JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) mengabulkan sebagian permohonan hak uji materiil Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU 5/2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum.

Putusan pada tingkat proses peninjauan kembali (PK) perkara Nomor 44P/HUM/2019 itu dibacakan pada 28 Oktober 2019 oleh majelis hakim yang terdiri dari H. Supandi (ketua), Irfan Fachruddin (anggota), dan Is Sudaryono (anggota). Putusan telah berkekuatan hukum tetap.

Para pihak adalah Rachmawati Soekarnoputri (Diah Pramana Rachmawati Soekarno) dkk vs KPU RI dengan tanggal register perkara 14 Mei 2019 dan diunggah di laman Putusan MA pada 3 Juli 2020.

Objek Hak Uji Materiil adalah Pasal 3 ayat (7) PKPU 5/2019 yang berbunyi: “Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih.”

Menurut Rachmawati dkk, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 416 UU 7/2017 tentang Pemilu yang selengkapnya menyatakan:

  1. Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia;
  2. Dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
  3. Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 2 (dua) Pasangan Calon, kedua Pasangan Calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
  4. Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 3 (tiga) Pasangan Calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang;
  5. Dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumlah yang sama diperoleh oleh lebih dari 1 (satu) Pasangan Calon, penentuannya dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang.

Pasal 416 UU Pemilu tersebut merupakan penjabaran ulang norma Pasal 6A UUD 1945.

Rachmawati dkk mendalilkan Pasal 3 ayat (7) PKPU 5/2019 merupakan norma baru yang bertentangan dengan Pasal 416 UU Pemilu. KPU tidak berwenang melakukan itu. “... tidak dapat diterapkan dalam rangka menentukan Calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih,” kata Rachmawati dkk dalam permohonannya.

KPU menetapkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai capres dan cawapres terpilih berdasarkan ketentuan dalam PKPU yang dimohonkan uji materiil oleh Rachmawati dkk tersebut.

Majelis hakim menyatakan dalam putusan bahwa Pasal 3 ayat (7) PKPU 5/2019 bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu UU Pemilu, karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam pertimbangan hukum, MA berpendapat original intent Pasal 416 UU Pemilu adalah syarat minimal perolehan suara (presidential threshold)  yaitu memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pilpres dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

“Syarat tersebut menghendaki bahwa presiden yang dipilih oleh rakyat haruslah mencerminkan Presiden NKRI yang mendapatkan dukungan dari mayoritas rakyat pemilih dalam pemilihan umum baik dalam bentuk kuantitas maupun dukungan yang tersebar di provinsi-provinsi... “

Menurut MA, jika Pasal 3 ayat (7) PKPU 5/2019 diberlakukan tanpa mengindahkan syarat Presidential Threshold tersebut maka tidak menutup kemungkinan di kemudian hari Pilpres capres/cawapres hanya akan berfokus memenangkan pilpres pada kemenangan di daerah-daerah strategis saja (Pulau Jawa dan beberap provinsi yang jumlah pemilihnya besar) sehingga representasi suara rakyat di daerah-daerah yang dianggap kurang strategis (wilayahnya luas secara geografis, namun jumlah pemilihnya sedikit) akan hilang begitu saja berdasarkan prinsip simple majority.

“Tentunya bertolak belakang dengan maksud dibuatnya UU 7/2017 tentang Pemilu yang merupakan penjabaran ulang terhadap norma yang terkandung dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945,” kata MA.

Kendati demikian MA tidak memutuskan mengenai hal yang menyangkut keabsahan status hukum pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin yang saat ini menjabat. “Menyatakan permohonan para pemohon untuk selebihnya tidak diterima,” kata MA.

Anggota KPU Hasyim Asy`ari menyatakan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin memenangkan Pilpres 2019 sesuai UUD 1945. Putusan MA itu tidak berpengaruh.

"Hasil Pilpres 2019 dengan pemenang Paslon 01 Jokowi-Amin sudah sesuai dengan ketentuan formula pemilihan (electoral formula) sebagaimana ditentukan oleh Pasal 6A UUD 1945 (konstitusional)," kata Hasyim Asy`ari dalam siaran pers, Selasa (7/7/2020).

Perolehan suara paslon 01 Jokowi-Ma’ruf Amin berdasarkan penetapan KPU pada 21 Mei 2019 (delapan hari setelah permohonan Rachmawati dkk terdaftar) adalah:

  1. Mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum (paslon memperoleh lebih dari 50% suara sah nasional), yaitu 85.607.362 suara (55,50%);
  2. Mendapatkan suara sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, yaitu menang di 21 Provinsi (dengan perolehan suara lebih dari 50% di setiap provinsi).

Pengajar hukum tata negara Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Ismail Hasani pun berpendapat senada. Putusan MA yang ‘memenangkan’ Rachmawati dkk itu tidak menimbulkan implikasi apapun karena penetapan KPU sudah sesuai dengan formula dalam UUD 1945. Apalagi MA tidak berwenang memutus sengketa perolehan suara dalam pemilu.

“Kewenangan perselisihan pemilu ada di Mahkamah Konstitusi (MK) dan MK sudah menetapkan lebih dari 20 provinsi dimenangkan oleh Jokowi," jelasnya kepada Gresnews.com, Selasa (7/7/2020).

Namun Ismail menyatakan secara politik putusan ini menjadi persoalan yang mungkin juga akan memantik diskusi atau kontroversi.

(G-2)

BACA JUGA: