JAKARTA - Ombudsman RI mencatat pada 2019 terdapat 397 komisaris pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terindikasi rangkap jabatan di 167 anak perusahaan. Anak perusahaan BUMN itu statusnya adalah swasta. Mayoritas komisaris tersebut ada di perusahaan-perusahaan yang boleh dibilang merugi tapi mereka tetap rangkap penghasilan.

"Kami peroleh data dari BUMN itu sendiri kemarin," kata anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih dalam diskusi daring yang bertema Menyoal Rangkap Jabatan dan Benang Kusut Pengelolaan BUMN yang diikuti Gresnews.com, Kamis (2/7/2020).

Kenapa disebut terindikasi? Menurut Alamsyah, karena boleh jadi yang bersangkutan sudah tidak aktif lagi dari kementerian dan sudah pensiun. Walaupun pada saat pengangkatan sebagai komisaris masih aktif. Ombudsman tak dapat membiarkan benturan regulasi karena akan menghasilkan ketidakpastian dan menyebabkan pengabaian etika, konflik kepentingan, diskriminasi, dan legalitas jabatan komisaris itu sendiri.

"Ada nggak di antara kita yang sudah mendengarkan hasil penilaian pada kinerja komisaris diumumkan ke publik? Nggak ada kan, " tuturnya.

Ombudsman kali ini akan menyampaikan secara formil, baik kepada presiden maupun kepada menteri BUMN, apa saja hal-hal yang harus diperbaiki terkait rangkap jabatan. "Rangkap jabatan komisaris di BUMN memperburuk tata kelola kepercayaan publik," kata Alamsyah.

Menurutnya kalau sudah begini mengubah undang-undang pasti repot, panjang risikonya sehingga perlu dipikirkan cara lainnya.

"Nanti kita lihat, saran kita sih presiden yang mengatur lalu ditetapkan dan dibuka ke publik secara transparan baru kemudian nanti rekrutmennya ditempatkan pada Kementerian BUMN," terangnya.

Misalnya dengan menempatkan aparatur sipil negara (ASN) aktif sebagai komisaris di anak perusahaan BUMN itu sudah lama dari dulu. Puncaknya mulai marak terjadi pada periode Presiden ke-5 Susilo Bambang Yudhoyono dan kemudian terjadi lagi saat ini. "Salahkah? Ya, kita lihat saja undang-undang layanan publik sudah mengatakan kalau dia penyedia pelaksanaan pelayanan nggak boleh," ucapnya.

Masalah lain adalah isu pengurus parpol diangkat menjadi komisaris BUMN. Alamsyah mengambil contoh, misalkan ketika pejabat yang merangkap jabatan dipertanyakan hal itu dan ia mengatakan sudah mundur dari jabatan lain. Masalahnya ia mundur pada waktu seleksi calon pejabat atau sudah terpilih sebagai pejabat?

"Saya bilang ya, ya, ya sudah jelas di peraturan menteri BUMN sendiri tidak boleh pengurus parpol, bahkan ikut seleksinya saja sudah tidak mungkin. Jadi waktu penjaringan pun sudah gugur. Tapi kok, masa setelah dia jadi komisaris baru mengundurkan diri," jelasnya.

Ombudsman RI mengakui semua sama-sama offside dan seharusnya sejak awal intensif mengingatkan. Ombudsman RI juga mengakui atas kelalaiannya tersebut dan mengajak bersama untuk memperbaikinya.

"Ombudsman juga bukan ingin mendorong agar semua segera dipecat. Bukan itu tujuan kami. Kami mau sistem yang baik. Orangnya urusan lain," katanya.

Selain itu masalah etik sudah diatur dalam undang-undang administrasi pemerintahan. Konflik kepentingan harus dihindari. Dalam undang-undang ASN dan undang-undang BUMN itu sendiri.

Termasuk di putusan Mahkamah Agung juga menyatakan anak perusahaan bukan lagi BUMN, tapi swasta. Kecuali yang telah masuk holding dan ini dipertegas oleh Mahkamah Konstitusi.

Dalam penelusuran Ombudsman, ANS tidak boleh jadi komisaris di swasta kalau dia adalah pejabat di PNS.

Sementara itu, peneliti Pusat Studi Hukum Kebijakan (PSHK) M. Faiz Aziz mengatakan beberapa rangkap jabatan yang sebetulnya ada pertentangan antara konsep hukum korporasi yang terkait dengan pelayanan publik.

Asal muasal dalam hal rangkap jabatan dalam undang-undang, peraturan pemerintah (PP), kitab undang-undang hukum Perdata dan kitab undang-undang hukum dagang itu. Dari situ tidak ada larangan atau tidak ada ketentuan yang membolehkan atau pun melarang.

"Namun, ketika dalam batasan tertentu. Ketika dalam bidang tertentu. Ketika dalam sektor tertentu. Di situ ada larangan yang sifatnya adalah relatif atapun absolut atau pun yang sifatnya pembatasan maka tentu saja Perppu itulah yang berlaku," kata Faiz dalam acara yang sama.

Faiz mengambil contoh larangan yang sifatnya relatif ada dalam kitab undang-undang persaingan usaha. Di mana rangkap jabatan itu makna dilarang ketika dia kemudian berada pada pasar yang sama terkait usaha dengan bidang usaha sama kemudian secara bersama dia melakukan penguasaan pasar.

"Yang mengakibatkan adanya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat," katanya.

Bahkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sendiri menerbitkan satu pedoman. Atas pasal 26 ini yang membuat lebih terang benderang terkait dengan konteks rangkap jabatan.

Yang menarik, kata Faiz, adalah di Pasal 17 huruf A Undang-Undang Nomor 25 tahun 2019 tentang Pelayanan Publik.

"Saya yakin ini ada orang, banyak juga orang yang belum sadar sama sekali dengan konteks undang-undang pelayanan publik. Pasal 17 jelas sekali bahwa kesana yaitu yang berarti yang berasal dari instansi pemerintah atau dari BUMN, BUMD itu dilarang merangkap jabatan sebagai pemilik, Komisaris atau pengurus organisasi usaha, " tuturnya.

Faiz mengatakan beberapa jenis badan usaha apa saja, ini berarti dia mencakup seluruh jenis badan usaha. Terlepas dia usaha swasta atau terlepas dia usaha milik negara, terlepas dia milik pemerintah daerah dalam bentuk apapun. Baik itu berbentuk firma, CV, koperasi, dan juga perseroan terbatas.

"Ini sebetulnya clear and clean ya pasal 17 menyatakan demikian. Yang menyatakan bahwa ketika dia mengabdikan diri sebagai seorang pelayanan publik dan juga pelaksananya maka dia dilarang merangkap sebagai komisaris atau pun pengurus di berbagai jenis organisasi usaha," jelasnya.

Rangkap jabatan sendiri berpotensi menimbulkan sebuah benturan kepentingan. Namun ketika larangan usaha tidak dihiraukan ini yang kemudian menjadi pertanyaan adalah soal keabsahan, kebijakan atau laporan yang dibuat perusahaan.

Karena ketika tanda tangan yang dituangkan oleh komisaris dan juga direksi berkaitan ketika dia menyetujui laporan tahunan yang dibuat. Atau menyetujui kebijakan yang dibuat. Padahal dirinya sendiri mungkin tidak cakap dan berwenang.

"Kenapa tidak cakap dan berwenang? Karena dirinya sendiri sebetulnya sejak awal itu nggak boleh masuk komisaris atau pun direksi ataupun pengurus," tandasnya. (G-2)

BACA JUGA: