JAKARTA, GRESNEWS.COM - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengaku tak hanya sekadar meminta kenaikan upah minimum 30 persen dan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) menjadi 84 item. KSPI juga meminta produktivitas dan efisiensi kerja buruh ditingkatkan. Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, kinerja buruh bisa ditingkatkan misalnya melalui pelatihan di internal perusahaan atau Balai Latihan Kerja pemerintah.

"Bagi pengusaha yang memberikan pelatihan kepada buruhnya maka akan mendapatkan insentif pajak," kata Said dalam siaran persnya yang diterima redaksi Gresnews.com, Minggu (18/5).

Said mengatakan kenaikan upah minimum dalam tiga tahun sangat signifikan karena faktor akumulasi dalam 20 tahun terakhir upah buruh Indonesia sangat murah, jauh tertinggal dengan Thailand dan Philipina. Sehingga begitu diubah item KHL dari 46 item menjadi 60 item KHL langsung terasa naiknya padahal masih tetap ada item KHL yang tidak rasional seperti dalam sebulan buruh hanya mengkonsumsi beras kualitas rendah 100 kilogram, ikan segar 5 potong, daging 0,75 kg dan tidak ada televisi untuk kebutuhan atau pulsa sms untuk komunikasi. "Itulah alasan kenapa upah naik signifikan," kata Said menambahkan.

Said mengaku meningkatnya produktivitas buruh tidak bisa dituntut hanya karena pengusaha sudah menaikkan upah minimum tapi ada faktor lain juga yang harus dibenahi diantaranya mengganti mesin-mesin tua dengan yang baru. Said menilai rata-rata industri di Indonesia masih banyak menggunakan mesin-mesin tua yang itu digunakan pada tahun 1970 sampai 1980. Menurutnya para pengusaha tidak mencadangkan investasi, hanya berkutat pada upah murah. Berbeda Vietnam dan Kamboja yang sudah menggunakan mesin agak baru.

Di satu sisi pengusaha juga enggan memberikan training untuk peningkatan sumber daya manusia (SDM) bagi para buruh karena pengusaha mengganggap pendidikan atau training adalah cost, padahal pendidikan untuk up grade skill adalah investasi. Menurut Said saat ini pengusaha Indonesia kelabakan karena tiba-tiba Vietnam, Myanmar, Bangladesh, Kamboja, Laos menjadi negara terbuka untuk investasi dan barulah pengusaha Indonesia berteriak adanya kenaikan upah tinggi dan produktivitas buruh rendah. "Jadi selama 20 tahun ini dengan segala proteksi pemerintah dan profit yang telah diraup, kemana saja? Ini tidak adil," kata Said.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati mengatakan kenaikan upah 30 persen di tahun 2015, otomatis akan menimbulkan kekhawatiran bagi para pengusaha. Apalagi tuntutan kenaikan upah buruh Rp2,4 juta, mayoritas industri belum merealisasikan. Artinya, tuntutan dan juga pemenuhan di lapangan hingga sampai level implementasi sebenarnya menggunakan mekanisme kesepakatan antara pengusaha dengan buruh.

Enny mengatakan yang menjadi persoalannya sekarang dari sisi tenaga kerja terdapat disparitas yang besar dalam kualitas tenaga kerja. Artinya masih ada banyak tenaga kerja yang memiliki standardisasi baik secara skill dan pendidikan. Kemudian dari pengusaha pun memiliki beban yang tinggi. Sementara itu juga ketika para pekerja memiliki standard yang tinggi tentunya untuk mencari pekerjaan akan menjadi sangat sulit.

Kemudian persoalan tenaga kerja terampil menurut Enny, pemerintah harus ikut serta didalam peningkatan keahlian dan pendidikan para pekerja karena dengan adanya peningkatan skill secara otomatis upah akan menyesuaikan dengan tingkat keahlian. Untuk itu, Enny menilai saat ini yang dibutuhkan adalah iklim kerjasama yang kondusif antara pengusaha dan tenaga kerja.

Ketika iklim kondusif sudah terbentuk maka pengusaha pun memiliki ruang dan sembari itu juga pemerintah untuk memperbaiki tata mekanisme pengupahan. "Hal itu sangat diperlukan karena kita saat ini masih menghadapi persoalan pengangguran yang luar biasa," kata Enny

BACA JUGA: