JAKARTA - Amnesty International Indonesia menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan UU 16/2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan) yang sedang didorong oleh pemerintah dan DPR berpotensi mengekang kebebasan sipil serta mengekalkan diskriminasi berbasis agama dan keyakinan.

Selain Amnesty International Indonesia, sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan perorangan juga berpendapat senada. Mereka adalah HRWG, YLBHI, Paritas Institute, LBH Pers, KontraS, Southeast Asia Parliamentarians for Freedom of Religion or Belief (SEAPFoRB), SEJUK, Institut DIAN/Interfidei, LBH Jakarta, LPBH YKI, Perkumpulan IKA MIH UKI, Pdt Em. Weinata Sairin, LeIP, PUSAD Paramadina, SETARA Institute, Millah Abraham, Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT), Gerakan Cinta Damai Sulawesi Utara, dan Pdt. Dr. Albertus Patty.

Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, pasal krusial dalam UU Kejaksaan adalah Pasal 30 ayat (3) yang mengatur wewenang dan tugas kejaksaan di bidang ketertiban dan ketenteraman umum. Selengkapnya berbunyi: Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:

  1. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
  2. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
  3. Pengawasan peredaran barang cetakan;
  4. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
  5. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
  6. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

 

"Wewenang dan tugas ini memiliki beberapa masalah," kata Usman kepada Gresnews.com, Sabtu (5/9/2020).

Dalam rancangan revisi UU Kejaksaan, pasal yang berkaitan dengan wewenang kejaksaan di bidang ketertiban dan ketenteraman umum yaitu penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan guna mendukung kegiatan dan kebijakan penegakan hukum yang meliputi:

  1. Kewenangan selaku intelijen penegakan hukum;
  2. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
  3. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
  4. Pengawasan peredaran barang cetakan dan multimedia;
  5. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;  
  6. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
  7. Penyadapan dan menyelenggarakan pusat monitoring.

Masalah pertama, kata Usman, wewenang dan tugas itu membuat kejaksaan memiliki wewenang dari hulu ke hilir sehingga berpotensi terjadinya konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Kejaksaan dalam hal ini berwenang sebagai intelijen, pengawasan, pencegahan, edukasi dan penegakan hukum.

"Padahal kita tahu intelijen idealnya bukan fungsi yang bisa sekaligus melakukan eksekusi atau penegakan hukum. Selain itu fungsi pencegahan yang salah satunya diwujudkan dalam peningkatan kesadaran hukum masyarakat sangat berpotensi bias dan diskriminatif karena kejaksaan juga pengawas dan penegak hukum," tuturnya.

Kedua, jelasnya, pengawasan terhadap aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara adalah sebuah diskriminasi yang berakar pada stigma yang ada dalam UU 1/PNPS/1965. Putusan MK 97/PUU-XIV/2016 yang menghapus diskriminasi seperti itu antara lain tertuang pada halaman 138 Putusan MK yang menguraikan: Hak dasar untuk menganut agama, yang di dalamnya mencakup hak untuk menganut kepercayaan terhadap Tuhan YME, adalah bagian dari hak asasi manusia dalam kelompok hak-hak sipil dan politik.

Masih dalam paragraf yang sama MK menyatakan: Dalam konteks Indonesia, pernyataan ini, bukan lagi sekedar sesuatu yang bernilai doktriner melainkan telah menjadi norma dalam hukum dasar (konstitusi) dan oleh karena itu mengikat seluruh cabang kekuasaan negara, sebab hal itu dituangkan secara normatif dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 UUD 1945.

Persoalan ketiga, lanjut Usman, pencegahan penodaan agama adalah pengekalan diskriminasi terhadap kelompok minoritas keagamaan/keyakinan. Ketiadaan definisi penodaan agama telah membuat berbagai tindakan dihukum dengan kriteria yang sama yaitu penodaan agama. "Tentu hal ini merupakan pelanggaran terhadap asas legalitas; lex scripta, lex certa dan lex stricta," jelas Usman.

Menurut Usman, penodaan agama juga merupakan tindak pidana yang ada sebelum Indonesia menjadi negara pihak Kovenan Hak Sipil dan Politik. Sudah menjadi kewajiban Indonesia untuk melakukan harmonisasi dan bukannya mengekalkan bentuk-bentuk diskriminasi berbasis agama/keyakinan yang ada sebelumnya.

"Berdasarkan hal-hal di atas kami meminta, pertama, revisi UU harus menyelaraskan Putusan MK yang memaknai kepercayaan setara dengan agama, sehingga kewenangan kejaksaan dalam pengawasan harus ditinjau kembali dalam proses revisi tersebut," katanya.

Kemudian, revisi UU kejaksaan juga perlu melakukan harmonisasi dengan norma HAM internasional yang telah menjadi hukum Indonesia.

"Terakhir, revisi UU Kejaksaan perlu melibatkan dan menyerap aspirasi publik, khususnya kelompok minoritas dan rentan, sesuai Pasal 28H ayat (2) Konstitusi," tandasnya.

Diwawancarai terpisah, Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan KoDe Inisiatif Violla Reininda menyatakan revisi UU Kejaksaan tidak relevan. "Dan tidak mengakomodasikan perlindungan hak beragama, terutama penghayat kepercayaan dan agama lainnya yang tidak termasuk enam agama yang diakui," kata Vio, panggilan akrabnya, kepada Gresnews.com, Sabtu (5/9/2020).

Menurut Vio, MK sendiri telah mendorong legislator untuk melakukan revisi terhadap UU tersebut.

"MK pun mendorong legislator untuk merevisi UU tersebut. Jadi, seyogianya UU PNPS (Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama) yang semestinya terlebih dahulu direvisi," katanya.

Sementara itu, Koordinator Riset Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan, revisi UU Kejaksaan itu memiliki sejumlah persoalan pertentangan norma. Salah satunya tentang pengawasan peredaran barang cetakan dan multimedia. Kewenangan kejaksaan itu sudah dicabut oleh MK pada 2010.

"Maka seharusnya revisi ini tidak menghidupkan kembali pasal yang sudah dinyatakan MK bertentangan dengan konstitusi," kata Ardi kepada Gresnews.com, Sabtu, (5/9/2020).

Mengenai pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, pemerintah juga masih bersifat diskriminatif terhadap masyarakat, khususnya terhadap kelompok penghayat atau aliran kepercayaan lainnya. Belum diundangkannya revisi ini saja, negara sudah abai terhadap hak-hak mereka. Apalagi nanti kalau UU ini disahkan, tentunya nasib kelompok minoritas akan semakin terdiskriminasi.

Pemerintah juga seharusnya membubarkan badan koordinasi pengawas aliran kepercayaan masyarakat (Bakorpakem).

Dalam hal pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, tegasnya, pencegahan tidak boleh dilakukan oleh aparat penegak hukum, karena mereka pihak yang berwenang menindak secara hukum (dominus litis) perkara yang diduga merupakan penodaan agama.

"Lebih dari itu, aturan tentang penodaan agama di Indonesia juga masih bersifat multitafsir dan rentan disalahgunakan oleh pihak penguasa, sehingga hal ini mestinya dihapus dari draf revisi UU Kejaksaan," pungkasnya. (G-2)

BACA JUGA: