JAKARTA - Saat ini Komisi Yudisial (KY) menjadi tidak lebih dari lembaga serupa penyelenggara acara (event organizer) rekrutmen hakim. Fungsi pengawasan tidak berjalan. RUU Jabatan Hakim diharapkan bisa menjadi landasan untuk memperkuat lagi peran KY untuk bersinergi dengan Mahkamah Agung (MA) dalam hal pengawasan hakim.

"Selama ini ada keengganan dari KY untuk memproses hakim. KY menjadi tidak lebih dari EO, panitia penyelenggara untuk seleksi rekrutmen hakim," kata Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Jakarta Suparji Ahmad kepada Gresnews.com, Rabu (18/3).

Dia menegaskan hakim merupakan pilar utama tegaknya hukum dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu hakim harus profesional, berintegritas, bermoral, independen dan bisa memberikan penyelesaian-penyelesaian yang visioner. Harapan itu belum sepenuhnya terwujud di Indonesia.

"Bisa dilihat dari beberapa fakta ada oknum hakim yang menimbulkan polemik atau kontroversi di masyarakat atau ada beberapa putusan hakim yang kemudian diduga ada unsur-unsur "pesanan", politik, dan lain sebagainya. Itu saya kira adalah fakta-fakta yang mengemuka selama ini," kata Suparji.

Dia berharap RUU Jabatan Hakim akan memberikan pedoman dan dasar lahirnya hakim yang ideal sebagai sarana tegaknya negara hukum.

"Mulai dari proses assesment recruitment, proses promosi, proses mutasi, proses punishment. Itu hendaknya memberikan edukasi, memberikan penjelasan kepada yang bersangkutan (hakim) atau kemudian memberikan upaya-upaya perbaikan," tuturnya.

RUU Jabatan Hakim seharusnya segera dituntaskan. Ada tiga hal yang harus diutamakan.

"Pertama, hendaknya ini segera diselesaikan. Karena sudah lama diproses, sudah lama ditunggu. Kedua, secara subtansi harus jelas (mengenai kualitas) personalitasnya. Jangan sampai norma-norma dalam undang-undang ini di-judicial review di Mahkamah Konstitusi, apalagi dibatalkan. Ketiga, hendaknya bisa menjadi satu landasan, pedoman dalam proses rekrutmen yang baik, proses promosi, mutasi atau pun proses-proses yang lain secara yang baik," ungkapnya.

Hal lain adalah mengenai solusi untuk mengatasi masalah kekurangan hakim. Dalam satu hari, kata dia, ada hakim yang bisa menyidangkan 20-40 perkara. Itu ironis. "Bisa menyebabkan kelelahan, sehingga bisa timbul kejanggalan penggalian kebenaran dan ketidaktajaman pengambilan keputusan," kata dia.

Wakil Ketua MPR Arsul Sani mengatakan RUU Jabatan Hakim masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014-2019, tapi tidak prioritas. Kemudian kembali masuk Prolegnas 2019-2024.
 
DPR telah mengusulkan RUU Jabatan Hakim karena belum tersedia UU khusus tentang jabatan hakim. Menurutnya, pihak yang mendorong inisiasi paling depan adalah adalah hakim muda dan KY. Walaupun RUU Jabatan Hakim tidak masuk prioritas pada 2020, bukan berarti tidak penting. Hal ini karena mengantre pembahasan RUU yang lebih prioritas dan urgent. Apalagi dalam UU tentang MPR/DPR/DPD/DPRD ada ketentuan tiap Komisi di DPR hanya boleh membahas dua RUU. Setelah selesai, baru bisa dibahas RUU yang lain.
 
Terkait wewenang KY, Arsul menyatakan banyak anggota parlemen yang setuju untuk memperkuat KY. Sayang sekali bila lembaga negara sebesar KY dan diatur dalam konstitusi hanya melakukan pengawasan hakim. 
 
“Oleh karena itu, ada rencana memperkuat wewenang KY saat amendemen. Jadi, KY nantinya tidak hanya mengawasi hakim tapi semua aparat penegak hukum. Jika itu dapat  terwujud maka tidak diperlukan lagi adanya Komisi Kejaksaan, Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional), dan lain-lain. Bahkan Bawas (Badan Pengawasan MA) difokuskan bukan pada hakim, tapi pegawai MA saja,” kata Arsul. 
 
Dalam naskah final RUU Jabatan Hakim terdapat sejumlah fungsi dan kewenangan KY berkaitan dengan jabatan hakim. Hakim agung menjabat selama lima tahun dan dapat ditetapkan kembali dalam jabatan yang sama setiap lima tahun berikutnya setelah melalui evaluasi yang dilakukan oleh KY (Pasal 32 ayat (1)), pembinaan hakim pertama (Pasal 37 ayat (2)), pelatihan kepribadian hakim (Pasal 39 ayat (4)), promosi hakim pertama dalam tim promosi yang dibentuk bersama MA (Pasal 41 ayat (6)), mutasi hakim pertama dalam tim mutasi yang dibentuk bersama MA (Pasal 42 ayat (3)), pembinaan hakim tinggi (Pasal 43 ayat (2)), pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan pada kode etik dan pedoman perilaku hakim (Pasal 50 ayat (4) dan (5)), serta perlindungan terhadap keluhuran dan martabat hakim (Pasal 51 ayat (4)).

Mengenai kekurangan jumlah hakim, MA pernah melansir bahwa Indonesia kekurangan setidaknya 4.000 hakim

Sepanjang 2019, Ketua MA Hatta Ali bahkan meneken persetujuan sebanyak 131 izin persidangan dengan hakim tunggal, akibat kurangnya jumlah hakim tersebut.

(G-2)

BACA JUGA: