JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dianggap tak memahami batasan hukum tentang kesusilaan dan justru menciptakan iklim ketakutan dalam berekspresi dan berpendapat, dengan menyatakan unggahan foto aktris Tara Basro di media sosial yang bertujuan untuk mengampanyekan body positivity (sikap positif terhadap tubuh sendiri), sebagai pornografi.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menegaskan Kominfo harus menarik kembali pernyataan yang telah disampaikan dan menjelaskan tidak ada pelanggaran UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada unggahan Tara Basro. "(Kominfo) tidak paham tentang hukum kesusilaan, bahwa yang bisa dipidana itu adalah yang merusak kesusilaan dan penilaiannya harus kontekstual," kata Maidina kepada Gresnews.com, Kamis (5/3).

Pada Selasa, 3 Maret 2020, Tara Basro mengunggah foto-foto dirinya. Unggahan tersebut mendapatkan banyak apresiasi dari berbagai kalangan. Artis bernama lengkap Andi Mutiara Pertiwi Basro itu dinilai merepresentasikan banyak perempuan dalam berjuang melawan stigma mengenai bentuk tubuh sempurna perempuan di masyakarat. 

Namun, hal yang berbeda justru ditunjukkan oleh Kepala Biro Humas Kominfo Ferdinand Setu yang menyatakan unggahan Gadis Sampul 2005 itu mengandung unsur pornografi dan melanggar UU ITE. 

"Yang jelas kami melihat itu memenuhi unsur Pasal 27 ayat (1) tentang melanggar kesusilaan. Itu menafsirkan ketelanjangan. Foto yang ditampilkan itu, seperti yang tadi saya sampaikan, kami akan segera take down, tapi syukur-syukur sudah di-take down sendiri olehnya." Kominfo juga menyatakan unggahan Tara tetap mengandung unsur pornografi kendati bagian payudara dan kemaluannya tertutup.

ICJR sangat menyayangkan pernyataan yang dilontarkan oleh pihak Kominfo tersebut yang menimbulkan stigma dan iklim ketakutan. Jika memang hal tersebut pendapat resmi dari Kominfo maka sangat disayangkan bahwa Kominfo belum sepenuhnya memahami batasan hukum tentang kesusilaan, tidak mendukung pesan baik yang disampaikan, dan justru menciptakan iklim ketakutan dalam berekspresi dan berpendapat. 

Sedari awal ICJR terus melontarkan kritik terhadap rumusan karet dalam pasal-pasal ketentuan pidana dalam UU ITE, salah satunya Pasal 27 ayat (1) tentang mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Penjelasan dalam Pasal 27 ayat (1) tidak secara eksplisit merujuk pada ketentuan dalam KUHP. Padahal dalam UU 19/2016 tentang Perubahan UU ITE menyatakan Pasal 27 ayat (3) merujuk pada ketentuan KUHP. Mutlak, Pasal 27 ayat (1) harus merujuk pada ketentuan dalam Pasal 281 dan Pasal 282 KUHP untuk melihat hakikat pelarangan distribusi konten melanggar kesusilaan, yang mana UU ITE menjangkau medium dalam sistem elektronik. 

Mengenai pelanggaran kesusilaan, yang dinilai sebagai tindak pidana adalah perbuatan “sengaja merusak kesopanan/kesusilaan di muka umum” atau “sengaja merusakkan kesopanan/kesusilaan di muka orang lain, yang hadir dengan kemauannya sendiri”. Kesusilaan adalah perasaaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin. Sifat kesusilaan tersebut harus dinilai sesuai dengan konteks perbuatan.

Aparat penegak hukum dalam penerapan pasal ini harus menilai dengan seksama ukuran kesusilaan dengan konteks perbuatan yang dilakukan, harus dipastikan pula bahwa perbuatan dilakukan dengan sengaja untuk merusak kesusilaan tersebut. Sedangkan untuk perbuatan menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan tulisan/gambar yang melanggar kesusilaan, dalam KUHP dijelaskan bahwa orang yang melakukan perbuatan tersebut harus mengetahui bahwa isi tulisan, gambar, patung dan benda-benda yang dibuat tersebut melanggar perasaan kesopanan/kesusilaan. 

Sedangkan dalam UU Pornografi yang dimaksud dengan pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Pada poin ini, penilaiannya kembali pada kesusilaan yang dilihat dari konteks perbuatan dilakukan. Terlebih lagi, politik hukum di Indonesia terkait dengan pornografi yang termuat dalam RKUHP dalam penjelasan Pasal 413, pornografi harus dilihat sesuai konteks dan tidak merupakan tindak pidana jika merupakan karya seni, budaya, olahraga dan/atau ilmu pengetahuan. 

Dalam hal ini perbuatan yang dilakukan Tara Basro bukan merupakan perbuatan merusak kesusilaan atau pun mengetahui bahwa unggahannya merupakan konten yang melanggar kesusilaan melainkan ekspresi yang sah dari seorang perempuan dan mendukung pandangan positif terhadap keberagaman seseorang, termasuk perempuan, yang seharusnya didukung.

Pernyataan Kominfo yang tidak didahului pengkajian yang mendalam justru menghadirkan iklim ketakutan dalam berpendapat dan berekspresi. Seharusnya Kominfo mengetahui batasan ini. Hal ini juga menunjukkan perlunya kembali UU ITE dan penerapannya dievaluasi. Selama ini Pasal 27 ayat (1) UU ITE justru menyerang kelompok yang seharusnya dilindungi, dan diterapkan berbasis diskriminasi gender. Terlebih lagi, Pasal 27 ayat (1) UU ITE belum dirumuskan secara jelas sesuai dengan tujuan pembentukan pasal tersebut dan juga memuat duplikasi tidak perlu, karena rumusan yang ketat sudah dimuat dalam KUHP yang saat ini berlaku dalam Pasal 281 dan Pasal 282. 

Kominfo harus menarik kembali pernyataan yang telah disampaikan dan menjelaskankan bahwa tidak ada pelanggaran UU ITE pada unggahan Tara Basro. Kominfo harus menghentikan penyebaran ketakutan berekspresi. Pemerintah lewat kejaksaan memastikan bahwa penerapan Pasal 27 ayat (1) UU ITE tidak untuk menyerang ekspresi sah atau pun menyerang kelompok yang perlu dilindungi.

"Segera, pemerintah dan DPR memastikan revisi UU ITE yang masuk ke dalam Prolegnas 2020-2024 untuk menghapus Pasal 27 ayat (1) yang memuat duplikasi, karet, multitafsir yang dalam praktik penerapannya sering menyerang korespondensi pribadi, menyerang korban kekerasan seksual, dan melanggar hak untuk berekspresi," kata Maidina.

(G-2)

BACA JUGA: