JAKARTA - Kepolisian Republik Indonesia didesak membawa kasus dugaan penyiksaan terhadap Hendri Alfred Bakarie, warga Belakangpadang, Kota Batam, Kepulauan Riau, ke ranah peradilan pidana. Korban yang sebelumnya merupakan tersangka kasus penyalahgunaan narkoba itu tewas saat ditahan kepolisian.

Direktur Eksekutif ICJR Erasmus AT Napitupulu menyatakan sebaiknya proses pengusutan kasus itu melalui jalur eksternal–mekanisme pencegahan penyiksaan (national preventive mechanism/NPM)–oleh beberapa instansi. Misalnya bisa melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ombudsman, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ataupun Komnas Perempuan.

"Hasil penelusuran NPM kemudian dapat dijadikan dasar dalam proses penyidikan tindak pidana yang dilakukan terhadap Hendri," ucapnya dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Rabu (12/8/2020).

Erasmus juga meminta Komisi III DPR RI untuk segera melakukan pemantauan dan apabila sudah selayaknya memanggil Kapolri untuk menjelaskan maraknya dugaan penyiksaan oleh anggota kepolisian. 

ICJR pun merekomendasikan agar Kementerian Hukum dan HAM dan DPR RI segera merombak seluruh ketentuan-ketentuan yang dapat membuka peluang terjadinya praktik penyiksaan, termasuk soal masa penangkapan yang panjang hingga akuntabilitas aparat penegak hukum yang lemah dalam sistem peradilan pidana.

UU Narkotika harus direvisi karena memuat ketentuan masa penangkapan yang berlebihan tanpa dengan jelas pula mengatur tempat penangkapan yang sah.

Proses revisi KUHAP juga harus dimulai untuk mengatur ulang pola hubungan kewenangan antara polisi, jaksa, dan hakim dalam rangka memperkuat mekanisme pengawasan terhadap masing-masing aparat penegak hukum ketika menjalankan kewenangannya.

Hendri adalah seorang tahanan yang tewas di penjara Polres Barelang, Batam. Hendri awalnya dijemput polisi pada 6 Agustus 2020 dengan tuduhan kepemilikan narkoba. Menurut pihak keluarga, polisi tak menunjukkan surat penahanan.

Selang dua hari kemudian, pihak keluarga baru diizinkan menjenguk Hendri. Saat itulah, pihak keluarga menerima kabar bahwa Hendri sudah meninggal. Di Rumah Sakit Budi Kemuliaan, pihak keluarga mendapati jenazah Hendri sudah terbungkus plastik dan memar di sekujur tubuh. Pihak keluarga menuding Hendri meninggal karena disiksa.

Peneliti ICJR Meidina Rakhmawati menambahkan diketahui tidak ditemukan barang bukti dalam proses penggeledahan Hendri. Sehigga tindakan kekerasan terhadap Hendri patut diduga dilakukan untuk mengejar pengakuannya terkait keterlibatannya dalam tindak pidana yang dimaksud, sebagaimana praktik-praktik penyiksaan yang selama ini terjadi.

Laporan Situasi dan Kondisi Praktik Penyiksaan di Indonesia Periode Juni 2019 – Mei 2020 yang diluncurkan oleh KontraS, menunjukkan dari total 62 kasus penyiksaan yang dihimpun, mayoritas sebanyak 48 kasus di antaranya merupakan penyiksaan oleh oknum kepolisian.

KontraS juga menemukan tidak ada satu kasus pun yang diproses secara pidana. Berdasarkan sampling terhadap 45 kasus, sebanyak 40 kasus bahkan tidak ada proses lanjutan, 2 kasus mencabut laporan, dan 3 kasus hanya berakhir dengan sidang etik.

Khusus terkait kasus narkotika yang menjerat Hendri, ICJR menaruh sorotan tajam pada UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang memberikan kewenangan penangkapan terhadap tersangka kasus narkotika selama 3x24 jam yang juga dapat kembali diperpanjang selama 3x24 jam, artinya ada total 6x24 jam masa penangkapan.

Masa penangkapan yang panjang ini dapat mengakibatkan incommunicado detention, yakni penahanan tanpa akses terhadap dunia luar, yang secara internasional telah diakui sebagai salah satu kondisi terjadinya penyiksaan.

Bahkan dalam hal ini juga sangat dimungkinkan terjadi tindakan penghilangan orang. Sebab, tersangka yang berada dalam masa penangkapan yang panjang tersebut tidak wajib ditempatkan dalam tempat-tempat penahanan yang sah.

Tidak adanya pengaturan terkait tempat untuk menampung tersangka selama menjalani penangkapan yang panjang ini menutup peluang pengawasan yang efektif. Adanya ketentuan masa penangkapan yang panjang dalam kasus narkotika memang sangat berbahaya karena menjadikan langgengnya praktik-praktik buruk penyiksaan. 

Praktik buruk dalam kasus-kasus narkotika dapat dikonfirmasi melalui Studi Kasus terhadap Tersangka Kasus Narkotika di Jakarta oleh LBH Masyarakat pada 2012, yang menunjukkan banyak terjadi pelanggaran terhadap prosedur penangkapan dalam kasus narkotika.

Mulai dari dilakukannya penangkapan tanpa surat perintah penangkapan, diabaikannya hak untuk diberitahu penangkapan tersangka kepada keluarganya, hingga dugaan kekerasan fisik, mental, maupun seksual selama masa penangkapan.

Sebanyak 194 responden (50%) secara tegas mengatakan keluarganya tidak menerima tembusan surat perintah penangkapan). Kemudian dalam studi tersebut juga ditemukan mayoritas responden, yaitu 228 (67,4%), mengalami bentuk kekerasan fisik dan mental ketika ditangkap oleh penyidik.

Ia menjelaskan tanpa adanya minimal alat bukti hingga surat-surat yang membuktikan wewenang yang sah, tindakan kepolisian dalam melakukan penangkapan hingga penggeledahan dalam kasus Hendri merupakan tindakan melawan hukum, bahkan dapat dikatakan sebagai tindakan penculikan terhadap warga sipil.

Ditambah dengan akibat dugaan tindakan kekerasan yang menyebabkan kematian, pihak kepolisian yang menempatkan Hendri di bawah pengawasannya harus dimintai pertanggungjawaban.

"Tidak cukup hanya sanksi disiplin atau etik, tindakan yang dilakukan terhadap Hendri merupakan dugaan penyiksaan, penganiayaan berat dan atau pembunuhan yang harus dijerat dengan sanksi pidana," katanya.

Kepolisian Resor Barelang Komisaris Besar Purwadi Wahyu Anggoro enggan berkomentar banyak atas dugaan penyiksaan tahanan oleh polisi ini. "Saya tidak mau berpolemik dulu. Kami serahkan ke dokter ahli yang bisa simpulkan," kata Purwadi melalui keterangan tertulis pada Selasa, 11 Agustus 2020. (G-2) 

BACA JUGA: