JAKARTA - DPR melontarkan usulan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak diundur dari November 2024 (Pasal 201 angka 8 UU 10/2016 tentang Pilkada) ke 2027.

"Ada sejumlah alasan kuat agar ditunda," kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini kepada Gresnews.com, Kamis (25/6/2020).

Titi menjelaskan kalau pilkada serentak secara nasional diselenggarakan pada November 2024 maka tahapannya akan beririsan dengan tahapan pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) 2024. Dari sisi beban penyelenggara pemilu akan sangat berat sekali menyelenggarakan pileg, pilpres, dan pilkada dalam waktu bersamaan.

"Hal itu cenderung tidak rasional dan bisa mempengaruhi kualitas penyelenggaraan akibat penyelenggara harus bekerja dengan beban yang terlalu banyak," tuturnya. Ia berkaca pada insiden kematian ratusan petugas penyelenggara pemilu karena beban berat menyerentakkan lima jenis pemilihan sekaligus pada 2019.

Selain itu, kata Titi, konsentrasi pemilih untuk fokus pada politik gagasan dan program juga bisa tidak maksimal lantaran terlalu banyak aktor politik yang berkompetisi dalam pileg, pilpres, dan pilkada yang digelar bersamaan.

Perludem mendukung usulan normalisasi jadwal pilkada hingga tidak dilaksanakan serentak nasional pada November 2024. Sebaiknya pilkada tetap digelar pada 2022 dan 2023.

"Bisa saja jadwal pilkadanya dilakukan pada 2022 untuk 101 daerah dan 2023 untuk 170 daerah atau langsung disatukan misal pada Juni 2022 atau awal 2023," terangnya.

Menurutnya gagasan pemilu serentak nasional dan daerah adalah gagasan yang sangat baik dan bisa berkontribusi dalam efektivitas sistem presidensiil serta penguatan efektivitas tata kelola pemerintahan pusat maupun daerah. Bila pilkada serentak dimulai 2027 maka dapat menata jadwal pemilu menjadi lebih efektif karena dalam siklus lima tahun hanya ada dua jenis pemilu saja sehingga para pemilih bisa mengevaluasi secara gradual kinerja partai politik melalui pemilu nasional dan pemilu daerah yang penyelenggaraannya berjarak dua tahunan.

MK melalui Putusan No. 55/PUU-XVII/2019 menyatakan pemilu DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden tidak boleh dipisahkan untuk penguatan sistem presidensial yang dianut oleh negara.

"Tentu perlu juga dilakukan penyesuaian beberapa aturan lain misal meninjau ambang batas pencalonan presiden, besar daerah pemilihan maupun berapa elemen teknis kepemiluan lainnya," tandasnya.

Selama ini pilkada belum pernah dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah NKRI. Pilkada telah digelar sebanyak tiga gelombang, yaitu pada 2015, 2017, dan 2018.

Kepala daerah yang terpilih pada 2015 akan berakhir masa jabatannya pada 2020 untuk kemudian digantikan oleh kepala daerah yang terpilih pada 2020. Sementara itu kepala daerah yang terpilih pada 2017 bakal menjabat sampai 2022 dan digantikan kepala daerah yang terpilih sampai 2022. Kemudian, yang terpilih pada 2018 akan menjabat hingga 2023 untuk digantikan kepala daerah yang terpilih pada tahun tersebut.

Jika pilkada bakal diserentakkan pada 2024, UU telah mengatur jabatan kepala daerah yang habis pada 2022 dan 2023 akan diisi oleh pelaksana tugas (Plt) hingga 2024. Sedangkan kepala daerah yang terpilih melalui Pilkada 2020 hanya akan menjabat hingga 2024.

Oleh karena itu, jika hendak memundurkan keserentakkan pilkada dari 2024 ke 2027, dibutuhkan revisi undang-undang.

Sebelumnya Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa menjelaskan wacana pengunduran pilkada serentak dari 2024 ke 2027 yang sedang digodok pemerintah dan DPR. Wacana itu bermula dari niat pemerintah dan DPR melakukan normalisasi siklus pilkada tanpa menghilangkan pilkada 2022 dan 2023.

Politisi Partai Nasdem itu bilang wacana ini akan dibahas secara mendalam dalam revisi undang-undang pemilu. Nantinya UU Pemilu akan mencakup aturan UU Pilkada dan UU 7/2017 tentang Pemilu.

Rencana pengunduran Pemilu Serentak 2024 ke tahun 2027 mencuat usai diungkap Komisioner KPU Ilham Saputra dalam Seminar Nasional Mewujudkan Kualitas Pilkada Serentak Tahun 2020 di Era New Normal, Selasa (23/6/2020).

Ilham menyebut wacana itu sedang dibicarakan antara pemerintah dan DPR.

Aturan pilkada serentak tercantum dalam UU Pilkada. Pasal 201 mengatur pilkada dilaksanakan hanya sampai 2020.

Pilkada serentak selanjutnya digelar pada 2024. Pilkada itu akan menyerentakkan seluruh pemilihan kepala daerah yang ada di Indonesia.

Daerah-daerah yang seharusnya menggelar pilkada pada 2023 dan 2024 akan mengalami kekosongan pejabat kepala daerah. Karenanya, Pasal 210 ayat (10) dan (11) UU Pilkada mengatur pemerintah akan menunjuk penjabat gubernur, bupati, dan wali kota.

Rencana menyerentakkan seluruh pemilihan kepala daerah di Indonesia sudah muncul sejak UU Pilkada didesain pada 2015. Awalnya, direncanakan tujuh gelombang hingga benar-benar serentak pada 2027.

Gelombang pertama digelar 2015 untuk kepala daerah yang masa jabatannya habis pada tahun itu dan semester satu 2016. Lalu gelombang kedua digelar pada 2017 untuk kepala daerah yang masa jabatannya habis pada semester kedua 2016 dan tahun 2017.

Gelombang ketiga pada 2018 untuk kepala daerah yang masa jabatannya habis pada 2018 dan 2019. Gelombang keempat digelar 2020 untuk melanjutkan pilkada 2015.

Begitu pula 2022 dan 2023 yang melanjutkan pilkada 2017 dan 2018. Kemudian semua daerah akan mengikuti pilkada serentak pada 2027.

Namun rencana itu tak jadi dicantumkan saat UU 1/2015 tentang Pilkada disahkan. Pasal 201 UU tersebut hanya mengatur rangkaian pilkada hingga 2020.

Lalu UU itu direvisi setahun setelahnya. UU 10/2016 tentang Pilkada mengatur pilkada serentak digelar 2024 dengan sejumlah tahapan.

Pasal 201 UU 10/2016 menyebut pilkada serentak digelar pada 2015, 2017, dan 2018. Lalu daerah yang ikut dalam pilkada 2015 akan ikut dalam pilkada 2020. Kepala daerah terpilih hanya akan menjabat sampai 2024.

Sementara pilkada 2022 dan 2023 ditiadakan. Daerah-daerah tersebut akan dipimpin oleh penjabat (pj) yang ditunjuk pemerintah hingga terpilih kepala daerah baru.

Lalu pada November 2024, seluruh daerah mengikuti pilkada serentak. Pada perjalanannya, rencana dalam UU 10/2016 kembali dipertanyakan. Terutama usai kematian ratusan petugas penyelenggara dalam Pemilu 2019. (G-2)

BACA JUGA: