JAKARTA - Memahami hukum diperlukan saat kita hendak membeli rumah. Jangan sampai kita tidak mengetahui hak-hak konsumen bahkan hingga menjadi perkara hukum dengan pelaku usaha seperti yang dialami warga Perumahan Violet Garden di Kelurahan Kranji, Bekasi, Jawa Barat.

Ratusan warga di Perumahan Violet Garden terancam diusir dari kediamannya. Rupanya pihak pengembang, PT Nusuno Karya, telah menggadaikan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) milik warga perumahan ke PT Bank Maybank Indonesia Tbk. (IDX: BNII).

Pengembang meminjam uang hampir Rp50 miliar ke Maybank Indonesia dengan jaminan ratusan sertifikat milik warga setempat. Ketika pembayaran macet pihak bank pun menagih dan melakukan survei yang ternyata rumah telah ditempati warga.

Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Ardiansyah Parmana mengatakan selama ini banyak menerima pengaduan dari masyarakat atau konsumen yang merasa dirugikan. Beragam keluhannya mulai soal properti, perumahan, e-commerce, dan sebagainya.

"Biasanya BPKN selalu memfasilitasi. Mengundang para pihak yang terkait terhadap perselisihan itu untuk dicarikan solusinya," katanya kepada Gresnews.com, Rabu (17/6/2020).

Berdasarkan pengaduan konsumen di BPKN, pengaduan konsumen terhadap sektor perumahan terus meningkat mulai 2016 sebanyak 11%, 2017 sebanyak 8%, 2018 sebanyak 42,86%.

Bahkan sepanjang 2019, ada sekitar 1.200 aduan dan jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya. Persoalannya mencakup pengembalian dana atau refund dan sertifikat tanah.

Dalam UU 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, pengembang boleh melakukan perjanjian pendahuluan jual beli (Perjanjian Perikatan Jual beli/PPJB) apabila 20% bangunan sudah dibangun. Namun, kenyataannya masih ada saja pengembang yang menyalahi aturan.

Menurutnya, pengetahuan konsumen umumnya terbatas seputar properti, terutama seputar aspek legalitas. Apalagi pengembang terkadang kerap mengulur waktu untuk melakukan akta jual-beli (AJB).

Bahkan ada juga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang didanai bank plat merah hanya menggunakan agunan cover note, sertifikat induknya diagunkan kembali oleh pengembang di bank asing untuk modal di proyek lainnya.

Hal itu juga yang terjadi pada kasus Perumahan Violet Garden. Para warga pun sudah mengajukan gugatan kelompok (class action) dan didaftarkan dengan nomor perkara 157/Pdt.G/Class Action/2019/PN.Jkt.Pst di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Adapun pihak yang digugat di antaranya Bank BRI sebagai Tergugat I, Bank BTN sebagai Tergugat II, PT Nusuno Karya sebagai Turut Tergugat 1, PT Mitrakarti Perkasa Sarana sebagai Turut Tergugat 2, Maybank Indonesia sebagai Turut Tergugat 3 dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai Turut Tergugat 4.

"Ya. Jadi kalau class action itu dimungkinkan karena itu sesuai dengan yang diatur oleh Undang-Undang PK," kata Ardiansyah

Ardiansyah mengatakan ia belum mengetahui warga Perumahan Violet Garden melakukan gugatan class action ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

"Saya belum dapat laporan bagian advokasi kalau itu ada juga disampaikan ke BPKN. Karena prosesnya masyarakat bisa saja kepada pelaku usaha yang digugat tidak harus melalui BPKN," jelasnya.

Ia menjelaskan peran BPKN sesuai undang-undang memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah. BPKN bukan penyelesaian sengketa.

Penyelesaian sengketa ada pada badan yang disebut dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). BPSK menyelesaikan perkara di luar pengadilan.

"Tapi kalau ini prosesnya sudah ke arah pengadilan itu hak masyarakat untuk menyampaikan itu," jelasnya.

Salah satu kuasa hukum warga dari Law Office Amor Iustitia, Rihard Burton Pangaribuan, mengatakan para tergugat jelas-jelas melakukan perbuatan melawan hukum.

"Bagaimana bisa terjadi ketika Tergugat 1 dan Tergugat 2 memberikan KPR kepada konsumen, sertifikat hak milik konsumen tidak dipegang oleh bank. Padahal jelas yang menjadi agunan BRI dan BTN dalam penyaluran KPR adalah sertifikat, yang wajib diserahkan ke BRI maupun BTN adalah sertifikat yang sudah siap untuk diikat Hak Tanggungan," kata Rihard.

Menurutnya para tergugat sebagai bank dalam memberikan fasilitas kredit kepada konsumen tidak menerapkan prinsip kehati-hatian, yakni tidak melakukan pengecekan terhadap objek yang dijaminkan.

Padahal jelas diatur dalam Pasal 2 UU 10/1998 tentang Perubahan atas UU 7/1992 tentang Perbankan yang menyatakan dengan tegas perbankan dalam melaksakan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.

Ia menjelaskan faktanya sampai gugatan ini diajukan, ada warga yang sudah melaksanakan kewajibannya atau sudah melunasi semua kewajibannya kepada pengembang dan bank tapi belum pernah dilakukan proses penandatanganan Akta Jual Beli (AJB) oleh pengembang.

Begitu juga sertifikat hak milik atas tanah dan bangunan belum diberikan pihak BRI maupun BTN kepada konsumen yang sudah lunas.

Bukan hanya itu, Rihard menyatakan tindakan para tergugat juga telah melanggar ketentuan Pasal 4 UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

"Di sana jelas disebutkan bahwa konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Namun dalam kasus ini, klien kami sama sekali tidak mendapatkan haknya sebagai konsumen," terang Rihard. (G-2)

BACA JUGA: