JAKARTA, GRESNEWS.COM - Banjirnya gula rafinasi impor ke dalam pasar dalam negeri telah berdampak terhadap kerugian pabrik-pabrik gula milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kerugian itu mencapai sebesar Rp1 triliun.

Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia/RNI (Persero) Ismed Hasan Putro mengungkapkan akibat menanggung rugi hingga Rp1 triliun, perusahaan BUMN gula harus membayar karyawan dan vendor dengan gula. Artinya perusahaan BUMN melakukan transaksi dengan menggunakan gula.

"Ini suatu kemunduran bagi perusahaan BUMN gula. Kita jadi kembali ke zaman batu, transaksinya pakai sistem barter," kata Ismed di Kementerian BUMN, Jakarta, Senin (20/10).

Ismed mengatakan banjirnya gula rafinasi di pasar tradisional akibat kebijakan mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan yang membuka keran impor gula rafinasi sebanyak 4,5 juta ton. Menurutnya sampai saat ini dari 52 pabrik gula milik perusahaan BUMN, hanya 32 pabrik gula yang bisa beroperasi maksimal dan itupun harus menanggung beban hutang hingga Rp1 triliun.

"Kita mendesak pemerintahan baru melakukan moratorium impor gula rafinasi. Pemerintahan yang baru harus menyerap produksi gula industri dalam negeri," kata Ismed.

Disatu sisi, Ismed menilai selama ini pemerintah telah melanggar peraturan yang telah dibuatnya. Dia mengungkapkan dalam peraturan tersebut menyatakan setelah tiga tahun pembangunan gula rafinasi harus memiliki lahan. Namun pada kenyataannya, setelah tujuh tahun pabrik gula rafinasi terbangun belum ada satupun lahan tebu yang dibangun. "Berarti ada perilaku yang diskriminasi. Terhadap 11 pabrik gula rafinasi yang tidak ada lahan tebu," kata Ismed.

Sementara itu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu mengatakan selama ini Kementerian Perdagangan melalui Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri mengakui tidak ada yang mendata dalam mengimpor gula rafinasi. Artinya jika Kementerian Perdagangan tidak melakukan pendataan maka siapa yang bertanggung jawab atas praktek impor gula rafinasi.

Said menilai ada indikasi munculnya kongkalikong dalam permainan impor gula rafinasi. Misalnya dalam impor biasanya 500 ton gula, namun gula yang beredar di pasar sebanyak 1 juta ton. Menurutnya hal itu bisa terjadi dikarenakan tidak ada data yang valid mengenai impor gula rafinasi. "Tidak ada data begitu. Jadi siapa yang harus bertanggung jawab," kata Said.

BACA JUGA: