JAKARTA - Pelemahan ekonomi dunia dan dalam negeri membuat Indonesia berada di ambang resesi. Kendati masih terbilang beruntung kuartal I-2020 realisasi pertumbuhan ekonomi masih positif di saat banyak negara tumbuh negatif, mencapai 2,97%, melambat dari periode sama di tahun lalu yang tercatat 5,05%.

Namun itu hanya permulaan, penentuan sesungguhnya terjadi pada kuartal II. Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2020 akan merosot, yakni -4,3% (yoy).

Peneliti Kebijakan Fiskal Center For Indonesian Taxation Analysis (CITA) Dwinda Rahman mengatakan tak mudah membuat kebijakan di tengah pandemi.

"Kebijakan seperti pembatasan sosial sekala besar (PSBB), dan memindahkan aktivitas kantor, belajar, dan beribadah di rumah membuat sebagian besar aktivitas ekonomi tak bergerak," katanya kepada Gresnews.com, Rabu (22/7/2020).

Ia berharap ekonomi Indonesia tidak akan mengalami hal yang serupa dengan Singapura di kuartal II-2020. Ekonomi Singapura jatuh sangat dalam hingga negatif 12,6% (yoy), jauh meleset dari perkiraan banyak pihak. 

Dwinda menjelaskan penurunan kinerja ekonomi Indonesia terlihat dari realisasi APBN 2020 Semester 1. Pendapatan negara sebesar Rp811,2 T (47,7%) dari target APBN Perpres 72/2020 atau tumbuh negatif 9,8% jika dibandingkan dengan tahun lalu (yoy).

Hal ini disebabkan karena penerimaan pajak yang selama ini menjadi penyumbang terbesar turun di semester I-2020 hingga 12% (yoy) sedangkan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) turun 11,8% (yoy). Namun penerimaan bea dan cukai masih dapat tumbuh positif 8,8%.

Pada saat pandemi, belanja negara yang deras menjadi kunci untuk memulihkan ekonomi dan menjaga daya beli masyarakat. Di semester I-2020 terlihat realisasi belanja negara meningkat 3,3% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Bahkan, belanja pemerintah pusat tumbuh 6% (yoy). Hal ini menandakan pemerintah bekerja lebih keras dan cepat dari biasanya. Pada kuartal III belanja perlu lebih cepat dan tepat.

Defisit juga lebih tinggi dari tahun lalu dari 0,85% menjadi 1,57%. Hal ini tidak mengherankan karena memang butuh ruang untuk mencari pembiayaan.

Penerimaan dari pajak menjadi tantangan terjal akibat perlambatan kegiatan ekonomi efek Covid-19. Realisasi pajak semester I-2020 sebesar Rp531,7 T (44% dari Perpres 72/2020) atau terkontraksi 12% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Hampir seluruh jenis pajak utama mengalami kontraksi. PPh Non migas turun 10,1%, PPn dan PPnBM turun 10,7%, PBB, dan pajak lainnya turun 18,89%, serta yang lebih tajam penurunannya adalah PPh Migas 40,1%.

Kontraksi penerimaan pajak tidak hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang melemah namun juga karena pemberian insentif pajak dalam rangka penanganan dampak Covid-19 yang diberikan kepada masyarakat maupun dunia usaha.

Dari sisi sektoral, penerimaan pajak semua sektor mengalami tekanan namun tekanan pada Juni masih lebih baik jika dibandingkan dengan Mei. Bahkan sektor transportasi dan pergudangan justru tumbuh positif di Juni 2020 yakni 9,3% jika dibandingkan dengan Mei.

Hal ini menunjukkan pola perubahan konsumsi masyarakat setelah berakhirnya masa PSBB.

"Harapan kami, hal ini dapat menjadi titik awal perbaikan kinerja berbagai sektor penerimaan yang selama ini terhambat karena adanya kebijakan PSBB," katanya.

Lebih lanjut, menurutnya, penerimaan bea dan cukai yang tumbuh positif disokong oleh cukai sebesar 13%. Namun, Indonesia tidak bisa menjadikan cukai tumpuan penerimaan untuk ke depannya. Mengingat, pendapatan yang tinggi tersebut berasal dari relaksasi pelunasan pita cukai pada Desember 2019.

Sementara itu, penerimaan cukai Juni sudah mulai menunjukkan perlambatan dibandingkan Mei karena turunnya hasil tembakau.

Ia mengatakan berharap target pajak tinggi tentu bukanlah strategi yang tepat saat sekarang. Meski pemerintah perlu terus berjuang keras untuk menutupi pengeluaran yang besar dan insentif masif yang digelontorkan pemerintah kepada masyarakat, UMKM, dan dunia usaha.

Belanja pajak lah yang menjadi pembuktikan bahwa negara benar-benar hadir pada lapisan bawah dan paling membutuhkan. Jika belanja pajak dirasakan nyata oleh masyarakat maka ketika aktivitas ekonomi telah pulih, maka rakyat akan suka rela membayar pajak. Oleh karena itu, implementasi belanja secara gesit dan benar menjadi petaruhan tahun 2020.

Ke depan, pemerintah juga diharapkan terus berbenah dan mengevaluasi kebijakan insentif yang telah dijalankan. Kebijakan yang sudah ada perlu disempurnakan agar lebih menjawab kebutuhan dari pelaku usaha, seperti penyesuaian tarif pajak final, simplifikasi administrasi perpajakan yang terkait hak wajib pajak, dan peningkatan kepastian dalam pemeriksaan dan sengketa pajak. 

Sementara itu Bank Indonesia (BI) memberberkan sejumlah langkah yang bakal dilakukan otoritas fiskal dan moneter agar pemulihan ekonomi RI makin cepat agar terhindar dari resesi.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, ada 4 langkah utama yang menjadi kunci pemulihan ekonomi di tahun 2020 bisa tercapai dan mampu menggenjot pertumbuhan di tahun 2021.

"Pertama, sesuai instruksi Presiden membuat sektor ekonomi yang produktif dan aman. Kepatuhan terhadap protokol Covid-19 menjadi penting agar pembukaan berbagai sektor ekonomi mendorong pemuluhan ekonomi sekaligus tetap aman," kata Perry dalam konferensi video, Kamis (16/7/2020).

Langkah kedua adalah mempercepat realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Realisasi APBN yang cepat diperlukan untuk meningkatkan permintaan domestik.

Untuk mempercepat realisasi APBN, pemerintah harus fokus. Untuk itu Bank Indonesia bakal membantu pemerintah dalam pendanaan APBN dan bagi-bagi beban (burdem sharing).

"Dalam SKB tanggal 7 Juli kami sampaikan, untuk pendanaan public goods dari BI Rp397 triliun. Dananya memang dari penerbitan SBN tapi BI akan menanggung sebagian biaya sebagiannya," papar Perry.

Kunci ketiga adalah kemajuan program restrukturisasi kredit, utamanya dari perbankan. Menurut Perry, sejauh ini perbankan telah mempercepat restrukturisasi kredit dan melewati masa puncak restrukturisasi pada April dan Mei 2020.

Selama Juni 2020, bank sudah merestrukturisasi Rp 871,6 triliun. "Dari Rp 871,6 triliun, restrukturisasi kredit UMKM yang terbesar yakni Rp 309,3 triliun, korporasi Rp 164,7 triliun, kredit komersial Rp 130,9 triliun, dan kredit konsumsi Rp 119,2 triliun. Sejumlah bank juga memberikan kredit modal kerja," jelas Perry.

Langkah terakhir adalah digitalisasi ekonomi dan keuangan. Untuk itu, BI telah mendigitalisasi sistem pembayaran, digitalisasi penyaluran bantuan sosial, elektronifikasi Pemerintah Daerah, dan elektronifikasi transportasi.

"Perbankan juga gencar melakukan digitalisasi. Apalagi di tengah pandemi, minat masyarakat semakin tinggi terhadap digitalisasi. Saya kira 4 langkah itu dengan langkah-langkah bersama akan memperbaiki pertumbuhan ekonomi ke depan," pungkas Perry. (G-2)

BACA JUGA: