JAKARTA - Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) yang bila tak ada halangan akan berlangsung Desember 2020, penggunaan dana bantuan sosial rentan disalahgunakan. Potensi penyelewengan makin besar bila kepada daerah petahana maju kembali mencalonkan diri.

Data terbaru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan dari 270 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada, 37 di antaranya menganggarkan bantuan sosial di atas 40%.

"Biasanya Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk bansos itu range anggarannya dibesarkan antara 32% sampai 88%," kata anggota Tim Divisi JAGA KPK Humam Faiq dalam webinar Buka-Bukaan Dana Bansos yang diikuti Gresnews.com, Selasa (28/7/2020).

KPK juga mengidentifikasi potensi penyelewengan bansos. Sejumlah area yang rawan ialah kolusi dalam pengadaan barang dan jasa, penggelembungan harga, kolusi dengan penyedia barang, kecurangan dalam penyaluran.

Potensi penyelewengan lain yaitu sumbangan filantropi yang tidak dicatat dan proses alokasi anggaran tidak sesuai prosedur. Kemudian, penyalahgunaan kewenangan serta benturan kepentingan politik. Terakhir, kriteria penyaluran yang tidak sesuai ketentuan.

"Untuk pengadaan barang dan jasa bisa kolusi dengan penyedia kerjasama, harganya di-mark up, ada kickback juga, dalam pengadaan itu sudah ditentukan, ada konflik kepentingan, ada kecurangan dan kalau ada tindak pidana korupsi dibiarkan saja," jelasnya.

Para pejabat pemerintah daerah biasanya melakukan proses penganggaran, proses relokasi belanja untuk bansos tidak sesuai dengan prosedur. Mereka melakukan relokasi anggaran tak ada dasarnya. "Jadi langsung aja nentuin angka 32%, 88% itu langsung aja, nggak ada dasarnya," terangnya.

Untuk mengawasi itu KPK meluncurkan aplikasi JAGA. Salah satu fiturnya adanya JAGA Bansos yang khusus diluncurkan selama pandemi COVID-19.

Ia menjelaskan, selama pandemi, KPK menerima 824 aduan atau keluhan masyarakat terkait penyaluran bantuan sosial (bansos).

Dari total aduan yang disalurkan melalui aplikasi JAGA Bansos, sekitar 311 keluhan telah diselesaikan instansi terkait. Dari 824 keluhan yang masuk JAGA Bansos, 136 diteruskan ke pemerintah daerah terkait dan sudah ditindaklanjuti 102 keluhan.

Menurut data Jaga Bansos, pemerintah provinsi yang paling banyak dikeluhkan terkait penyaluran bansos yaitu DKI Jakarta dengan 36 keluhan.

Jawa Barat 18 keluhan dan Jawa Timur 7 keluhan. Untuk kabupaten/kota yang paling banyak dikeluhkan ialah Surabaya dengan 47 kasus, Bogor 26 kasus dan Subang 21 kasus.

Keluhan yang diadukan mencakup tidak menerima bantuan, padahal sudah mendaftar. Selanjutnya, bantuan tidak dibagikan petugas kepada penerima, bantuan yang diterima jumlahnya kurang dari seharusnya, penerima fiktif, hingga kualitas bantuan buruk saat diterima.

Sedangkan menurut perencana keuangan, Ligwina Hananto, tiga isu besar yang mempengaruhi bansos ini digunakan dengan baik atau tidak. Pertama soal data.

"Ini klasik banget. Masalah orang Indonesia itu soal data. Ketika datanya nggak jelas kita bingung," kata Wina dalam webinar.

Kedua, dari sisi birokrasi, seperti apa prosedur untuk bisa mencairkan bansos ini dan mendistribusikannya dengan baik. Dan data penerimanya dianggap tidak bisa dipercaya, karena tidak tahu, ini data benar atau tidak.

"Ini kan ada persepsi itu di masyarakat. Datanya tidak bisa dipercaya bagaimana kita tahu birokrat ini ketika menjalankan fungsinya bisa melaksanakan tugasnya," jelasnya.

Ketiga soal literasi finansial. Ketika angkanya sudah masuk triliun-triliun, sebenarnya orang sadar tidak bisa dibelikan apa aja.

Menurut Wina, masyarakat sudah sering baca berita, seperti mau beli genset ternyata angkanya sekian miliar. Ketika dicari di platform e-commerce tidak segitu angkanya.

"Jadi literasi angka itu seperti ini aja, skill belanja aja nggak ada untuk seperti ini,"katanya.

Selain itu, Sely Martini dari Visi Integritas KPK mengatakan bedanya Jaringan Pengaman Sosial (JPS) dengan bansos. Sebenarnya bansos itu salah satu bentuk dari jaringan pengaman sosial.

Jadi ada macam-macam. Bagaimana mempersiapkan masyarakat rentan ini punya jaminan atas dirinya, salah satunya bansos.

"Bansos juga bisa digunakan untuk alat politik. Biasanya dana bansos itu meningkat ketika mau pilkada atau pemilu. Karena itu biasanya digunakan sebagai jalur untuk menghubungkan antara para kandidat ini dengan calon-calon pemilihnya," kata Sely.

Sely melihat korupsi bansos dari segi perencanaan pasti ada korupsi di perencanaan ketika misalnya ada konflik kepentingan. Kemudian di produksi juga ada mark up harga, ada pemilihan siapa yang berhak menyediakan berasnya, menyediakan biskuitnya, telurnya, atau bahkan bank yang menyalurkan.

Dari sisi distribusi bansos mengenai transparansi bansos itu sendiri. Modus penyelewengan bansos di sisi hilir. Pertama, tentang pemotongan jumlah bantuan yang diterima.

Kedua, pemotongan langsung oleh perangkat desa sebagai alasan uang lelah. Ketiga, pengurangan jumlah bantuan.

"Ini modus yang sering kita lihat sering terjadi di sisi hilir," katanya.

Sementara itu Satgas Khusus Pengawasan Dana COVID-19 Mabes Polri mencatat ada 102 kasus dugaan penyelewengan dana bansos penanganan COVID-19 di seluruh Indonesia.

"Terdapat 102 kasus penyelewengan bantuan sosial. Kasus-kasus tersebut ditangani di 20 Polda," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono, Senin (27/7/2020).

Rinciannya, Kepolisian Daerah Sumatera Utara 38 kasus, Kepolisian Daerah Jawa Barat 18 kasus, Kepolisian Daerah Riau tujuh kasus. Kemudian Polda Jatim dan Polda Sulawesi Selatan masing-masing empat kasus, Polda Sulawesi Tengah, Polda Nusa Tenggara Timur, dan Polda Banten menangani masing-masing tiga kasus.

Polda Sumsel, Polda Maluku Utara masing-masing dua kasus, kemudian Polda Kalimantan Tengah, Polda Kepri, Polda Sulawesi Barat, Polda Sumatera Barat, Polda Kalimantan Tenggara, Polda Lampung, Polda Papua Barat, Polda Kalimantan Barat, dan Polda Papua masing-masing menangani satu kasus.

Berdasarkan hasil penyelidikan, ada beberapa penyalahgunaan bantuan sosial itu. Seperti, pemotongan dana oleh perangkat desa dengan maksud asas keadilan bagi mereka yang tidak menerima.

Motif lainnya pemotongan dana untuk uang lelah, pengurangan timbangan paket sembako, dan terakhir adalah tidak ada transparansi kepada masyarakat terkait sistem pembagian dan dana yang diterima. (G-2)

BACA JUGA: