JAKARTA - Penggunaan internet saat ini semakin meluas apalagi sejak pandemi COVID-19 yang terjadi sejak Desember 2019. Pola perekonomian dan kebiasaan masyarakat perlahan-lahan berubah. Termasuk dalam hal jual beli barang, lebih marak bisnis e-commerce.

Data terbaru menyebutkan aplikasi e-commerce yang diunduh oleh masyarakat meningkat hingga 48,9%.

Namun ada banyak persoalan seiring peningkatan bisnis via daring. Pada 2019, hampir 80% orang Indonesia rentan menjadi korban kejahatan di dunia maya. Salah satu penyebabnya adalah belum adanya kesadaran dari pengguna internet Indonesia untuk melindungi data pribadi mereka.

Pemerintah pun mengusulkan Rancangan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP) sebagai upaya perlindungan konsumen. Fraksi-fraksi di Komisi I DPR menyambut baik dan tengah menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Sandingan RUU PDP.

Rencananya RUU PDP ini dibahas dalam Raker Komisi I DPR dengan pemerintah pada Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020-2021.

Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi mengungkapkan sejumlah tantangan yang dihadapi DPR dalam merancang RUU PDP.

Ia meminta Komisi Informasi (KI) Pusat berkirim surat kepada pimpinan DPR untuk menyampaikan poin-poin pikiran KI sebagai perwakilan lembaga independen yang berurusan dengan Informasi Publik.

"Jadi paling utamanya, perlu tahu jantung dari RUU ini sebelum kami membahas ke bawah dalam batang tubuh, penerapan hukum, cara memonitor komersialisasi dan penyalahgunaannya," ujar Bobby dalam diskusi daring bersama KI Pusat yang diikuti Gresnews.com, Senin (27/7).

Diskusi daring ini membahas RUU PDP bertajuk Pentingnya Lembaga Independen dalam RUU Perlindungan Data Pribadi.

Bobby mengatakan perlu dipastikan bagian mana dari data pribadi yang perlu dilindungi oleh undang-undang sebab selama ini pilihan politik data pribadi yang harus dilindungi itu belum jelas konsep dan definisinya.

Ia menyebut ada data publik seperti data administrasi kependudukan, data imigrasi, dan sebagainya yang menyentuh ranah pribadi perorangan.
Sementara di luar negeri data pribadi yang dilindungi justru merupakan data agregat, yaitu kumpulan data bernilai komersial yang diolah untuk berbagai kepentingan.

Ia berharap dapat segera menyelesaikan RUU PDP itu sebelum berakhirnya masa sidang 2019-2020 yang berlangsung pada Oktober nanti.

Sementara itu anggota Komisi I DPR Dave Akbarshah Fikarno menegaskan RUU PDP ini sudah sangat mendesak untuk dibahas dan diundangkan.

"Perlindungan data diri pribadi ini adalah hak asasi setiap manusia karena kita ini berhak mendapatkan perlindungan atas data yang kita share, ataupun data yang kita percayakan kepada pihak swasta atau pun negara untuk menyimpan," kata Dave dalam webinar yang diselenggarakan Kementerian Kominfo dengan tema RUU PDP Untuk Perlindungan Pribadi di Dunia Digital yang diikuti oleh Gresnews.com, Sabtu (25/7/2020).

Perlindungan data diri ini merupakan kebebasan dan tanggung jawab pemerintah dan negara. Masyarakat memiliki kebebasan memberikan data tersebut untuk disimpan, baik untuk perusahaan perbankan, atau perusahaan swasta lainnya.

"Dan juga tanggung jawab dari penyimpan data, penerima data untuk memastikan bahwa data itu tersimpan dengan aman. Jangan sampai bocor atau pun disalahgunakan," tuturnya.

Dave mengatakansecara konseptual dari dasar RUU PDP ini adalah kedaulatan data. Bahwa masyarakat yang berhak menentukan apakah data ini diizinkan atau tidak untuk dishare kepada pihak ketiga atau pihak lainnya.

"Saat ini sangat mudah orang mencuri atau bahkan menyedot data dari sektor swasta, dari sektor perbankan," jelasnya.

Kemudian, fenomena digital marketing. yang rajin mengirim data produk-produk mereka miliki pada konsumen tanpa persetujuan konsumen.

Dave mencontohkan, ketika membuka Instagram sambil membuka website satu produk sembari melihat alat-alat olahraga. Maka didalam Instagram tersebut keluar iklan dari Tokopedia mengiklankan produk yang baru dilihat oleh pengguna akun tersebut.

"Itulah salah satu fenomena digital marketing. Karena mereka itu bisa membaca algoritma yang kita kirim melalui hal-hal yang kita scroll," terangnya.

Selain itu ada banyak penyalahgunaan data. Banyak data yang dimiliki masyarakat yang disimpan. Misalnya di perbankan, instagram, Facebook, atau ketika seseorang membuka membership di Metro, So Go, Matahari. Di sana ada data yang disisipkan. Seperti nama, nomor telepon, alamat emal.

"Itu bisa diperjualkan oleh pihak ketiga atau pun juga oleh oknum di dalam perusahaan," terangnya.

Dave mengatakan mengenai kepemilikan hak data. Data itu adalah hak pemiliknya yang mempercayakan pada pihak lain. Kalau mereka menyalahgunakan kepercayaan tersebut dan menjual data atau pun memalsukan data tersebut bisa dituntut secara hukum.

"RUU PDP ini ingin memberikan perlindungan dan kepastian hukum. Memastikan pemilik data itu dilindungi oleh hukum dan menjamin keamanan dirinya," ujarnya.

Kemudian, pengendalian data perlu diatur oleh undang-undang. Jadi ketika orang menyimpan data lalu memberikannya kepada pihak lain, itu akan diatur. Sehingga jelas kapan data itu boleh dishare, kapan itu boleh dibagikan, kapan itu boleh disimpan dan ada batasnya.

"Ketika ada pelanggaran, semua pihak itu yang menerima ataupun yang memberikan dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum," tandasnya.

Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Menkominfo Widodo Muktiyo mengatakan UU PDP dibuat untuk menjadikan warga negara Indonesia setara dengan warga di negara lain.

Adapun persoalan yang masih terjadi adalah pengaturan data yang selama ini masih bersifat sektoral. Seperti undang-undang kesehatan, undang-undang perpajakan, perbankan belum sampai pada ruhnya.

"Seperti bagaimana cara memperlakukan data itu sendiri," katanya.

Selain itu juga, ada pelaku bisnis yang cenderung melakukan berbagai kontrak yang tidak adil sehingga merugikan masyarakat.

"Makanya undang-undang data pribadi betul-betul menjadi esensi kita sebagai seorang warga negara Indonesia yang dilindungi hak dan martabatnya dalam segala sisi," katanya. (G-2) 

BACA JUGA: