Oleh : Mardisontori, LLM, perancang Peraturan Perundang-Undangan Madya di Pusat Perancangan UU, Badan Keahlian DPR RI

Hasil survei Transparancy International merilis peringkat korupsi negara- negara di dunia pada tanggal 31 Januari 2019. Transparancy International merupakan lembaga internasional yang kredibel berbasis di Jerman mencatat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2018 naik 1 poin dari 37 menjadi 38 dari skala 0-100. Angka 0 menunjukkan negara sangat korup dan angka 100 menunjukkan negara bersih dari praktik korupsi. Dalam tingkatan global Indonesia menduduki peringkat 89 dari 180 negara, naik 7 peringkat dari tahun sebelumnya peringkat 96. Di kawasan ASEAN Indonesia menduduki peringkat ke empat setelah Singapura (peringkat 3 dengan IPK 85), Brunei (peringkat 31 dengan IPK 63) dan Malaysia (61 dengan IPK 47). Adapun rata-rata IPK di kawasan negara-negara Asia Pasifik adalah 44. Perbaikan ini patut disyukuri namun terbilang lambat atau tidak ada lompatan besar dalam perbaikan korupsi di Indonesia. Penilain terhadap IPK dinilai dari beberapa unsur diantaranya juga berkaitan dengan regulasi yang tersedia dan penegakkan hukum yang ada dinegara tersebut. 

Terkait regulasi, saat ini setidaknya ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai upaya pemberantasan korupsi  antara lain Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU tentang Tipikor) dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU tentang KPK). Permasalahannya, bagaimana korelasi regulasi yang tersedia namun belum mampu menekan secara signifikan terjadinyanya korupi. Secara regulasi, dalam tulisan ini khusus membahas terkait UU tentang KPK, sebaiknya materi muatan apa yang harus disempurnakan? 

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi ialah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.  Dalam Black Law Dictionary menyebutkan bahwa corruption is depravity, perversion, or taint; an impairment of integrity, virtue, or moral principle; esp., the impairment of public official’s duties by bribery {cases: officers and public employees. Korupsi merupakan realitas perilaku manusia dalam interaksi sosial yang dianggap menyimpang, dan membahayakan baik bagi masyarakat maupun bagi negara. Oleh karena sifat “berbahaya” yang luar biasa itu pulalah, maka dalam konteks kebijakan perundang-undangan, korupsi ditempatkan sebagai extraordinary crime yang harus ditangani dengan cara-cara yang khusus dan luar biasa (extraordinary measure).  Paling tidak itulah salah satu esensi pengaturan UU tentang KPK.  

Peran Penting KPK 

Pembentukan Lembaga Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan amanat Pasal 43 ayat (1) UU tentang Tipikor, bahwa ‘dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk KPK.” Berdasarkan Pasal tersebut maka dibentuklah UU tentang KPK. KPK dibentuk karena lembaga-lembaga utama penegak hukum yaitu Kepolisian dan Kejaksaan, tidak mampu menjalankan fungsi pemberantasan korupsi. Hal ini tersirat dalam konsiderans menimbang huruf b UU tentang KPK, yang menyebutkan bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. 

Pasal 3 UU tentang KPK menegaskan bahwa KPK merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, kepemimpinan bersifat kolektif dan pemberhentian anggota/pimpinan KPK hanya dapat dilakukan berdasarkan UU tentang KPK. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 huruf d UU tentang KPK, KPK mempunyai tugas melakukan tindakan pencegahan korupsi. Tugas ini tidak dimiliki oleh penegak hukum lain, kejaksaan dan kepolisian. Dalam melaksanakan tugas pencegahan tersebut, KPK berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan  korupsi yang mencakup:

  1. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara;
  2. menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
  3. menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;
  4. merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;
  5. melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;
  6. melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. 

Dari sekian institusi pemberantasan korupsi yang pernah dibentuk, yang cukup lama bertahan dan kokoh hingga saat ini adalah KPK. KPK menjadi tumpuan dan harapan masyarakat untuk mendorong Indonesia ke arah yang lebih baik.  Pembentukan KPK tidaklah semata-mata dimaksudkan sebagai sebuah institusi yang diberi kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan saja, melainkan juga melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan koordinasi dan supervisi terhadap semua instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.  

Lebih kurang 16 (enam belas) tahun sudah usia KPK, ratusan kasus korupsi besar sudah diungkap dan ditangani serta telah dieksekusi. Beberapa kasus tersebut sekedar sebagai contoh adalah kasus korupsi proyek simulator SIM, kasus kuota impor daging sapi, kasus suap kepala satuan kerja khusus migas,  kasus suap cek pelawat buat anggota DPR,  kasus proyek wisma atlet SEA Games, kasus Hambalang, kasus pencucian uang terkait pilkada, kasus penyelenggaraan ibadah haji, kasus mantan ketua DPR RI Setya Novanto dan masih banyak kasus lainnya yang mendapat perhatian masyarakat. Besarnya bentuk dukungan masyarakat kepada KPK, karena KPK dianggap sebagai salah satu, mungkin satu-satunya, yang memberikan harapan besar terhadap masyarakat dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.   

Penyempurnaan UU Tentang KPK

Praktik korupsi di Indonesia sudah terjadi secara meluas dalam masyarakat. Praktik korupsi akan berdampak tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perilaku korupsi yang meluas dan sistematis pada hakikatnya merupakan pelanggaran terhadap hak sosial dan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu semua tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa-biasa saja, tetapi dituntut dengan cara‑cara yang luar biasa.

Saat ini meskipun KPK memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. KPK merupakan lembaga negara yang mempunyai tugas dan wewenang dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Akan tetapi dalam perjalanannya, kinerja KPK dirasakan masih kurang efektif. Hal ini terlihat antara lain masih lemahnya koordinasi antar-lini aparat penegak hukum. Kelemahan lainnya yaitu belum adanya lembaga pengawas yang mampu mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK sehingga hal ini memungkinkan terdapat cela  serta kurangnya akuntabilitas pelaksanaan tugas dan wewenang pemberantasan korupsi oleh KPK.

Dengan perubahan materi muatan ketentuan dalam UU tentang KPK tersebut, maka KPK diharapkan dapat membuat jaringan kerja (networking) yang kuat serta  memperlakukan institusi  penegak hukum yang telah ada sebagai mitra kerja yang saling bersinergi sehingga pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara lebih efektif, terkoordinasi, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. KPK juga diharapkan dapat berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang sudah ada dalam upaya secara bersama-sama melaksanakan tugas pemberantasan tindak pidana korupsi.[1] Uraian  diatas merupakan alasan mengapa  UU tentang KPK perlu diubah atau disempurnakan. Hal ini sejalan  dalam upaya untuk memberi penguatan KPK itu sendiri sehingga akan mempercepat dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Materi muatan yang krusial pada tulisan ini yang perlu untuk disempurnakan atau ditambahkan dalam perubahan UU tentang KPK adalah terkait persoalan pengawasan. 

Pengawasan

Pegawasan sangat penting bagi setiap lembaga pemerintah, non-pemerintah, lembaga kementerian atau non-kementerian. Pengawasan yang dimaksud merupakan proses dalam menetapkan ukuran kinerja dan pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai dengan kinerja yang telah ditetapkan. Hal ini dimaksudkan agar memastikan bahwa segala kegiatan yang terlaksana sesuai dengan perencanaan. Hal ini dibutuhkan untuk menunjang kinerja lembaga untuk semua tugas yang sesuai dengan lembaga tersebut.[2] Fungsi dari pengawasan yang dimaksud adalah suatu proses untuk menetapkan pekerjaan yang sudah dilakukan, menilai dan mengevaluasi agar pelaksanaan pekerjaan itu sesuai dengan rencana semula, mengukur hasil terhadap tujuan, pemantauan kinerja terhadap standar, penghargaan kinerja yang luar biasa, mengambil tindakan korektif bila diperlukan. Adapun tujuan dari pengawasan adalah untuk menjadikan pelaksanaan dan hasil kegiatan sesuai dengan rencana dan tujuan, memecahkan masalah, mengurangi resiko kegagalan suatu rencana, membuat perubahan atau perbaikan, dan mengetahui kelemahan dalam implementasinya.

Sebagai ilustrasi perbandingan, saat ini aparat penegak hukum mempunyai pengawas masing-masing, kepolisian mempunyai Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan kejaksaan mempunyai Komisi Pengawasan Kejaksaan. Oleh sebab itu, sebagai lembaga yang sama-sama menangani tindak pidana korupsi, KPK juga memerlukan lembaga pengawas, apalagi KPK mempunyai kewenangan yang lebih dari aparat penegak hukum kepolisian dan kejaksaan.

Perbandingan dari praktik negara lain, lembaga anti korupsi di Hongkong (ICAC) mempunyai lembaga pengawas. ICAC diawasi oleh dua lembaga pengawas, yaitu Independent Complaint Committee (ICC) dan Operation Review Committee (ORC). ICC, yang beranggotakan penduduk asli yang dihormati, akan menerima seluruh komplain tentang keberadaan lembaga itu, selain masalah kriminalitas. Adapun ORC akan menangani berbagai keluhan selama investigasi.

Selama ini peran pengawasan terhadap KPK dilakukan melalui pengawasan internal. Adapun pengawasan eksternal baru dilakukan oleh DPR melalui fungsi pengawasannya terhadap kementerian atau lembaga. KPK sebagai badan hukum publik dan lembaga negara sampai saat ini belum mempunyai lembaga pengawas yang berasal dari publik. Lembaga pengawas diperlukan agar kegiatan KPK diawasi dan diarahkan secara berkala oleh lembaga pengawas tersebut mengingat KPK mempunyai kekuasaan yang cukup besar yang memerlukan adanya checks and balances sehingga dapat terhindar dari penyalahgunaan kewenangan serta pelaksanaan tugas dan wewenang KPK sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengawasan merupakan sesuatu yang penting dalam menjaga marwah dan martabat KPK sebagai suatu lembaga yang independen, dan harus dimaknai sebagai upaya untuk menjaga integritas dan independensi KPK. Tanpa pengawasan yang efektif maka KPK rawan terhadap berbagai bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).[3]

Dalam upaya untuk peningkatan profesionalitas kinerja KPK, Dewan Pengawas dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, memberi izin penyadapan dan penyitaan, serta menyusun dan menegakkan kode etik pimpinan KPK. Sebagai lembaga pengawas, Dewan pengawas berperan menjaga agar KPK terhindar dari upaya penyimpangan dari tugas dan wewenangnya. Dewan pengawas juga bertugas melakukan evaluasi kinerja pimpinan KPK serta menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai dugaan pelanggaran kode etik dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku oleh pimpinan KPK.  Seleksi anggota Dewas KPK dirancang dengan hati-hati, sehingga hanya warga negara Indonesia yang memiliki integritas moral dan keteladanan, dan kompeten yang dapat menjadi anggota Dewan pengawas. Mengacu pada ICAC (Independent Commission Against  Corruption) Badan Anti Korupsi di Hongkong, terdapat manajemen  penasihat dan Dewan Pengawas.

KPK meskipun lembaga negara yang bersifat independen namun tetap memerlukan adanya pengawasan, baik pengawasan secara internal maupun dari pihak luar atau eksternal. Pengawasan eksternal dapat dilakukan dengan membentuk dewan pengawas disamping DPR yang pempunyai hak pegawasan terhadap lembaga negara dan pemerintahan. Hal ini untuk memastikan terjadinya check and balances dan menjamin akuntabilitas serta menghindari terjadinya penyalahgunaan abuse of power oleh KPK dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.

Kesimpulan dan Saran

Indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang masih rendah, di bawah rata rata IPK di kawasan Asia Pasifik serta perbaikan yang lambat diantaranya berkontribusi dari kurang kuatnya norma pengaturan dalam UU tentang KPK. Oleh karena itu perlu adanya penyempurnaan, antara lain mengenai pengaturan perlunya penguatan pengawasan secara eksternal terhadap KPK. Hal ini akan mendukung upaya pememberantasan orupsi dapat dilakukan secara akuntabel, optimal, profesional serta berkelanjutan yang pada gilirannya juga akan dapat meningkatkan perbaikan IPK Indonesia dalam percaturan global.

 

[1]Penjelasan Umum draf RUU perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi, per tanggal 10 Februari 2016.

[2]Draf Naskah Akademik RUU Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi, per tanggal 20 Maret 2016, hal. 46-47.

[3]Substansi RUU Perubahan Atas RUU Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi, per tanggal 10 Februari 2016.

BACA JUGA: