diijtihadkan?

Ijtihad Milineal, Ibadah Virtual

Menurut definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia, virtual diartikan sebagai nyata, bersifat virtual berarti jelas, terang, terbukti atau berwujud.

Dari definisi tersebut dapat kita peroleh gambaran bahwa sesuatu yang sifatnya virtual adalah nyata dan bisa dibuktikan secara wujud.

Kehadiran teknologi virtual merupakan sebuah ikhtiar manusia secara simultan untuk memudahkan tugas-tugas peradaban manusia.

Karena itu, teknologi hadir untuk membantu.

Teknologi juga dieksploitasi sedemikian rupa agar menguntungkan si pemakai.

Dalam Islam, teknologi adalah buah karya pemikiran manusia yang sumbernya datang dari Allah Swt.

Kalau merujuk pada Alquran, kita menemukan banyak istilah yang mengacu maknanya kepada penciptaan dan kreasi baru yang lahir dari satu ide dan untuk tujuan tertentu.

Menurut Quraish Shihab, salah satu di antara istilah tersebut adalah sakhkhara yang secara harafiah berarti menundukkan.

QS. al-Jâtsiyah [45]: 13 menyatakan bahwa, “Apa yang di langit dan di bumi semuanya ditundukkan Allah untuk manusia.”

Dengan potensi ilmu yang dianugerahkan Allah bersama penundukkan yang dilakukan-Nya, manusia mampu meraih dengan mudah segala sesuatu yang terbentang di alam raya melalui keahlian di bidang teknik atau dengan kata lain, teknologi dan alat-alat yang dihasilkannya.

Namun, kehadiran teknologi bukan berarti untuk makin menegasikan kehadiran Tuhan dalam diri manusia.

QS. Yûnus [10]: 24 melukiskan bahwa satu ketika hasil-hasil teknologi akan menjadikan manusia lengah dan merasa mampu melakukan segala sesuatu, “Apabila bumi telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan penduduknya menduga bahwa mereka telah mampu menguasainya, ketika itu secara tiba-tiba datanglah siksa Allah, terang Quraish Shihab.”

Dari konteks itulah kemudian, teknologi hadir untuk kemaslahatan umat.

Bukan sebaliknya, menjauhkan manusia dari penciptanya.

Teknologi juga dimanfaatkan untuk ibadah yang tujuannya bermuara memuji dan bersyukur atas anugerah yang diberikan Allah kepada umatNya.

Berdasarkan pandangan itu kemudian kita bertanya, bagaimana para ulama dan ilmuwan Islam merumuskan ibadah-ibadah Sunnah dan wajib secara virtual di tengah pandemi dengan memanfaatkan teknologi yang tersedia sekarang?

Mengapa kolaborasi ini penting dilakukan? Karena di tangan para ulama, ilmu serta ajaran agama terletak.

Dan di tangan cendekiawan serta teknokrat secara aplikatif ibadah virtual dapat teroperasionalkan.

Duet antara ulama dan cendekiawan muslim diperlukan guna mencari sandaran teologis agar ibadah-ibadah virtual itu dapat terlaksanakan tanpa melanggar hukum Islam.

Secara opersional, para pemikir Islam dan ilmuwan-ilmuwan, akan memadukan serta meyesuaikan apa yang dibolehkan dan tidak dibolehkan dalam ibadah virtual sesuai ajaran Islam berdasar fatwa dan hasil ijtihad.

Mengapa ijtihad ini bersifat urgen? Karena jika tidak ada ijtihad itu artinya terjadi kebuntuan pikiran.

Buntunya pikiran menyebabkan kebersamaan sebagai sesama umat muslim yang bersaudara kelak terkikis, khususnya pada hari lebaran.

Karena itulah terobosan---atau bahasa saya ijtihad milineal---harus dilakukan.

Kepada seluruh umat muslim Indonesia, ormas Islam, perguruan tinggi Islam, pemikir dan ilmuwan Islam, MUI dan tentu saja, Kemenag RI sebagai kementerian yang mengurusi persoalan keagamaan di Indonesia saatnya bersama-sama melakukan ijtihad di era milineal ini.

Bahwa Islam selalu berlandaskan Alquran dan Hadis adalah sebuah kesepakatan yang tidak akan diganggu gugat.

Termasuk dalam konteks salat Ied virtual juga harus tunduk pada sumber-sumber hukum Islam yang dapat dipertanggungjawabkan.

Karena itu, mari kita duduk bersama untuk melakukan ijtihad milineal dengan pikiran yang sama-sama terbuka. 

BACA JUGA: