JAKARTA - Kinerja para wakil rakyat mendapat sorotan tajam. Polah mereka tak menuai simpati rakyat mulai dari melontarkan permintaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan atau Corporate Social Responsibility (CSR) kepada perusahaan BUMN hingga memperlambat pengesahan aturan yang dibutuhkan masyarakat.

CSR bukan tugas dan tanggung jawab anggota DPR.

"Oleh karena itu, permintaan tersebut harus ditolak. Badan Kehormatan DPR sudah sepatutnya meminta keterangan dari anggota DPR yang secara terbuka meminta dilibatkan dalam menyebarkan CSR BUMN tersebut," kata Ray Rangkuti, Direktur Eksekutif Lingkar Masyarakat Indonesia (LIMA), dalam webinar bertema Kala DPR Minta Jatah CSR dan Tolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS, yang diikuti Gresnews.com, Kamis (2/7/2020).

Lanjut Ray, permintaan itu jelas dapat mengganggu kemandirian BUMN, yang secara umum sudah sulit, sebaiknya tidak boleh lagi dibebani oleh permintaan politik yang sama sekali tidak berhubungan dengan penguatan BUMN.

"Di atas itu, ada persoalan yang lebih prinsipil. Yakni makin jauhnya standar moral dan etik anggota DPR. Permintaan dilibatkan dalam menyerahkan CSR itu salah satu contohnya, " tuturnya.

Menurutnya, situasi ini akan makin berat jika cara mereka mendapatkan kursi DPR lebih diistimewakan, misalnya, melalui kenaikan Parliamentary Threshold (PT). Kenaikan PT itu hanya akan memudahkan partai-partai besar untuk mengekalkan perolehan suara mereka di DPR nantinya.

"Tidak ada persaingan ketat, tidak ada kompetisi yang memastikan mereka untuk benar-benar peduli pada isu publik. Ini persoalan lebih serius dan subtansial. Oleh karena itu keinginan partai-partai besar menaikan PT itu sebaiknya ditolak bersama," cetusnya.

Mengenai RUU PKS, kata Ray, ini sudah terlalu lama dibahas dan sampai sekarang belum juga dituntaskan. Padahal ini sudah banyak sengketa sehingga masyarakat minta secepat mungkin diundangkan.

"Eh, anehnya hal yang ditolak masyarakat malah jadi undang-undang yang dipercepat oleh DPR untuk mengesahkannya. Undang-undang yang diminta masyarakat dipercepat dibahas malah dilambat-lambatkan oleh anggota DPR. Bahkan sekarang ada usulan supaya RUU ini dipinggirkan," jelasnya.

Sementara itu Jerry Sumampouw, Koordinator Komite Pemilihan Indonesia (TePi), mengatakan terlemparnya RUU PKS memang agak mengejutkan.

"Karena sebetulnya kan RUU ini sudah warisan periode yang lama ini. Kalau sampai itu tidak dibahas sekarang, ini rekor. Dua periode DPR tidak mampu membahas RUU PKS," katanya.

 

Hal itu semakin memperlihatkan DPR tidak memiliki kepekaan terhadap korban. Dia berpendapat DPR itu harus lebih peka terhadap jeritan para perempuan yang selama ini sudah mengalami kekerasan seksual.

Persoalan sosial terkait kekerasan seksual di masyarakat ini sudah merebak. Beberapa minggu lalu viral di media sosial tentang kawin tangkap di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Itu merupakan bagian dari persoalan ini.

"Ngeri sekali kita ini. Kalau wakil rakyat itu tidak bisa merasakan kepedihan para perempuan yang mengalami kekerasan seksual selama ini," tegasnya.

Ia berharap DPR berpikir kembali dan tetap mengagendakan pembahasan RUU PKS dalam prolegnas tahun ini.

Sebelumnya, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui penghapusan 16 Rancangan Undang-Undang dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020, termasuk di antaranya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Ketua Baleg Supratman Andi Agtas menyebutkan alasan dicabutnya RUU PKS dari Prolegnas 2020 karena masih menunggu penyelesaian RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). (G-2)

BACA JUGA: