RACHMAT WAHYUDI HIDAYAT 
Perancang Undang-Undang Bidang Kesejahteraan Rakyat Badan Keahlian DPR RI dan Anggota Tim Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

Setelah hampir satu setengah dasawarsa sejak disahkannya UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), penyelenggaraan jaminan sosial bagi masyarakat, khususnya di bidang kesehatan, masih menyisakan sejumlah permasalahan. Selama kurun waktu tersebut, UU SJSN, yang juga menjadi cikal bakal pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) melalui UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS), belum dapat terlaksana sebagaimana mestinya dan dinilai belum mampu menyelesaikan permasalahan kesehatan masyarakat.

Menurut Biezeveld, suatu undang-undang dikatakan berkualitas baik dan memiliki karakteristik berkelanjutan bisa dinilai dari sudut pandang keberhasilan mencapai tujuan (doeltreffendheid), pelaksanaan (uitvoerbaarheid), dan penegakan hukumnya (handhaafbaarheid)[1]. Selanjutnya, menurut Soerjono Soekamto, ada lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum (law enforcement)/efektivitas hukum (peraturan perundang-undangan), yakni[2] :

  1. hukum itu sendiri, secara yuridis normatif/substantif (law by itself);
  2. aparat penegak hukum (law enforcer);
  3. sarana dan prasarana (tools);
  4. masyarakat (society);
  5. budaya hukum (law culture).

Dalam tulisan ini hanya akan dibatasi pada faktor yuridis normatif dari aspek substantif/penormaan dalam UU SJSN dan UU BPJS terkait kelembagaan (Legal Standing) BPJS Kesehatan yang eksistensinya dinilai belum optimal dalam memberikan manfaat jaminan kesehatan masyarakat, serta pendanaan BPJS Kesehatan yang secara operasional masih mengalami defisit anggaran.

Kelembagaan (Legal Standing BPJS)
Pasal 5 Bab III UU SJSN merupakan pasal yang mengatur mengenai kelembagaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang memberikan ruang adanya pembentukan lembaga BPJS baru sekaligus menjamin kepastian hukum dan pengakuan atas kelembagaan badan penyelenggara jaminan sosial yang sudah ada (JAMSOSTEK, TASPEN, ASABRI, dan ASKES). Namun pasca-putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005 yang membatalkan ketentuan Pasal 5 Ayat (2), (3), dan (4), UU SJSN justru menimbulkan kekosongan hukum bagi keberadaan badan penyelenggara jaminan sosial yang sudah ada. Khususnya Pasal 5 Ayat (2) dan Ayat (3) merupakan pasal legitimate yang mengeskalasi status instrumen hukum badan penyelenggara jaminan sosial yang sudah ada, yang semula Peraturan Pemerintah menjadi Undang-Undang. Pasal 5 Ayat (1) yang tetap dipertahankan oleh MK dalam salinan putusannya dengan pertimbangan “dalam rangka pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial nasional di tingkat pusat” justru menafikan keberadaan badan penyelenggara jaminan sosial yang sudah ada. Pasal 5 Ayat (1) secara jelas menyebutkan bahwa BPJS harus dibentuk dengan UU. Kata “harus” dalam teknis perancangan perundang-undangan (legal drafting) bermakna kalimat perintah yang mengandung unsur syarat. Sedangkan BPJS yang telah ada, dasar hukum pembentukannya hanya berdasarkan Peraturan Pemerintah. Selain itu MK dalam salinan putusannya yang juga mempertahankan Pasal 52 UU SJSN dengan pertimbangan “untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum) dan menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid) karena belum adanya badan penyelenggara jaminan sosial yang memenuhi persyaratan agar UU SJSN dapat dilaksanakan” justru inkonsisten dan kontradiktif dengan pembatalan ketentuan Pasal 5 Ayat (2) dan Ayat (3). Hal itu dikarenakan Pasal 52 Ayat (1) jelas menyebutkan bahwa JAMSOSTEK, TASPEN, ASABRI, dan ASKES tetap berlaku sepanjang belum disesuaikan dengan undang-undang ini. Adapun ketentuan yang dimaksud adalah ketentuan Pasal 5 Ayat (2) dan Ayat (3).

Secara ilmu teknis perundang-undangan, Pasal 52 Bab VIII Ketentuan Peralihan UU SJSN memang dimaksudkan sebagai pasal “jembatan” untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum) dan menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid) dari status badan penyelenggara jaminan sosial yang sudah ada dan karena belum adanya badan penyelenggara jaminan sosial yang memenuhi persyaratan UU SJSN. Namun Pasal 52 UU SJSN khususnya Pasal 52 Ayat (2) yang menyebutkan, “Semua ketentuan yang mengatur mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) disesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lambat 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan” tidak dimaksudkan sebagai pasal pendelegasian kewenangan karena pasal pendelagasian kewenangan secara implisit telah diatur sebelumnya dalam Pasal 5 Ayat (1) UU SJSN. Dengan kata lain Pasal 5 Ayat (1) merupakan pasal pendelegasian sedangkan Pasal 52 Ayat (2) merupakan pasal yang memberikan batas waktu pembentukan peraturan perundang-undangan yang didelegasikan.

Selain itu Pasal 52 Ayat (2) pun secara tegas menyebutkan bahwa “ketentuan yang mengatur Badan Penyelenggara Jaminan Sosial disesuaikan dengan Undang-Undang ini. Frase “..yang dimaksud dengan Undang-Undang ini” jelas mengacu pada UU SJSN dan bukan Undang-Undang delegasinya sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 Ayat (1). Permasalahannya adalah jika UU SJSN ingin mendelegasikan pembentukan BPJS melalui ketentuan Pasal 5 Ayat (1) maka delegasi tersebut merupakan delegasi blanko yang tidak diperbolehkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan karena tidak menyebutkan ruang lingkup materi muatan yang diatur. Karena biasnya ruang lingkup pengaturan dalam Pasal 5 Ayat (1) maka ketentuan Pasal 52 Ayat (2) juga menjadi bias karena tidak ada ruang lingkup pengaturan yang harus disesuaikan melalui UU SJSN. Kalaupun ada ruang lingkup ketentuan lain yang perlu disesuaikan dari UU SJSN sifatnya hanya teknis operasional yang sebenarnya dapat diatur dalam Undang-Undang yang didelegasikan. Agar delegasi tersebut tidak blanko dan bias/multitafsir, seharusnya ruang lingkup pengaturannya disebutkan secara tegas misalnya mengenai kedudukan, struktur organisasi, fungsi, tugas, dan wewenang, pendanaan, serta pengawasan BPJS. Meskipun demikian secara pendelegasian pembentukan instrumen hukum, Pasal 5 Ayat (1) jo. Pasal 52 Ayat (1) justru sudah tepat dan tidak multitafsir karena sifatnya syarat dan kondisi yang saling melengkapi. Hanya saja frasa “…dengan Undang-Undang” dalam Pasal 5 Ayat (1) menunjukkan arti bahwa setiap badan penyelenggara jaminan sosial yang sudah ada (JAMSOSTEK, TASPEN, ASABRI, dan ASKES) harus dibentuk dengan masing-masing Undang-Undang dan tidak dalam satu Undang-Undang.

Pendanaan
Salah satu permasalahan utama yang dihadapi oleh BPJS Kesehatan saat ini adalah defisit anggaran. Defisit anggaran ini menyebabkan penyelenggaran manfaat jaminan kesehatan nasional (JKN) oleh BPJS Kesehatan belum terlaksana secara optimal. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan UU Badan Keahlian DPR RI[3] terhadap UU SJSN, setidaknya ada 3 (tiga) faktor yang menyebabkan permasalahan defisit anggaran BPJS Kesehatan. Pertama, iuran yang belum sesuai dengan manfaat yang komprehensif. Kedua, defisit pengelolaan dana jaminan sosial (DJS) kesehatan, dan Ketiga, minimnya peran Pemerintah dalam menjamin terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan BPJS.

Solusi permasalahan defisit anggaran di atas apabila dikaji secara substantif pada dasarnya sudah diatur dalam UU SJSN, hanya saja implementasinya yang belum terlaksana sehingga menyebabkan manfaat jaminan kesehatan kepada masyarakat tidak optimal. Terkait besarnya iuran, Pasal 17 Ayat (3) dan Pasal 27 Ayat (3) UU SJSN menyatakan bahwa besaran iuran jaminan kesehatan dapat ditetapkan secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak. Artinya untuk kondisi saat ini BPJS Kesehatan dapat meninjau dan menaikkan besaran iuran dengan mempertimbangkan perbandingan iuran dan manfaat BPJS Kesehatan dalam setiap programnya. Kenaikan besaran iuran merupakan langkah solusitif yang harus diambil untuk mengatasi defisit anggaran selain mengatasi permasalahan cashflow akibat unfunded pembiayaan kepada pihak ketiga (faskes dan rumah sakit). Permalahan defisit anggaran dan cash flow BPJS Kesehatan apabila tidak segera diatasi akan membawa efek domino yakni terhambatnya pembayaran tagihan dari faskes dan rumah sakit, sehingga menganggu operasional faskes dan rumah sakit, yang akhirnya berdampak pada tidak optimalnya upaya pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Namun demikian kenaikan besaran iuran juga harus mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat. Alternatif solusi lain melalui pengurangan manfaat JKN bukanlah opsi yang seharusnya diambil untuk mengatasi permasalahan keuangan BPJS Kesehatan karena akan membawa dampak sosial politik yang besar bagi masyarakat.

Terkait pengelolaan DJS, Pasal 47 Ayat (1) menyatakan DJS wajib dikelola dan dikembangkan oleh BPJS secara optimal dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai. Namun demikian sebagaimana diketahui tingkat kesehatan keuangan DJS kesehatan saat ini bernilai negatif dengan adanya mismatch antara iuran yang diterima dari peserta dengan biaya yang dikeluarkan untuk pelayanan kesehatan. Hal ini menyebabkan adanya selisih nominal yang merupakan potensi penyebab BPJS Kesehatan mengalami defisit pengelolaan DJS kesehatan. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, persoalan defisit dan mismatch pengelolaan DJS dapat diselesaikan dengan melakukan revisi iuran yang dimungkinkan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Ayat (3) dan Pasal 27 Ayat (3) UU SJSN beserta peraturan pelaksananya yang diatur dalam Pasal 38 Ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan dimana berdasarkan Peraturan Presiden tersebut besaran iuran dapat ditinjau paling lama 2 (dua) tahun sekali.

Terakhir mengenai peran Pemerintah, pada dasarnya Pasal 48 UU SJSN telah mengatur bahwa “Pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan BPJS”. Namun dalam implementasinya Pemerintah belum dapat melaksanakan ketentuan tersebut karena adanya perbedaan pemahaman mengenai status BPJS sebagai sebuah perusahaan atau BUMN terkait dengan istilah “tindakan khusus” sebagai bentuk “Penyertaan Modal Negara”. Peran pemerintah dalam memelihara tingkat kesehatan keuangan BPJS juga masih erat kaitannya dengan DJS. Dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan, disebutkan bahwa aset DJS Kesehatan paling sedikit harus mencukupi estimasi pembayaraan klaim untuk satu setengah bulan ke depan dan paling banyak sebesar estimasi pembayaran klaim untuk enam bulan ke depan. Dalam hal aset DJS Kesehatan per-akhir tahun tidak memenuhi ketentuan di atas, paling sedikit Pemerintah dapat melakukan tindakan antara lain penyesuaian dana operasional, penyesuaian besaran iuran dan/atau penyesuaian manfaat.

Berdasarkan uraian di atas, apabila aspek kelembagaan dan pendanaan BPJS Kesehatan telah semakin kuat dan sehat maka diharapkan manfaat jaminan kesehatan yang bersifat komprehensif yang mencakup pelayanan promotif, pereventif, kuratif, dan rehabilitatif akan semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Dengan demikian tujuan UU SJSN dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur dapat tercapai.

Keterangan:
[1] Prof. Dr. Yuliandri, SH, MH, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2013, hal 17.
[2] Prof.Dr. Soerjono Soekamto, SH, MA, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2004, hal 8.
[3] Kajian Pusat Pemantauan Pelaksanaan UU Badan Keahlian DPR RI terhadap efektivitas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dengan stakeholder terkait di berbagai daerah, 8-12 April 2019.

BACA JUGA: