JAKARTA - Sejumlah kalangan masyarakat sipil menyerukan agar DPR tak melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) ketika masih terjadi pandemi COVID-19. Mereka juga menyerukan revisi substantif untuk memastikan RUU itu melindungi minoritas agama dan memenuhi standar HAM internasional.

Anggota Kehormatan ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) Eva Kusuma Sundari mengatakan ada beragam isu hak asasi manusia, namun yang paling mengkhawatirkan adalah bagaimana RUU KUHP melanggar hak-hak perempuan, anggota komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) dan minoritas agama. "APHR secara khusus prihatin jika diadopsi, alih-alih mencegah kejahatan, rancangan saat ini dapat memperburuk diskriminasi, memicu konflik, dan melegitimasi kebijakan-kebijakan intoleran," kata Eva dalam diskusi online yang diselenggarakan APHR, Kamis (9/4).

Eva, yang juga politisi PDIP, itu menyatakan prihatin dengan berbagai pasal bermasalah RUU KUHP. Dalam hal ini APHR memfokuskan analisisnya pada hak kebebasan beragama atau berkeyakinan dan menyerukan kepada parlemen Indonesia untuk mengubah Pasal 2 dan mencabut Bab 7 dan Pasal 483 (a) dari RUU KUHP, yang antara lain mengkriminalisasi penodaan agama, gangguan upacara keagamaan, membuat kegaduhan di dekat tempat ibadah, dan di depan umum menghina seorang ulama. Ketentuan itu harus dicabut untuk menjamin hak orang atas kebebasan berekspresi, untuk mencegah diskriminasi dan melindungi agama-agama minoritas.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitahsari meminta agar DPR tidak memanfaatkan kondisi pandemi COVID-19 dengan tetap ngotot melanjutkan pembahasan RUU KUHP. Jika DPR dan pemerintah ngotot tetap melanjutkan pembahasan, sama saja eksekutif dan legislatif tidak peduli akan penderitaan rakyat yang tengah didera cobaan.

Menurut dia, pembahasan RUU KUHP juga perlu mengevaluasi seluruh pasal yang ada. Bukan hanya membahas pasal-pasal yang dinilai kontroversial. Misalnya kelebihan kapasitas yang terjadi di lembaga pemasyarakat dan rumah tahanan disebabkan oleh overcriminalization atau kriminalisasi berlebih dalam peraturan perundang-undangan, yang juga gagal diatasi RUU KUHP.

Beberapa pasal yang dinilai menyebabkan overcriminalization atau kriminalisasi berlebih adalah pasal hukum yang hidup di masyarakat, penghinaan presiden dan pemerintah, larangan mempertunjukkan alat kontrasepsi, pasal tindak pidana terhadap agama, rumusan tindak pencabulan yang diskriminatif, dan tindak pidana narkotika.

Sementara itu politisi Partai Nasdem Taufik Basari menegaskan tidak benar informasi yang menyebutkan DPR akan mengesahkan RUU KUHP. Anggota Komisi III DPR itu justru terus mendorong adanya evaluasi terhadap RUU KUHP. Namun, katanya, tak berfokus pada 14 poin kontroversi yang menyebabkan RUU tersebut batal disahkan.

Menurutnya, evaluasi tersebut bertujuan untuk kembali menyisir pasal-pasal yang dinilai bermasalah. Perlu juga adanya simulasi agar tak terjadi multitafsir di dalamnya. Tujuannya adalah agar tak ada kriminalisasi berlebihan dan kepastian bahwa asas hukum telah terpenuhi. "Dari awal Fraksi Nasdem menginginkan tetap ada pembahasan mendalam lagi untuk RUU KUHP," ujarnya.

(G-2)

BACA JUGA: