JAKARTA - Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) Perubahan Ketiga UU Nomor 24 Tahun 2003 diduga kuat akan menjadi barter politik oleh pemerintah dan DPR, apalagi saat ini banyak undang-undang kontroversial yang sedang diuji di MK.

Tiba-tiba pemerintah dan DPR hendak mengesahkan revisi UU MK dalam waktu dekat. DPR membahas RUU MK tersebut pada Kamis lalu melalui mekanisme rapat tertutup. Beberapa perubahan yang dibahas di antaranya tidak lagi mengatur batas masa jabatan bagi hakim konstitusi.

RUU MK juga mengubah batas usia minimum hakim konstitusi dari 47 tahun menjadi 60 tahun. Saat ini sejumlah hakim konstitusi telah berusia di atas 60 tahun.

Peneliti dari Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif) Violla Reininda mengatakan RUU MK tidak penting dan tidak substansial. Karena tidak menyentuh hal-hal yang sifatnya memperkuat MK sebagai penjaga konstitusi, pengawal demokrasi dan pelindung serta yang memulihkan pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional warga negara.

"Tiga poin besar ini sama sekali tidak disentuh di dalam perubahan UU MK. Apabila hanya berkutat pada hal-hal berkaitan pada masa jabatan lebih baik ditunda lebih dahulu atau bahkan tidak disahkan sama sekali," kata Violla dalam konferensi pers virtual yang diikuti Gresnews.com, Jumat (28/8/2020).

Selain itu, Violla melihat revisi UU MK tersebut lebih terfokus pada syarat usia hakim konstitusi.

Prof. Jimly Asshiddiqie pertama kali menjabat sebagai hakim konstitusi sekaligus menjadi ketua MK berusia 47 tahun. Prof. Mahfud MD berusia 51 tahun, dan Dr. Hamdan Zoelva berusia 48 tahun.

"Kalau kita melihat preseden-preseden sebelumnya apakah hakim konstitusi ini sudah berusia 60 tahun? Ini adalah usia-usia yang masih muda dan produktif serta masih prima. Untuk terus menegakkan nilai-nilai konstitusi, menegakkan rule konstitusi melalui MK," tuturnya.

Jadi sebenarnya tidak relevan dan tidak ada pertimbangan yang bisa masuk akal ketika usia itu ditinggikan menjadi 60 tahun.

Seperti diketahui usia 60 tahun itu adalah usia orang-orang yang sudah pensiun. Inilah yang menjadi kekhawatiran publik, kalau usia terlalu tinggi seperti ini malah dijadikan tempat berlabuh bagi orang yang sudah tidak menjabat lagi.

"Karena dia sudah pensiun ya sudah masuk saja ke MK. Ini juga yang menjadi kekhawatiran dan bisa juga menjadi barter politik," jelasnya.

Menurut Violla, secara singkat barter politik adalah menukarkan ketentuan tentang masa jabatan yang menguntungkan sejumlah hakim konstitusi. Dengan keputusan yang akan dihasilkan oleh MK nantinya.

"Kan ada indikasi bahwa putusan ini kemudian bisa memasukkan KPK kedalam rumpun eksekutif dan kemudian memperluas obyek hak angket termasuk juga KPK dan ditukarkan dengan masa jabatan hakim konstitusi," terangnya.

Pada prinsipnya rancangan UU ini sangat berbahaya dan patut untuk ditunda terlebih dahulu.

"Jangan sampai kita menukarkan marwah dan juga keluhuran dari MK yang selama ini dipercaya oleh publik untuk menegakkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai konstitusi dengan kepentingan politik pragmatis yang sama sekali tidak berorientasi pada publik, dan cenderung inkonstitusional. Tentu sudah selayaknya kita lebih berkepala dingin untuk membahas dan juga mengesahkan rancangan UU ini," ucapnya.

Sementara itu peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Agil Oktaryal menjelaskan perkembangan pembahasan RUU MK di DPR pada Senin, 24 Agustus 2020. Komisi III DPR telah melakukan rapat kerja dengan perwakilan pemerintah yang dihadiri oleh kementerian Hukum dan HAM langsung oleh Menteri Yasonna Laoly, perwakilan Menpan RB, Kemenkeu dan perwakilan dari MK.

Rapat tersebut menyepakati agar RUU tentang perubahan tiga atas MK ini dilanjutkan ketahap pembahasan. Dari jadwal resmi pembahasan hanya dilakukan dalam waktu dua hari saja. Pada Rabu (26 Agustus 2020) sampai Kamis (27 Agustus 2020).

Selanjutnya diambil keputusan untuk pengesahan di rapat paripurna DPR yang akan dilakukan pada Selasa pekan depan (1 September 2020).

"Pertama, saya ingin menyampaikan dalam daftar inventaris masalah (DIM) yang sudah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR itu total ada 120 poin dalam perubahan ketiga RUU MK ini," kata Agil dalam kesempatan yang sama.

Ada 10 hal yang berkaitan dengan substansi atau ada 10 poin substansi di mana yang baru hanya ada dua poin. Perubahan terkait redaksional ada 8 poin. Kemudian yang bersifat tetap artinya tidak dilakukan perubahan ada 101 poin.

Sementara yang baru adalah tatacara seleksi dan pemilihan masa jabatan ketua dan wakil ketua dari MK. Clusternya sendiri dibagi beberapa hal. Pertama adalah berkaitan dengan usia pensiun, syarat hakim, pemilihan ketua dan wakil ketua, proses seleksi hakim, majelis kehormatan, dan ketentuan peralihan.

Jadi, kata Agil, terlihat bahwa dari DIM yang diserahkan oleh pemerintah fokus revisi UU MK adalah berkaitan dengan syarat pemilihan hakim, serta pemilihan ketua dan wakil ketua.

Dengan proses yang demikian itu dinilai telah melanggar prinsip umum dalam kontitusi dan UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

"Pertama yang dilanggar adalah prinsip kedaulatan rakyat, demokrasi, prinsip hak asasi manusia dalam proses itu. Karena tidak adanya transparansi, keterbukaan terhadap publik dan prosesnya sangat cepat. Dan ini juga melanggar ketentuan dalam Pasal 88 dan Pasal 96 UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan," jelasnya.

Kemudian, yang lebih esensial dari hal itu adalah proses yang cepat, kilat dan tertutup itu sangat mencederai semangat reformasi. Di mana Reformasi 1998 menginginkan hadirnya MK karena rakyat yang menginginkan kehadiran MK tentunya rakyat harus didengar ketika ada perubahan terhadap UU MK.

Tetapi DPR dan pemerintah sepertinya tidak mengindahkan hal tersebut. Pembahasan dilakukan dengan cepat. Bahkan ditengah kondisi pandemi COVID-19 yang terjadi sekarang. Artinya proses yang tidak melibatkan partisipasi publik ini dalam merevisi UU MK telah mencederai semangat reformasi.

"Kita tahu bersama bahwa banyak riset kajian akademik yang menyatakan bahwa kita sebenarnya memang butuh revisi terhadap UU MK tetapi revisi ini lebih ditujukan kepada bagaimana kita bisa memperbaiki kondisi MK secara kelembagaan," terangnya.

Ada tiga hal, pertama, misalkan menambah kewenangan MK untuk melakukan konstitusional komplain atau pengaduan konstitusional dari warga negara.

Kedua, constitutional question yaitu pertanyaan konstitusional yang bisa dilakukan warga negara kepada MK.

Ketiga, MK diharapkan melakukan pengujian peraturan perundang-undangan dalam satu atap. Jadi peraturan perundang-undangan sekarang tersebar ada di Mahkamah Agung dan di MK diharapkan bisa menguji semua peraturan perundang-undangan itu. Jadi tidak ada lagi kewenangan dari Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian.

Keempat, mengatur standar rekruitmen hakim konstitusi yang berasal dari tiga lembaga. Ada DPR, Presiden dan MA. Hakim konstitusi itu diusulkan oleh DPR, Presiden dan MA yang selama ini memiliki standar masing-masing yang berbeda. Seharusnya dibuat standar yang sama ketiga lembaga negara tersebut untuk memilih hakim konstitusi sebagai seorang negarawan.

Penguatan pengawasan terhadap hakim MK termasuk etik MK diatur kedepannya. Dan juga yang dibutuhkan MK adalah kepatuhan terhadap keputusan MK. Jadi ada regulasi kedepan yang diharapkan pembentuk UU itu mematuhi dari putusan MK. Karena selama ini ada putusan MK yang diabaikan. Bagaimana hukum acara MK yang sekarang tersebar di banyak peraturan MK itu levelnya dinaikkan ke dalam UU MK.

Tetapi yang terjadi dalam revisi UU MK yang dilakukan ini tidak menjawab kebutuhan dari MK itu sendiri.

"Yang terjadi justru adalah ada pasal-pasal krusial yang coba dititipkan. Misalkan, berkaitan dengan minimal usia seorang bisa menjabat hakim konstitusi dan mengatur berkaitan dengan masa pensiunnya," katanya.

Peneliti Indonesia Corruption Wacth (ICW) Kurniawan Ramadhana mengatakan proses formil di UU MK dan praktik dugaan pelanggaran formil sudah terlalu sering dipertunjukkan secara terang benderang oleh pembentuk undang-undang yaitu DPR dan pemerintah.

"Beberapa hal yang terjadi dalam proses revisi UU KPK yang praktis tidak memperlihatkan legal reasoning yang jelas dan juga partisipasi publik yang minim," kata Kurnia.

Ini jelas sekali bertentangan dengan UU 12/2011 terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan.

"Dan kami pastikan bahwa ketika revisi UU MK subtansinya seperti ini tetap dilanjutkan dan diundangkan oleh pembentuk undang-undang MK pasti akan dibanjiri proses judicial review," jelasnya.

Harusnya, kata Kurnia, mereka malu ketika mengesahkan sebuah UU justru publik ramai-ramai judicial review UU tersebut.

Logika sederhananya ketika pihak yang mengeluarkan sebuah produk peraturan perundang-undangan, dia pasti menginginkan tidak ada yang mejudicial review. Tidak ada yang mempermasalahkan secara formil juga subtansi. Itu logika awalnya.

Tapi Omnibus Law, UU KPK, UU MK ini pasti akan dibanjiri orang-orang yang tidak sepakat. Termasuk Koalisi Save Mahkamah Konstitusi dalam konteks formil dan juga materil.

"Sudah pasti MK tidak bisa menjamin proses itu akan berjalan obyektif ketika dilakukannya uji materil ataupun uji formil," tandasnya.

Peneliti hukum Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas Padang, Hemi Lavour Febrinandez, mengatakan revisi ini mengatur masa jabatan hakim. Yaitu salah satu ketentuan yang diubah dalam rancangan UU MK yaitu tentang syarat umur untuk menjadi hakim konstitusi.

"Yaitu pada ketetapan Pasal 15 ayat 2 tentang MK mengisyaratkan bahwa untuk dapat diangkat menjadi hakim MK seorang calon hakim konstitusi harus berusia paling rendah 47 tahun dan paling tinggi 65 tahun," kata Lavo dalam acara tersebut.

Namun pada naskah revisi UU MK aturan ini diubah dengan menaikkan umur. Minimal menjadi 60 tahun untuk dapat menjadi hakim MK dan usia pensiun hakim konstitusi itu berusia 70 tahun.

Selain menaikkan usia minimal revisi UU MK juga menghapus Pasal 22. Ketentuan tersebut menjelaskan tentang masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi selama 5 tahun. Dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan.

"Implikasi hukum penghapusan pasal tersebut membuat hakim konstitusi akan dapat menjabat hingga pensiun, yaitu pada usia 70 tahun," tuturnya.

Ketentuan-ketentuan ini harus dilihat secara holistik dan dapat menganggu independensi hakim konstitusi. Karena akan mungkin saja terjadi politik transaksional dalam pembahasan revisi UU MK ini.

"Jika kita melihat berapa UU yang dibahas di MK saat ini. Seperti rancangan UU KPK dan beberapa UU yang lainnya. Kita akhirnya menghubung-hubungkannya kenapa ditengah pandemi covid-19 pemerintah bersama DPR lebih memilih untuk membahas rancangan UU yang sebenarnya tidak substansial dari isinya," terangnya.

Hal itu karena revisi tersebut hanya membahas untuk kepentingan hakim konstitusi saja tidak sebagai kelembagaan. Pembahasan hanya masalah syarat-syarat administratif yaitu batas umur dan lain-lain.

Lavo menyoroti masalah penetapan batasan soal umur. Yaitu, bagaimana menaikkan umur minimal menjadi 60 tahun. Dengan alasan-alasan bahwa orang yang lebih tua adalah orang yang lebih bijaksana dalam mengambil keputusan serta orang yang telah selesai dengan urusan dunianya. Sebenarnya pandangan ini adalah sebuah pandangan yang keliru.

"Kita harus melihat bahwa kebijaksanaan seseorang pemahaman tentang pemahaman hukum seseorang tidak bisa dilihat seberapa tua atau seberapa muda orang tersebut. Karena faktor seseorang tidak dapat diukur dari umur mereka menjabat atau umur mereka ketika mendaftar menjadi hakim konstitusi," terangnya.

Ketika ada pembatasan umur menjadi lebih tinggi 60 tahun. Maka akan menutup ruang orang-orang yang akan memiliki kapasitas namun tidak mencapai tidak memenuhi syarat umur. Sehingga ruang yang diisi menjadi lebih sedikit bagi orang-orang yang ingin menjadi hakim konstitusi.

"Oleh sebab itu, sebenarnya persoalan umur yang telah diputuskan oleh putusan MK tidak seharusnya kembali dibahas didalam revisi UU MK. Bahkan seharusnya dalam keadaan seperti ini tidak butuh dilakukan revisi terhadap UU,"tandasnya. (G-2)

BACA JUGA: