JAKARTA - Reformasi telah berlangsung selama  22 tahun, namun banyak persoalan negara yang belum tuntas. Dari persoalan hukum di mana Indonesia masih menggunakan aturan hukum dari zaman kolonial hingga persoalan militer sipil yang kini mengarah pada kembalinya militer dalam baju kepolisian ke ranah sipil dengan kembali menduduki banyak jabatan sipil. 

Terkait persoalan hukum, DPR dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) sepakat kembali melanjutkan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke tingkat II pada 16 Juli 2020 di Sidang Paripurna.

Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin mengatakan pimpinan Komisi III DPR RI meminta waktu satu pekan untuk mengesahkan RKUHP dan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemasyarakatan. Menurutnya, RKUHP dan RUU Pemasyarakatan akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI setelah disetujui di Komisi III DPR RI.

"Persetujuan terhadap tindak lanjut pembahasan RUU Pemasyarakatan dan RKUHP, kami telah menerima dan berkoordinasi dengan pimpinan Komisi III DPR dan kami menunggu tindak lanjut dari pimpinan Komisi III DPR yang meminta waktu satu pekan dalam rangka pengesahan untuk dibawa ke tingkat 2 (Rapat Paripurna)," kata Azis saat memimpin Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (2/4/2020).

Tentu saja berbagai kalangan masyarakat menolak kelanjutan pembahasan tersebut lantaran poin dalam RUU itu masih memuat pasal-pasal kontroversial.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menilai seharusnya DPR melakukan pengkajian ulang pada pasal-pasal yang kontroversial seperti arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat memutuskan menunda pembahasan pada September 2019.

Namun, kata Mai, Pernyataan presiden tersebut seolah ditentang setelah dikembalikan oleh Menkumham Yasonna Laoly yang menyatakan bahwa hanya sebagian kecil masalah RUU KUHP yang Perlu dibahas kembali di DPR.

"Jadi dia hanya menyebutkan delapan pasal padahal Pak Jokowi ada 14 pasal," ujarnya di Webinar bertajuk Reformasi Dikorupsi Apa Kabar Demokrasi yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI) pada Sabtu (11/7/2020).

Pada September 2019 hingga sekarang publik tidak pernah tahu prosesnya seperti apa? Apakah memang pendalaman dilakukan? Apakah ahli dipanggil kembali untuk membahas RUU KUHP seperti perintahnya Pak Jokowi bahwa harus dibahas ulang?

"Yang timbul malah klaim-klaim dari teman-teman anggota DPR bahwa yang akan dilakukan diperiode baru sekarang hanya berupa sosialisasi," jelas Mai.

Pemerintah dan DPR menggangap masyarakat sipil dan mahasiswa tidak memahami isi subtansi dari RUU KUHP. Namun perdebatan yang terjadi sebenarnya menggambarkan seperti apa RUU KUHP nanti ketika disahkan.

DPR bersikeras untuk segera mengesahkan RUU KUHP tersebut. Namun pemerintah yang memiliki naskah itu sendiri belum memiliki sikap yang jelas.

Pemerintah pun sempat sempat melakukan pembahasan diawal masa pandemi pada April 2020 melalui Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham. Namun sayang pembahasannya tidak dilakukan secara terbuka.

Sampai saat ini tidak ada naskah yang dipublikasikan ke publik, tidak ada update terkait draft. Namun klaim dari DPR tetap untuk segera mengesahkan RUU KUHP dengan dalil bahwa pembahasannya kemarin sudah cukup.

"Padahal kalau kita lihat, kenapa ini ditunda? Karena ada permasalahan subtansi yang harusnya ditangkap baik oleh anggota DPR maupun oleh pemerintah," ungkapnya.

Menurutnya, ia berhasil memetakan draft terakhir dari naskah RUU KUHP pernah September 2019.

"Nama versinya versi draft full. Di sini kita memetakan masih ada 24 masalah. Dan beranak itu 24 plus plus masalah yang mana sangat erat itu untuk kita perbincangkan dalam konteks demokrasi, yang pertama satu ancaman overcrowding," imbuhnya.

Overcrowding adalah kelebihan penghuni rutan dan lapas. Salah satu narasi yang paling ditentang oleh Aliansi Nasional Reformasi adalah soal overfinalisasi.

RUU KUHP ini hadir dengan narasi yang seolah-olah menyatakan bahwa setiap permasalahan sosial itu harus dijawab dengan finalisasi.

"RUU KUHP tidak melakukan evaluasi mendalam terkait dengan apa-apa saja tindak pidana yang harusnya tidak lagi finalisasi," ungkapnya.

Pada September 2019 pembahasan dilakukan seputar pasal penggelandangan, pasal unggas. Meskipun pasal itu sudah ada sekarang.

Tapi kalau RUU KUHP tidak dibangun dari suatu evaluasi menyeluruh untuk menguji, apakah perbuatan tertentu perlu atau relevan untuk dipidana.

Contohnya, salah satu permasalahannya adalah tindak pidana narkotika dimana dengan dalih adanya ketentuan khusus RUU KUHP itu adalah aspek administratif.

Terus kemudian yang terkait dengan pasal hukum yang hidup di masyarakat. Aliansi masyarakat adat menolak pasal yang seolah-olah pemerintah mengakui hukum adat.

"Tetapi ketika dilihat dari RUU KUHP justru negara mengambil mengambil kuasa masyarakat adat untuk menyelesaikan sengketa," jelasnya.

Jadi di RUU KUHP hukum yang hidup dimasyarakat. Orang bisa dipidana berdasarkan hukum yang hidup dimasyarakat. Hukum yang hidup dimasyarakat itu nanti akan diatur dalam bentuk Perda di masing-masing daerah yang akan dikorfirmasikan dalam bentuk Perpres.

"Aliansi Koalisi masyarakat adat sudah memberikan masukan dan kritik kerasnya tentang hal ini. Maka sebenarnya kalau presiden menyatakan kalau ini perlu pendalaman lebih lanjut maka mau tidak mau harusnya teman-teman masyarakat adat yang katanya ingin diakui oleh negara perlu didengar dan mereka menolak rumusan hukum yang hidup dimasyarakat seperti yang di RUU KUHP yang versi terakhir," ujar Maidina.

Selain itu, mengenai pidana korporasi, dimana negara, pemerintah dan DPR sepertinya masih bingung memformulasikan teori pemidanaan korporasi seperti apa yang mau diprolegnasasi.

Lalu terkait pidana mati, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sudah melayangkan penolakan terkait dengan pidana mati di rumusan RUU KUHP. Jadi pidana mati di RUU KUHP dipandang sebagai Jalan tengah antara kelompok yang menentang dengan kelompok yang mendukung.

"Jadi disebutkanlah bahwa pidana mati ini dapat diubah pelaksanaannya dan dapat diubah menjadi pidana seumur hidup. Kalau misalnya tidak dilakukan eksekusi pidana mati," katanya.

Aliansi Nasional Reformasi RUU KUHP mendorong penghapusan hukuman mati. Mereka cukup agresif melakukan hal itu. Meskipun rumusannya masih bermasalah diakhir.

"Poin penting kita adalah terkait dengan pidana mati. Jika pemerintah mau berkomitmen untuk memberikan jalan tengah pidana mati maka sebenarnya yang harus dilakukan pemerintah terlebih dahulu adalah mengganti hukuman mati terhadap terpidana mati yang sudah dideret tunggu lebih dari sepuluh tahun seperti rekomendasi RUU KUHP,"katanya.

Riset ICJR menyatakan bahwa per April 2020 ada 60 orang terpidana mati yang hidupnya tergantung dan diteror oleh ketakutan.

"Maka kalau pemerintah fokus, misalnya berkomitmen untuk RUU KUHP ini maka seharusnya dipenuhi dulu biar kita percaya nanti RUU KUHPnya bakal baik. Maka harusnya dia bisa mengganti hukumannya dulu terhadap 60 orang yang ada ditahan menunggu hukuman dalam masa tunggu pidana mati yang mempunyai beban psikologis, "terangnya.

Pembahasan juga mengenai pasal makar. Sayangnya RUU KUHP terkait dengan rumusan makar sama sekali tidak menyelesaikan masalah yang dihadapi sekarang. Seperti diketahui bahwa narasi tentang makar terkait dengan pasal makar di KUHP Pasal 187, 142 di RUU KUHP diartikan seolah-olah makar adalah segala bentuk upaya-upaya yang demokratis untuk memisahkan diri dari negara.

"Padahal satu arti penting yang salah yang dari RUU KUHP kita makar sebenarnya, artinya dalam bahasa Belanda ansach adalah ditandakan adanya perbuatan serangan secara fisik, " jelasnya.

Sayangnya di RUU KUHP permasalahan salah menerjemahkan ansach itu tidak diantisipasi di RUU KUHP. Dan masih saja mempidana makar dengan konsep yang diterapkan secara salah pada masa sekarang.

Lalu pasal penghinaan masih diatur dengan rumusan yang subjektif. Masih menyertakan pidana penjara ketentuan pembelaan diri, ini masih mengancam negara demokratis, berpotensi mengekang kebebasan umum dalam berpolitik dan menyampaikan pendapat.

Dalam hal ini sebenarnya penghinaan sudah banyak direkomendasikan oleh negara-negara untuk dihapuskan dalam kerangka hukum pidana. Paling tidak ancaman pemidanaan bentuknya bukan penjara namun sayangnya di RUU KUHP masih dalam bentuk pidana penjara.

Inti permasalahan RUU KUHP selama ini adalah perumusan RUU KUHP ini walaupun sudah dibahas selama lima tahun. Tapi hanya dirumuskan dan dibahas dalam konteks mengganti undang-undang kolonial.

Narasi yang dihadirkan hanya terkait dengan harus punya hukum baru. Dia tidak dibangun dari hasil evaluasi yang jelas, yang menyisir ulang pasal-pasal yang masih efektif atau tidak dalam KUHP maupun dalam undang-undang lain.

"Jadi narasi rekoodifikasi itu tidak sepenuhnya dijalankan. Kalau narasinya adalah rekoodifikasi maka sebenarnya pemerintah maupun DPR mau tidak mau harus menyisir ulang semua aspek undang-undang yang mengandung kriminalisasi dalam hal ini tidak dilakukan secara komprehensif," tandasnya.

Sementara itu, peneliti Departemen Hubungan Internasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Fitriani Fitriani Bintang Timur berbicara mengenai jabatan sipil yang diisi oleh TNI dan keterlibatan aktor keamanan dalam demokrasi terkini.

Seperti aparat keamanan, baik TNI maupun Polri dan juga BIN diturunkan dalam penanganan pandemi covid 19 ini. "Sebenarnya kita sudah melakukan reformasi tapi sepertinya jalan ditempat," kata Fitri dalam acara diskusi tersebut.

Fitri mengupas mengapa perluasan aktor keamanan terjadi dan bagaimana sebenarnya.

"Tugas kita belum selesai. Kita sebagai warga negara Indonesia dan juga sebagai masyarakat dari satu negara yang demokratis menginginkan adanya aktor keamanan bekerja pada tupoksinya, tugas peranan dan fungsinya sendiri dan tidak menguasai semua bidang. Karena kalau mereka menguasai semua bidang berarti ada beberapa hal disini,"ujarnya.

Kondisi masa pra reformasi dimana TNI dan Polri serta BIN masih menjadi satu badan, yaitu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Slogan mereka adalah dari rakyat, untuk dan oleh rakyat.

Dengan pendekatan doktrin catur Dharma Eka Karma. Salah satunya adalah konsep pertahanan dan keamanan dilakukan oleh semua aktor keamanan dalam semua lini.

Dalam buku Jun Hona yang mengkaji bagaimana hubungan sipil militer di Indonesia, ia melihat bagaimana sebenarnya pembuatan berdirinya Republik Indonesia itu berhutang budi kepada gerilyawan militer. Bagaimana akhirnya ketika negara itu berdiri, maka militer atau ABRI pada saat itu masuk ke dalam ranah yang bukan ranah militer.

Karena pada saat berdirinya negara ini terjadi pemberontakan-pemberontakan dari dalam. Seperti rakyat semesta, Negara Islam Indonesia yang merupakan ancaman kedalam. Sebelum Reformasi yang menjadi ancaman adalah masyarakat Indonesia sendiri. Termasuk kasus G30S PKI.

Pada akhirnya ada terminologi yang namanya Dwi Fungsi ABRI. Bagaimana militer berperan diranah sipil dan dampaknya sangat besar. Rangkap jabatan yang dipegang sangat besar. Sekitar 92% ABRI saat itu menjadi gubernur, kepala daerah kepala BUMN, termasuk Pertamina, dan baik institusi maupun tentara aktif bisa berbisnis termasuk sektor peternakan, kayu, hotel, Agriculture, tambang dan banyak lagi.

Bahkan hingga perbankan, yang menjadi menarik adalah kenapa di perbankan? Karena sebenarnya tugas idealnya Angkatan Bersenjata itu melindungi bukan untuk berbisnis. Sehingga mereka sebenarnya tidak memiliki feel seat untuk berada dengan narasi ranah sipil.

Pada Mei tahun 1998 Indonesia mengalami Reformasi dan dengan adanya TAP MPR Nomor 4 tahun 2000 terjadi pemisahan TNI Polri, dan intelejen yang memiliki undang-undang sendiri. Polri diatur dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002. TNI dengan Undang-Undang 34 Tahun 2004. Intelejen diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 tahun 2011.

Bisnis TNI juga di likuidasi walaupun prosesnya panjang sekali dan banyak yang mengatakan bahwa bisnisnya itu sebelum dilikuidasi dan dananya itu masuk ke dalam kas pemerintah itu dijual sendiri.

"Tapi itu wallahu`alam kita nggak tahu juga ya, walaupun ada datanya itu mungkin bisa dilihat berapa sebenarnya asesment bisnis militer sebelumnya dan berapa uang yang masuk kekantong negara," tuturnya.

Idealnya paska reformasi aparat keamanan itu dibawah kontrol sipil. Walaupun dengan bentuk komisi-komisi yang mengawasi aktor aparat keamanan dan pertahanan.

"Jadi kita tidak tahu ataukah komisi ini tidak benar-benar vokal untuk menyuarakan pelanggaran-pelanggaran. Untung saja di Indonesia kita masih memiliki masyarakat sipil yang masih hidup jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya di Asia Tenggara yang sudah dikuasai oleh militer, seperti Thailand," ujarnya.

Selanjutnya, kata Fitri, di masa reformasi di saat penanganan pandemi covid19 ini. Ada banyak sekali jabatan yang harusnya dipegang dari sipil, seperti Kepala Badan Penanggulangan Bencana itu dijabat juga oleh Polri.

"Dan ini diperbolehkan tidak cuma tahun lalu bahwa Perpres ini keluar tentang Kepala BNPB tapi Perpres 39 tahun 2019 juga mengizinkan jabatan fungsional bagi TNI menduduki ranah-ranah (sipil) jika diminta,"katanya.

Dalam undang-undang TNI pun walaupun mereka sudah kembali ke barak tapi idealnya mereka tetap dapat diperbantukan. Jika aparat sipil atau masyarakat sipil pemimpin daerah membutuhkan mereka.

"Nah ini mungkin bermasalah tapi dengan adanya undang-undang ini belum direvisi, untung saja, alhamdulillah, puji Tuhan kita masih memiliki Undang-Undang TNI 34 tahun 2004 yang mengatakan bahwa itu dibutuhkan permintaan, tugas perbantuan itu diminta oleh sipil,"terangnya.

Jadi, ketika ada keterlibatan ada aktor TNI misalnya, berada dalam ranah sipil. Itu berarti diminta oleh pemimpin atau kepala daerah yang sipil ataupun dari jabatan tertinggi diatas.

"Kenapa si kita memiliki masalah ini, kenapa aktor keamanan itu masih ada disekitar kita bukan aktor sipil yang benar-benar menguasai mengenai bidang-bidang sipil," imbuhnya.

Pertama adalah keterbatasan anggaran. Ada yang mengatakan bahwa upaya ini adalah untuk merealisasi, misalkan tadi disebutkan Pasal 49. Bagaimana pemerintah memberikan gaji dan anggaran yang layak bagi TNI/Polri dan didukung oleh anggaran negara tapi itu tidak bisa.

Keterbatasan anggaran ini yang menjadi alasan bagi aktor keamanan turut terlibat dalam bisnis. Publik tahu dulu yang menjadi petugas keamanan itu ada yang mengatakan bahwa dulu ada laporan yang mengatakan freeport itu diamankan oleh TNI.

Tapi sekarang banyak sekali bisnis-bisnis yang publik tahu dan publik harus membayar kepada aparat keamanan. Dan ini bukan hal yang baru.

"Karena memang anggaran dari pemerintah itu terbatas. Yang kedua adanya kurangnya transparansi jabatan. kita tahu ada misalnya individu-individu tertentu lebih cepat dipercepat jabatannya," tandasnya. (G-2)

 

BACA JUGA: