JAKARTA - Kebijakan pemerintah mengeluarkan para narapidana melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM (PermenkumHAM) 10/2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19 dinilai sebagai tindakan ceroboh.

Kategori tindak pidana mereka yang dibebaskan tidak diteliti lebih dulu sehingga berpotensi terjadi pengulangan tindak pidana.

Seharusnya yang mendapatkan pembebasan adalah para narapidana narkotika, yang merupakan para pengguna, terutama napi perempuan, yang sesungguhnya menjadi korban perdagangan orang.

Bukan mereka yang terkait kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.

Pakar antropologi hukum dari Universitas Indonesia (UI) Sulistyowati Irianto menjelaskan saat ini terjadi overkapasitas di rutan dan lapas.

"Hampir 70% isinya adalah terkait kasus narkoba," katanya dalam diskusi Webinar oleh INFID yang diikuti oleh Gresnews.com, Selasa, (12/5).

Menurutnya, ada kesalahan kebijakan dari pemerintah dalam pembebasan narapidana pada saat pandemi COVID-19. Kasus narkotika yang melibatkan para perempuan semestinya menjadi prioritas untuk dibebaskan.

Dalam penelitian yang dilakukannya pada 2005, para perempuan yang terkait peredaran narkoba sebagian besar merupakan korban perdagangan orang.

"Penelitian ini masih relevan sampai saat ini, modusnya sama dipacari, dikawini, lalu jadi pengedar," ujarnya.

Penelitian dilakukan kualitatif, secara mendalam terhadap 10 orang narapidana perempuan, enam orang asing dan empat warga negara Indonesia. Penelitian juga dilakukan dengan mewawancarai para hakim dan pengacara korban.

Hasilnya jelas bahwa mereka adalah korban perdagangan perempuan, karena semua atribut korban perdagangan perempuan dialami mereka yang didakwa pengedar narkoba.

Ada unsur kekerasan, ancaman, penyalahgunaan kekuasan, penyekapan. Ada juga kekerasan dalam rumah tangga, ada pemasungan kebebasan. Semua itu terjadi pada perempuan pengedar narkoba.

"Mestinya penegak hukum punya sensitivitas dan bukan sekadar jadi corong dari undang-undang," ujarnya.

Hal lainnya ada masalah dalam hukum acara.

Perempuan Myanmar yang telah dipenjara mulai paham Bahasa Indonesia saat membaca berkas kasusnya menolak dakwaan pada berkas tersebut.

Rupanya pada saat persidangan, ia tak mengerti sama sekali Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Demikian pula pengacara yang disediakan negara kemampuan Bahasa Inggrisnya minimal.

Semua ini terjadi lantaran hakim lebih mengutamakan konfirmasi antara laporan polisi, berita acara dan dakwaan jaksa dan aturan undang-undang saja.

"Hakim gak mau memperhatikan motif, apa yang mendasari motif dari perempuan itu sampai mengedarkan narkoba," ujarnya.

Penegak hukum masih menjadi corong undang-undang seperti sistem Belanda masa lalu. Padahal di Belanda sendiri saat ini sistem hukumnya sudah berubah.

Lebih sering menggunakan yurisprudensi sebagai sumber hukum yang penting. Ini belum menjadi pemikiran baru, belum jadi tradisi di Indonesia. Masih banyak penegak hukum sekadar menjadi corong tanpa melihat putusan sebelumnya yang telah ada seperti apa.

Direktur LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta Siti Mazuma menyatakan pemerintah seharusnya tak mengeluarkan narapidana terkait kekerasan pada perempuan karena dampaknya buruk bagi korban.

"Bagi perempuan ia bukan hanya menjadi korban tindak pidana tapi juga stigma masyarakat dan lainnya. Tak mudah bagi perempuan untuk melaporkan kasus," katanya dalam diskusi yang sama.

Kalau pun pementah ingin tetap mengeluarkan narapidana terkait kekerasan pada perempuan seharusnya melalui sejumlah tahapan lebih dulu.

Sebelum pembebasan narapidana itu maka hak atas pemulihan korban harusnya dipenuhi lebih dulu. Misalnya, jaminan ketidakberulangan sesuai dalam UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Di situ ada pemenuhan hak restitusi korban.

Menurutnya, dalam hal pengawasan agar pelaku tak melakukan kekerasan berulang pada perempuan perlu kerja sama dengan RT/RW setempat.

BACA JUGA: