JAKARTA - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menunda pelaksanaan Program Organisasi Penggerak (POP) sebab program yang diinisiasi Kemendikbud pada Maret 2020 senilai Rp595,8 miliar itu menuai polemik dan berpotensi korupsi.

Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo bahkan menyatakan ada ketidakadilan dalam penerapan POP.

"Kriteria yang lolos menjadi organisasi penggerak tak jelas dan ada ketidakadilan dalam penerapan program ini," kata Heru kepada Gresnews.com, Jumat (24/7/2020).

Kata Heru, ada organisasi penggerak seperti NU dan Muhammadiyah masuk kategori gajah mendapatkan kucuran dana Rp20 miliar namun harus menggarap di 25 provinsi. Sementara itu ada organisasi penggerak lainnya dari Maluku Utara mendapat kucuran dana yang sama tapi hanya menggarap satu kabupaten. Belum lagi kompetensi dan rekam jejak organisasi penggerak yang mendapatkan dana itu juga tak jelas.

POP merupakan salah satu program unggulan Kemendikbud yang bertujuan untuk memberikan pelatihan dan pendampingan bagi para guru penggerak untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan peserta didik. Dalam program itu Kemendikbud melibatkan organisasi-organisasi masyarakat maupun individu yang mempunyai kapasitas untuk meningkatkan kualitas para guru melalui berbagai pelatihan.

Kemendikbud mengalokasikan anggaran Rp595,8 miliar per tahun untuk membiayai pelatihan atau kegiatan yang diselenggarakan organisasi terpilih yang rencananya berlangsung selama dua tahun.

Organisasi yang terpilih dibagi tiga kategori, yakni Gajah, Macan, dan Kijang. Gajah dialokasikan Rp20 miliar/tahun, Macan Rp5 miliar/tahun, dan Kijang Rp1 miliar/tahun.

Masalahnya, lanjut Heru, bila POP dilakukan saat ini maka kemungkinan besar dilakukan secara daring. Padahal tujuan dari pelatihan ini adalah untuk meningkatkan literasi, numerasi, dan karakter. "Apa yakin bila secara daring bisa meningkatkan mutu?" ujarnya.

Selain itu bila secara daring maka hanya mereka yang memiliki infrastruktur lengkap saja yang bisa menjadi organisasi penggerak. Sementara mereka yang tidak memiliki kalaupun terpilih hanya sekadar broker. "Ini artinya hanya memberi keuntungan pada kelompok tertentu saja," ujarnya.

Belum lagi organisasi profesi juga diperbolehkan menjadi organisasi penggerak. Padahal, misalnya guru, tentu memiliki kewajiban untuk mengajar di sekolahnya. Bila turut program ini maka waktunya akan tersita sehingga jam mengajarnya akan berkurang. Dari sisi pengelolaan keuangan juga dikhawatirkan terjadi penyelewengan.

"Ini uang besar, jadi harus hati-hati, jangan sampai penggunaannya tidak sesuai juknis atau digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu," ujarnya.

Wasekjen FSGI Satriwan Salim meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut mengawasi.

"Kami minta KPK sebagai lembaga antirasuah melaksanakan fungsi pencegahan yang digunakan, potensi penyimpangan pasti ada dalam penggunaaan anggaran," ujar Satriwan dalam konferensi pers secara daring, Jumat (24/7/2020).

Ia mengkhawatirkan penggunaan anggaran POP tidak tepat sasaran.

Potensi penyalahgunaan anggaran, menurut Satriwan, juga dapat terjadi pada organisasi masyarakat yang mendapatkan dana POP.

Satriwan meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit.

Menurutnya, pengawasan berlapis perlu dilakukan. Kemendikbud harus menunjukan transparansinya dengan meminta Inspektorat Jenderal (Irjen) melakukan pengawasan internal.

Sebelumnya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menarik diri dari POP Kemendikbud. Keputusan tersebut bulat diambil seusai Rapat Koordinasi bersama Pengurus PGRI Provinsi Seluruh Indonesia, Perangkat Kelengkapan Organisasi, Badan Penyelenggara Pendidikan dan Satuan Pendidikan PGRI pada 23 Juli 2020.

Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi mengatakan mundurnya PGRI karena kriteria pemilihan dan penetapan POP tidak jelas.

"PGRI memandang perlunya prioritas program yang sangat dibutuhkan dalam meningkatkan kompetensi dan kinerja guru melalui penataan pengembangan dan mekanisme keprofesian guru berkelanjutan," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Gresnews.com, Jumat (24/7/2020).

PGRI juga memandang dana POP sebesar Rp595 miliar per tahun akan sangat bermanfaat jika dialokasikan untuk membantu siswa, guru/honorer, penyediaan infrastuktur di daerah, khususnya di daerah 3T (daerah tertinggal, terdepan, terluar), demi menunjang pembelajaran jarak jauh (PJJ) saat pandemi COVID-19 yang meluluhlantakkan berbagai sektor kehidupan, termasuk dunia pendidikan dan berimbas pada kehidupan siswa, guru, dan orang tua.

PGRI juga menekankan agar Kemendikbud berhati-hati menggunakan anggaran tersebut agar dapat dipertanggungjawabkan dengan benar.

"Mengingat waktu pelaksanaan yang sangat singkat, kami berpendapat bahwa program tersebut tidak dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, serta menghindari berbagai akibat yang tidak diinginkan di kemudian hari," ujarnya.

Mundurnya PGRI menyusul Lembaga Pendidikan Ma`arif Nahdlatul Ulama dan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Keduanya memprotes keikutsertaan yayasan perusahaan swasta Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation dalam POP Kemendikbud. (G-2)

BACA JUGA: