JAKARTA - Pola penyiksaan masih dilakukan sebagian penegak hukum maupun para tahanan di Indonesia untuk melakukan penertiban. Padahal penyiksaan adalah praktik terlarang dalam instrumen perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).

Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak‑Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Komentar Umum Nomor 20 terhadap Pasal 7 ICCPR menyatakan tidak seorang pun dapat mengalami penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.

"Kami mendesak pemerintah untuk memastikan tidak ada lagi praktik kekerasan terhadap para tahanan yang dilakukan oleh otoritas penjara maupun sesama tahanan," kata Direktur Eksekutif Amnesty international Indonesia Usman Hamid dalam pernyataan tertulis yang diterima Gresnews.com, Sabtu (27/6/2020).

Ia mendesak negara untuk segera bertindak melakukan investigasi secara independen dan membawa ke ranah hukum semua pihak yang bertanggung jawab atas tindakan penyiksaan terhadap tahanan dalam penjara secara khusus dan masyarakat sipil secara umum.

"Hari Dukungan Untuk Korban Penyiksaan Sedunia kemarin menjadi momentum untuk mengingatkan negara agar kejadian penyiksaan, penganiayaan, penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang serta penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat negara terhadap mereka yang menggunakan hak atas kebebasan berekspresi tidak terjadi lagi ke depannya," kata mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) itu.

Berdasarkan pemantauan yang dilakukan Amnesty International Indonesia, sepanjang Juni 2019 hingga Juni 2020, terdapat setidaknya 53 kasus penyiksaan terhadap tahanan dengan 73 korban. Sebagian besar penyiksaan dilakukan polisi sebanyak 43 kasus dengan jumlah korban 61 orang.

Selain itu penyiksaan terhadap tahanan juga dilakukan oleh pihak lembaga pemasyarakatan sebanyak lima kasus dengan korban enam orang, disusul personel TNI sebanyak empat kasus dengan lima korban, dan jaksa sebanyak satu kasus dengan satu korban.

"Tujuh tahanan Papua yang baru divonis di Balikpapan, Kalimantan Timur, juga menyatakan bahwa mereka mengalami penyiksaan saat penangkapan dan pemeriksaan awal. Beberapa dari mereka ditutup matanya saat ditangkap, kemudian dipukul di bagian kepala. Bahkan, pada saat pemeriksaan awal mereka tidak didampingi oleh kuasa hukum. Mereka juga dipindahkan paksa dari penjara di Jayapura ke Balikpapan yang membuat mereka harus menjalani sidang jauh dari keluarga dan kerabat," kata Usman.

Penyiksaan lainnya juga dialami tahanan Papua, Assa Asso, yang saat ini ditahan di Jayapura dengan pasal makar hanya karena mengunggah video tentang aksi unjuk rasa antirasisme di media sosial pribadinya tanpa melakukan orasi di depan massa aksi.

"Saat ditangkap, pihak kepolisian tidak menunjukan surat tugas dan surat penangkapan bahkan ia sempat mengalami tindakan kekerasan dari aparat. Ia dipukul dan dijemur di bawah terik matahari dalam keadaan tanpa pakaian," terangnya.

Sementara itu Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat terjadi puluhan kasus penyiksaan dalam proses hukuman mati. Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu menyebut dari total 306 putusan pengadilan yang diteliti, setidaknya 23 klaim penyiksaan baik yang diajukan oleh terdakwa maupun saksi di persidangan.

"Namun hanya 10 klaim, yang terdiri dari tujuh klaim terdakwa dan tiga klaim saksi akhirnya diperiksa atau dipertimbangkan oleh hakim," katanya kepada Gresnews.com, Sabtu (27/6/2020).

Menurutnya bentuk penyiksaan itu berupa tekanan psikis hingga kekerasan fisik yang berat sering dialami terdakwa maupun saksi saat pemeriksaan di tingkat penyidikan. Misalnya, saat mereka dimintai keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang prosesnya tanpa didampingi oleh penasihat hukum. Dalam hal ini penyiksaan dilakukan untuk mendapatkan pengakuan atau keterangan yang sesuai dengan keinginan oknum penyidik. Pada tahap inilah rekayasa kasus kemudian dapat terjadi.

Berdasarkan hasil riset ICJR, dari total 10 klaim penyiksaan yang diperiksa, tidak ada klaim penyiksaan yang dinyatakan terbukti dan malah terdapat empat klaim penyiksaan yang ditolak atau dinyatakan tidak terbukti.

Temuan itu menandakan bagaimana proses pemeriksaan dugaan penyiksaan masih sangat bermasalah. Pengusutan dugaan penyiksaan dalam persidangan memang menjadi masalah tersendiri karena tidak adanya prosedur dalam undang-undang yang mengatur secara jelas mengenai mekanisme pemeriksaan dan pembuktiannya.

Praktik yang selama ini terjadi adalah hakim hanya sekadar memanggil penyidik yang menuliskan BAP tersangka atau saksi tersebut untuk secara formalitas didengar keterangannya dalam persidangan.

"Saksi penyidik atau yang biasa disebut dengan saksi verbalisan tersebut tentu saja mustahil akan mengakui dirinya pernah melakukan penekanan psikis, lebih-lebih tindakan kekerasan," ujarnya.

Selain itu oknum yang melakukan penyiksaan kerap kali tidak menunjukkan identitas diri ataupun menggunakan perlengkapan tugas (seragam, kartu tanda pengenal) sehingga tidak dapat dikenali dengan jelas. Hal ini juga menyulitkan pembuktian di persidangan karena belum tentu saksi verbalisan yang dihadirkan tersebut merupakan oknum yang dimaksud.

Menurutnya, dalam banyak kasus, hakim juga bergantung terlampau berat pada apa yang tertulis dalam BAP sebagai bahan rujukan pembuktian dalam persidangan.

"Apabila terdakwa atau saksi mencabut keterangannya dalam BAP yang diperoleh melalui penyiksaan, namun saksi verbalisan mengelak klaim penyiksaan tersebut, hakim akan tetap merujuk pada keterangan yang tertulis di BAP," papar dia.

Ada juga, katanya, hakim dalam pertimbangannya malah memandang sikap terdakwa yang mengingkari keterangan yang ditulis di BAP tersebut sebagai petunjuk bahwa terdakwa memang benar-benar bersalah, bukan memeriksa kembali secara seksama.

"Bahkan dalam beberapa kasus, kendati bukti resmi dugaan penyiksaan telah diajukan, namun hal tersebut juga tidak benar-benar dipertimbangkan secara serius," ucap dia.

Eksekusi Terpidana Mati Puluhan Tahun

ICJR juga mencatat sebanyak 60 terpidana hukuman mati telah menunggu waktu eksekusi selama lebih dari 10 tahun. Seluruh (60) terpidana mati tersebut telah menunggu eksekusi dalam waktu yang cukup lama yakni lebih dari 10 tahun dengan kondisi tempat penahanan yang buruk.

ICJR mengungkapkan lima terpidana mati di antaranya telah menunggu waktu eksekusi selama lebih dari 20 tahun. Bahkan, seorang terpidana mati menunggu waktu eksekusi selama hampir 40 tahun lamanya.

Ia menuturkan menunggu dalam waktu yang tak menentu untuk dieksekusi serta dalam penjara yang dinilai tak layak merupakan bagian dari penyiksaan. Hal itu dikategorikan sebagai bagian dari penghukuman yang kejam dan tak manusiawi.

Menurut temuan ICJR, para napi ditempatkan dalam sel bercahaya rendah, waktu minim untuk berkegiatan di luar sel, mengalami diskriminasi dan perundungan, kekerasan, dan lapas yang overkapasitas. Kondisi itu memengaruhi kondisi psikologis.

Kemudian, nutrisi yang kurang dalam makanan, tidak ada pemeriksaan medis berkala, jam besuk terbatas, akses terbatas terhadap bahan bacaan, dan jumlah psikolog yang sangat minim.

Hal tersebut, kata Erasmus, menciptakan fenomena yang disebut fenomena deret tunggu. "Yang berarti situasi-situasi buruk ketika terpidana mati mengalami tekanan mental atau stres yang hebat karena menunggu waktu eksekusi yang panjang dan tak pasti di tempat-tempat penahanan dengan kondisi yang tidak layak," ujarnya. (G-2)

BACA JUGA: