JAKARTA - Kendati pemilihan umum baru saja berakhir tahun lalu, Komisi II DPR tengah membahas revisi UU 7/2017 tentang Pemilu dengan salah satu poin pembahasan adalah angka ambang batas masuk DPR (parliamentary threshold/PT) yang akan dinaikkan dari saat ini 4% menjadi 7%.

Gagasan menaikkan ambang batas parlemen itu digulirkan partai-partai besar untuk menyederhanakan sistem kepartaian dan memperkuat kelembagaan partai politik, misalnya, Golkar dan Nasdem yang mematok PT 7%.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) Mardani Ali Sera mengatakan ambang batas diperlukan untuk menyederhanakan sistem presidensial yang memerlukan multipartai sederhana. Besarannya selama ini telah dinaikkan secara bertahap dari 2,5% hingga sekarang 4%.

"Tapi untuk kepentingan yang lebih besar agar keberagaman kita dapat terwadahi sebaiknya tidak melompat. Angka maksimal 5% untuk Pemilu 2024 sudah pas. Kami masih usul 4-5%," kata Mardani kepada Gresnews.com, Kamis (11/6/2020).

Menurut Mardani semakin besar ambang batas maka makin banyak juga suara publik yang hangus ketika pilihannya adalah partai yang tidak lolos PT. Untuk itu perlu mencari titik yang pas karena suara satu orang pemilih mahal.

Ia menjelaskan peningkatan persentase ambang batas niatnya untuk menyederhanakan jumlah partai politik. Teorinya kian tinggi ambang batas, jumlah partai yang lolos kian sedikit. Hasil simulasi PKS jika ambang batas parlemen 5% maka jumlah partai akan berkurang satu dari sembilan jadi delapan partai, jika 7% hanya ada tujuh partai di parlemen.

"Dari sudut penyederhanaan tercapai tapi menjaga agar semua elemen masuk dalam sistem dan terlibat dalam proses sangat penting. Apalagi negeri kita sangat beragam. Perlu kebijaksanaan yang matang," ungkap anggota Komisi II DPR tersebut.

Direktur Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggareni menjelaskan banyaknya suara terbuang sia-sia menjadi salah satu kesalahan fatal dalam mewujudkan sistem pemilu proporsional. Hal itu disebabkan oleh pengaturan ambang batas parlemen yang tidak dirumuskan secara tepat.

"Keinginan menyederhanakan sistem kepartaian dan mengurangi jumlah partai di parlemen didekati dengan jalan terus menaikkan ambang batas yang konsekuensinya makin banyak suara sah pemilih yang terbuang (wasted votes). Ini menjadi tidak berharga karena tidak bisa dihitung untuk ikut penentuan perolehan kursi," kata Titi kepada Gresnews.com, Kamis (11/6/2020).

Akibatnya, lanjut Titi, tentu saja membuat inkonsistensi antara pengaturan pemilu proporsional dan ambang batas yang menimbulkan distorsi pada kedaulatan rakyat.

Selain itu, ambang batas parlemen sebesar 7% adalah ambang batas yang tinggi. Pemberlakuan angka ambang batas yang tinggi di pemilu bisa berdampak membuat makin banyak suara sah pemilih yang sudah diberikan di pemilu menjadi terbuang (wasted votes) karena tidak bisa diikutkan dalam penentuan perolehan kursi. Pada akhirnya bisa berakibat pada distorsi atas suara dan prinsip kedaulatan rakyat. Dengan PT 4% pada Pemilu 2019 saja mengakibatkan 13.595.842 suara yang terbuang apalagi kalau 7%.

Selain itu juga bisa memicu terjadinya ketidakpuasan politik dari para pihak yang merasa suaranya tidak terwakili. Pada akhirnya ketidakpuasan itu bisa tereskalasi pada rongrongan terhadap stabilitas politik dan praktik demokrasi.

Apalagi Indonesia yang beragam, kata Titi, mestinya tidak bisa didekati dengan limitasi dan batasan yang terlalu sulit terhadap ekspresi saluran politik mereka.

Ambang batas parlemen yang tinggi juga bisa memicu praktik politik uang, karena partai-partai menjadi pragmatis dan melakukan segala cara untuk lolos parlemen. Termasuk juga cara-cara transaksional, jual beli suara (vote buying).

Menurut Titi, ambang batas parlemen 7% yang merujuk hanya pada ambang batas perolehan suara pemilu DPR untuk penentuan perolehan kursi DPRD juga potensial dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, karena dalam Putusan MK No. 52/PUU-X/2019, MK sudah memutus perkara dengan substansi pengaturan yang sama sebagai kebijakan yang dipandang inkonstitusional.

Dalam pertimbangan hukum MK pemberlakuan ambang batas parlemen secara nasional mempunyai akibat hukum pada hilangnya kursi-kursi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR. Namun partai politik bersangkutan memenuhi ketentuan bilangan pembagi pemilih di daerah dan menjadikan kursi-kursi tersebut dimiliki partai politik lain, yang sebenarnya tidak memenuhi bilangan pembagi pemilih namun memiliki kursi di DPR.

"Justru bertentangan dengan kedaulatan rakyat, hak politik, dan rasionalitas. Sehingga bertentangan pula dengan tujuan pemilihan umum itu sendiri. Yaitu, untuk memilih wakil rakyat mulai dari tingkat pusat hingga daerah," tegasnya.

Menurutnya, logika matematika dan pengalaman banyak negara, penerapan ambang batas perwakilan hanya efektif untuk membatasi jumlah partai politik di parlemen. Tetapi sering gagal untuk menyederhanakan sistem kepartaian di parlemen.

"Parliamentary threshold atau ambang batas parlemen/ambang batas perwakilan sesungguhnya bukan metode yang tepat untuk menyederhanakan sistem kepartaian di parlemen," cetusnya.

Titi menambahkan ambang batas perwakilan memang berhasil mengurangi jumlah partai politik di parlemen. Tetapi berkurangnya jumlah partai politik di parlemen bukan berarti mengurangi fragmentasi politik di parlemen.

Selain itu, variabel yang tepat untuk menciptakan sistem multipartai sederhana di parlemen adalah besaran daerah pemilihan dan formula perolehan kursi.

Jadi kalau DPR ingin menyederhanakan sistem kepartaian lebih baik menggunakan pendekatan penyederhanaan besaran daerah pemilihan serta formula perolehan kursi saja.

"Dengan demikian, Perludem sendiri beranggapan ambang batas parlemen itu tidak usah tinggi, sebenarnya 1% saja sudah cukup. 4% yang berlaku di 2019 saja praktiknya kan sudah membuat banyak suara sah pemilih yang terbuang. Apalagi 7% bisa menimbulkan kegaduhan politik di masyarakat kita," ungkapnya.

Sebelumnya, Komisi II DPR berjanji akan menyelesaikan revisi UU Pemilu pada pertengahan 2021.. Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Golkar Ahmad Doli Kurnia menyatakan saat ini revisi UU Pemilu sudah mulai dilakukan dengan penyusunan draf.

Doli mengatakan Komisi II telah sepakat RUU Pemilu harus dirampungkan di awal periode. "Sudah disetujui ini menjadi prioritas di tahun pertama DPR. Harapan kami paling lambat pertengahan 2021 selesai," kata Doli dalam diskusi bertajuk Menyoal RUU tentang Pemilu dan Prospek Demokrasi Indonesia, Selasa (9/6/2020).

Menurut Doli setidaknya ada lima isu klasik yang selalu muncul dalam pembahasan RUU Pemilu. Pertama, yaitu soal sistem pemilu. Beberapa usulan yang mengemuka di Komisi II yaitu agar pemilu tetap dengan sistem proporsional terbuka, tertutup, atau campuran.

Kedua, soal ambang batas parlemen (PT). Sejumlah fraksi mengusulkan agar ambang batas parlemen tetap 4% tetapi ada juga yang mengusulkan agar naik jadi 5% dan 7%.

Ada juga yang mengusulkan berlaku nasional atau berjenjang berbeda antara pusat dengan provinsi dan kabupaten/kota. Ketiga, terkait sistem penghitungan konversi suara ke kursi di parlemen.

Keempat, soal jumlah besaran kursi per partai per daerah pemilihan (dapil) untuk DPR dan DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Kelima, soal ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. (G-2)

BACA JUGA: