Oleh:
Taswa Witular, S.IP (Kang Away)
Pemerhati Sosial-Politik

Sebuah mobil terus merayap dalam kebisingan dan padatnya jalan. Sesekali dia menyalip, menderu dalam tanjakan, sambil menghembuskan asap hitam. Mobil itu seakan gengsi harus mengakui nuraninya bahwa kelelahan tengah dia rasakan. 

Dalam perspektif kekuasaan, kecenderungan itu mulai terasa. Nilai, etika, budaya, dipaksa masuk. Jika kita amati desain marketing politic dari para aktor politik maka pragmatisme kepentingan politik akan begitu terlihat.

Dalam marketing politic dimaksud, politik tidak lagi ditentukan oleh arus bawah, tetapi ditentukan oleh rekayasa investor politik. Investor politik itu berperan sebagai aktor intelektual politik.

Pada drama politik seperti itu, politik tersandera oleh elite politik dan ekonomi yang terus berbisik di balik layar. Merekalah yang menggerakkan aktor politik. Putusan dan kebijakan politik pun tersirat untuk kepentingan dan keuntungan para elite politik belakang layar. Untuk itu, setiap aktor politik didandani/di-make up bak badut politik. Pikiran dan gerak-gerik politiknya telah diarahkan sesuai dengan skenario elite politik dan ekonomi.

Pendangkalan demokrasi politik terus diupayakan. Demokrasi politik terkadang menjadi rekayasa genetika politik untuk melahirkan aktor atau badut politik, bukan sebuah kanal transfersal politik dengan rakyat. 

Kelahiran badut politik (politikus  yang terlepas dari kepentingan rakyat) dari sebuah demokrasi semu, demokrasi yang hanya jadi pemelihara mimpi publik, tanpa disadari telah memaksa rakyat untuk tersingkir dan hanya menjadi pemandu sorak dalam politik. 

Setelah sebelumnya partai-partai politik berlomba membuat drama bertema mengusung dan mendukung bakal calon, maka akan tiba 27 Juni 2018 sebagai momentum bagi rakyat di banyak daerah untuk memilih pemimpinnya.  Meski drama politik sajian para tim sukses banyak menyita perhatian publik, namun rakyat terus memproduksi harapan untuk memelihara kemurnian politik, yaitu politik yang menyejahterakan. 

Rakyat berharap pilkada melahirkan seorang pemimpin yang mampu menciptakan iklim demokrasi sesungguhnya, dimana kelak tidak sekadar mengeluarkan kebijakan yang baik untuk diri sendiri maupun golongannya, tetapi kebijakan yang dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. 

Untuk hal itu tentu saja kepala daerah harus bisa memerankan diri sebagai arsitek, sehingga apapun sketsa yang dibuatnya sudah melalui tahap penelusuran terhadap tanah dan lingkungannya.

Kepala daerah terpilih hendaknya memulai membangun kesejahteraan rakyat dengan menggali kekuatan dari pemerintahan yang dipimpinnya. Ini sangat penting dan lebih utama daripada bergantung pada kekuatan alam daerahnya. 

Harus dicatat bahwa reformasi birokrasi tidak selalu identik dengan rotasi dan mutasi. Kepala daerah harus mampu menunjukkan bahwa sebagian besar karismanya mampu menempatkan dirinya sebagai pemimpin, sehingga personel pembantunya pun kelak terbiasa dalam bekerja penuh rasa tulus serta tanggung jawab, bukan atas dasar ketakutan semata.

Politik sesungguhnya bukan anak haram dari pengetahuan manusia, namun haruslah dipahami sebagai seni memainkan peran, baik secara ideologis maupun secara kultural. Kepala daerah terpilih hasil pilkada serentak tahun ini hendaknya bukanlah badut politik tapi dia adalah pekerja yang bekerja dalam logika kerakyatan. Dekatkanlah politik dengan kualitas rasional yang komprehensif, bukan dengan kualifikasi antropologis-sentimental.  Sekali lagi, rakyat tengah merajut mimpi indah, maka jadilah pemimpin yang menyejahterakan.

Anda mempunyai ide dan karya yang orisinil, cerdas, dan mencerahkan yang senafas dengan misi kami untuk melakukan pembaharuan hukum-politik Indonesia, silakan kirimkan tulisan, foto, video atau segala bentuk ekspresi kreatif lainnya melalui email: [email protected].

BACA JUGA: