JAKARTA - Indonesia memperingati Hari Anak Nasional (HAN) setiap 23 Juli berdasarkan Keppres Nomor 44 Tahun 1984. Peringatan HAN 2019 dimaknai sebagai kepedulian seluruh bangsa Indonesia terhadap perlindungan anak Indonesia agar tumbuh dan berkembang secara optimal sehingga akan menghasilkan generasi penerus bangsa yang sehat, cerdas, ceria, berakhlak mulia dan cinta tanah air.

Namun pada Hari Anak Nasional tahun ini negara seharusnya lebih memperhatikan anak yang berada di dalam sistem peradilan pidana. Terlebih hingga saat ini kondisi Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) di Indonesia masih jauh dari cita-cita.

"Kepentingan terbaik bagi anak merupakan cita-cita baik pengaturan UU 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak," kata Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Genoveva Alicia Karisa Sheilla Maya kepada Gresnews.com, Kamis (23/7/2020)

Menurutnya peringatan Hari Anak Nasional merupakan selebrasi bagi anak-anak di semua lini, tidak terkecuali anak-anak yang terlibat di dalam sistem peradilan pidana.

Anak-anak yang terlibat dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) selama ini cenderung dijadikan kelas kedua. Padahal buruknya situasi SPP di Indonesia seharusnya menjadi tanda waspada untuk lebih memperhatikan kondisi anak.

ICJR dalam riset evaluasi implementasi UU SPPA selama 2018 menunjukkan bahwa beberapa hak anak yang telah dijamin di dalam UU SPPA belum dapat dipenuhi.

Sebut saja hak untuk sebisa mungkin dijauhkan dari penahanan dan pemenjaraan. Dari riset ini, terlihat bahwa penahanan dan pemenjaraan masih sangat sering digunakan terhadap anak.

Dari total 304 Anak yang diteliti, 93,75% Anak dikenakan penahanan. Tidak hanya dikenakan penahanan, riset ini juga menemukan adanya anak yang ditahan melebihi waktu yang diizinkan di dalam UU SPPA.

Sedangkan pemenjaraan setidaknya dikenakan pada 86% anak di tingkat pertama. Setidaknya 80% Penuntut Umum dalam tuntutannya, menuntut anak dengan pidana penjara. 

Catatan yang perlu diapresiasi adalah secara umum jumlah anak yang dipidana penjara pasca pemberlakuan UU SPPA trennya menurun. Namun, Per Juni 2020, jumlah anak yang ada di dalam Rutan/Lapas mencapai 1.397 orang.

Jumlah ini, tidak termasuk anak yang dirampas kebebasannya namun ditempatkan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).

Angka ini, masih cukup tinggi melihat jenis tindak pidana yang dilkukan oleh anak, beberapa adalah victimless crime atau anak juga adalah korban. 

Menurut Geno, negara harus memahami bahwa menempatkan anak di dalam Rutan/Lapas, memberikan kerentanan tersendiri khususnya mengingat buruknya situasi Rutan/Lapas di Indonesia.

Tidak hanya itu, di beberapa kota, meskipun Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) diamanatkan untuk dibangun terpisah dengan Rutan/Lapas dewasa, karena keterbatasan LPKA dibangun menyatu dengan Rutan/Lapas.

Misalnya, LPKA Jakarta berada di lokasi yang sama dengan Lapas Salemba. Setiap harinya, anak beraktivitas bersama dengan orang dewasa atau setidaknya menyaksikan aktivitas orang dewasa di kawasan yang sama.

"Belum lagi, kondisi buruk pemenuhan hak dasar atas anak di dalam penjara, seperti kondisi penyediaan makanan dan pelayanan kesehatan," katanya.

Genoveva menuturkan, berdasarkan riset situasi Rutan dan Lapas di DKI Jakarta pada 2019 menemukan bahwa kondisi pemenuhan air minum di LPKA tidak sesuai dengan standar, karena air yang ada diklaim memiliki rasa yang berbeda. 

Secara umum, situasi pemenuhan hak fair trial anak pun dapat dikatakan masih belum cukup berpihak pada kepentingan anak.

Terhadap hak untuk didampingi penasihat hukum dan memperoleh bantuan hukum yang efektif misalnya, ditemukan dalam riset ICJR rendahnya angka pendampingan oleh kuasa hukum di tingkat penyidikan yaitu hanya 3,9% dari total kasus yang diteliti.

Pendampingan tertinggi hanya ditemukan di persidangan yaitu 94,1%, padahal dalam ketentuan UU SPPA ditegaskan bahwa anak berhak memperoleh pendampingan hukum di setiap tingkat pemeriksaan.

Terhadap hak untuk mendapat pendampingan selain dari penasihat hukum pun, situasinya juga kurang baik. Pendampingan dari PK ditemukan hanya pada 88,5% kasus dan dalam 8,2% kasus ditemukan anak sama sekali tidak didampingi baik oleh orang tua, PK, maupun pekerja sosial. 

Dari situasi yang ada ini, Ia menilai bahwa pemenuhan hak-hak anak yang berhadapan di dalam sistem peradilan pidana masih perlu terus diperhatikan dan dijadikan prioritas. ICJR pun dalam momen Hari Anak Nasional ini merekomendasikan Pemerintah untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan UU SPPA dan segera melakukan perbaikan dan melengkapi hal-hal yang belum tersedia.

Aparat penegak hukum juga harus memprioritaskan kepentingan terbaik untuk anak, termasuk pemenuhan hak-hak yang sudah diatur dalam undang-undang, terlepas dari tuduhan yang dikenakan padanya, dan tentu saja selalu mengingat posisinya sebagai anak.

Sementara itu untuk memperingati Hari Anak Nasional yang jatuh pada hari ini, Kamis (23/07), Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia memberikan remisi khusus anak serentak bagi 857 Anak Didik Pemasyarakatan (AndikPas) di seluruh Indonesia.

Kepala Divisi Pemasyarakatan, Meurah Budiman, beserta jajaran menghadiri pemberian remisi secara virtual yang dipusatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Bandung ini.

Bertemakan Anak Terlindungi Indonesia Maju, pemberian remisi anak kali ini lebih ditekankan pada pemenuhan pendidikan bagi AndikPas oleh LPKA maupun LPKS.

Hal ini tertulis pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 3 bahwa setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak memperoleh pendidikan.

Berbanding lurus dengan UU Sistem Peradilan Pidana Anak, Direktur jenderal Pemasyarakatan, Reynhard Silitonga, juga mengatakan bahwa pendidikan tidak boleh berhenti selama anak menjalani proses peradilan.

"Pemenuhan pendidikan harus dipenuhi oleh LPKS dan LPKA, ditambah dengan program-program keterampilan di dalamnya," ujarnya. (G-2)

BACA JUGA: