JAKARTA - Arab Saudi berencana mengambil kebijakan penghapusan hukuman cambuk hingga hukuman mati dalam rangka mempromosikan hak asasi manusia (HAM) sebagai bagian dari upaya reformasi hukum.

Langkah itu selayaknya juga dilakukan Indonesia sebagai negara yang lebih maju dalam hal penghormatan terhadap HAM.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitahsari mengatakan Indonesia saat ini harus lebih menunjukkan komitmen dalam menaati norma HAM internasional, khususnya pada penghapusan hukuman mati dan hukuman badan.

"Indonesia harus sepenuh hati memuat rumusan RKUHP yang mendukung penghapusan pidana, termasuk memberikan komutasi/perubahan hukuman bagi paling tidak 60 terpidana mati yang saat ini dalam deret tunggu," kata Tita kepada Gresnews.com, Rabu (29/4). 

Menurut Tita, Indonesia telah mengadopsi berbagai instrumen HAM internasional yang melarang penggunaan hukuman badan maupun membatasi penerapan hukuman mati, seperti Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovensi Anti Penyiksaan (CAT).

Oleh sebab itu, ICJR berpendapat Indonesia bisa dibilang lebih maju dalam penghormatan HAM yang diatur dalam hukum internasional.

Pemerintah Indonesia harus lebih berkomitmen dan melangkah lebih jauh dari upaya reformasi yang dilakukan pemerintah Arab Saudi.

Namun sampai sekarang, hukuman badan masih terus digunakan secara terang-terangan di wilayah Indonesia, misalnya melalui penerapan Qanun Jinayat di Aceh yang masih menerapkan hukuman cambuk badan. 

Selain itu, kata Tita, dalam kebijakan pidana mati, pemerintah Indonesia juga belum mampu memperlihatkan komitmennya secara konsisten untuk menciptakan kebijakan hukuman mati yang sejalan dengan penghormatan HAM.

Dalam konteks penyusunan RKUHP, misalnya, hukuman mati digadang-gadang sebagai jalan tengah, dengan membuka peluang adanya mekanisme komutasi atau pengubahan hukuman mati menjadi hukuman jenis lainnya dalam masa percobaan selama 10 tahun.

ICJR mendukung upaya ini, namun belakangan, pada draf Juni 2018, rumusan RKUHP tentang hal ini mengalami kemunduran, di mana peluang perubahan hukuman justru digantungkan pada putusan pengadilan, tidak otomatis pada setiap terpidana mati.

Hal itu jelas menunjukkan komitmen setengah hati dan membuka celah praktik diskriminatif dan koruptif tanpa batasan yang jelas.

Harusnya juga, sebelum hadir dengan ide `jalan tengah` tersebut, pemerintah harus terlebih dahulu mengubah hukuman mati terhadap 60 terpidana mati yang saat ini telah duduk dalam deret tunggu lebih dari 10 tahun.  

Tita menjelaskan Arab Saudi terkenal dengan penggunaan hukuman badan (corporal punishment) secara intensif. Cambuk merupakan hukuman yang umum diterapkan untuk berbagai jenis kejahatan.

Selain itu terdapat pula hukuman potong anggota badan untuk kasus pencurian hingga pembunuhan dan terorisme.

Namun belakangan upaya-upaya reformasi telah diperlihatkan oleh pemerintah Arab Saudi.

Sistem pemidanaan mulai dibenahi untuk dapat mengikuti perkembangan pemidanaan modern yang mengutamakan penghormatan terhadap HAM.

Arab Saudi berencana untuk mulai menghentikan penjatuhan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana yang masih berusia di bawah 18 tahun ketika melakukan kejahatan, dan mengganti jenis hukuman tersebut menjadi hukuman penjara maksimal 10 tahun.

Kebijakan penghapusan hukuman mati dicanangkan oleh Arab Saudi bahkan ketika pada 2019 mencatatkan jumlah eksekusi mati tertinggi sejak 2000 yakni terhadap 184 orang (Amnesty International). Ketentuan ini berlaku untuk semua jenis tindak pidana kecuali terorisme.

Sebelumnya, Mahkamah Agung Arab Saudi pada pertengahan April 2020 juga menerbitkan surat edaran untuk pengadilan-pengadilan di bawahnya agar mengganti penerapan hukuman cambuk dengan pembayaran denda, hukuman penjara, atau pelayanan masyarakat/kerja sosial. (G-2)

BACA JUGA: