JAKARTA, GRESNEWS.COM - Menyusul protes sejumlah kalangan terkait syarat Saringan Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) yang dinilai diskriminatif terhadap penyandang disabilitas. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akhirnya mengafirmasi syarat yang dibuat oleh Forum Rektor se-Indonesia tersebut.

Pengecekan Gresnews.com di Universitas Islam Negeri Jakarta diperoleh informasi bahwa  larangan peserta ujian SNMPTN tidak boleh tuna rungu, tuna daksa, tuna netra, tuna wicara, dan tidak buta warna kini tidak sepenuhnya diberlakukan. Syarat itu telah diubah hanya untuk program studi (prodi) tertentu.  "Jadi tidak semua prodi. Seperti Tarbiyah dan Kedokteran tidak mungkin diterima. SNMPTN tetap terima peserta difabel sesuai dengan bidang yang bisa diikuti," kata Kepala Biro Administrasi Akademik Kemahasiswaan dan Kerjasama UIN Jakarta, Zaenal Arifin.

Zaenal juga menegaskan universitasnya  tetap akan memfasilitasi penyandang difabel untuk dapat mengikuti SNMPTN. Fasilitas ujian bergantung pada jenis difabel peserta. Untuk tuna netra terdapat fasilitas soal dengan huruf braille. Sementara terkait lokasi ujian, penyandang difabel akan mengikuti ujian bersama dengan peserta umum lainnya.

Sebelumnya terbit pengumuman melalui website resmi SNMPTN,  dimana terdapat syarat bahwa peserta SNMPTN tidak boleh menderita cacat  seperti tuna rungu, tuna daksa, tuna netra, tuna wicara, dan tidak buta warna. Syarat tersebut diprotes sejumlah pihak diantaranya oleh Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Mereka menilai larangan tersebut diskriminatif bagi penyandang difabel dan membatasi penyandang difabel memperoleh pendidikan tinggi.

Keputusan itu sendiri berasal dari Forum Rektor se-Indonsia. Namun seiring somasi oleh kedua organisasi itu beberapa kampus seperti Universitas Gajah Mada dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga tetap menerima calon mahasiswa berkebutuhan khusus. Karena kebetulan dua kampus tersebut memiliki program yang justru memfasilitasi mahasiswa disabilitas.

Menanggapi kebijakan di atas, Dede Rosyada, pengamat pendidikan yang juga Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta menyatakan secara akademis, penyandang difabel tetap punya hak belajar dan berprestasi. Terkait fasilitas seharusnya ada juga tangga khusus dan program pendampingan yang memberikan kemudahan untuk belajar bagi penyandang difabel.

"Di tataran realita, ada persyaratan khusus bagi penyandang difabel. Misal di kedokteran atau keguruan, persyaratannya harus normal karena kami tidak bisa memberikan pelayanan khusus," kata Dede.

Ia mencontohkan tahun lalu menerima mahasiswa tuna netra, saat Praktek Kerja Lapangan ia harus mengajar. Ia mengajar di Sekolah Luar Biasa. Sementara kita tidak ada kurikulum untuk mengajarkan anak berkebutuhan khusus. "Jadi kami merasa tidak maksimal memberikan fasilitas bagi penyandang difabel," tambahnya.

Dede menjelaskan penyandang difabel juga memiliki berbagai macam kategori seperti tuna rungu akan berbeda perlakuan atau fasilitasnya dengan tuna netra. Sehingga perlakuan bagi penyandang difabel bergantung pada macamnya.

Ia mengakui bahwa kebijakan yang membatasi penyandang difabel di prodi-prodi tertentu memang akan menimbulkan keresahan di masyarakat. Akan tetapi pihak kampus akan kesulitan memfasilitasi dengan keterbatasan media mengajar bagi penyandang difabel. "Seharusnya itu menjadi pemikiran pemerintah," katanya.

Pemerintah, menurut dia, harus menyediakan fasilitas bagi penyandang difabel di kampus baik dari segi fasilitas fisik maupun sumber daya manusia. Ia mengaku setuju jika penyandang difabel harus diterima, tapi kampus juga harus mendorong kementerian untuk melengkapi sarana prasarana misalnya dengan audio visual bagi yang tuna rungu.

BACA JUGA: