JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga mendapat kritikan keras dari masyarakat. Aturan yang diusulkan oleh DPR itu dianggap terlalu mengatur ranah privat warga negara, terutama soal hubungan suami-istri dalam keluarga. Pemerintah dan DPR seharusnya mengkaji ulang rencana pembahasan RUU tersebut.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menilai RUU Ketahanan Keluarga juga telah mengurangi peran agama dalam membimbing pembentukan fungsi keluarga yang dinamis. "Publik harus marah terhadap rumusan RUU Ketahanan Keluarga karena menghilangkan peran agama yang luhur dan spiritual dalam aspek kehidupan masyarakat," kata Anggara kepada Gresnews.com, Kamis (27/2), melalui surat elektronik.

Anggara menjelaskan, pada Pasal 16 ayat (1) dimuat kewajiban anggota keluarga yang terdiri dari kewajiban menaati perintah agama dan menjauhi larangan agama, menghormati hak anggota keluarga lainnya; melaksanakan pendidikan karakter dan akhlak mulia; serta mengasihi, menghargai, melindungi, menghormati anggota keluarga.

Kemudian, pada Pasal 24 ayat (2) diuraikan kewajiban suami-istri untuk saling mencintai, menghormati, menjaga kehormatan, setia, serta memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain.

Anggara berpendapat kewajiban-kewajiban yang diuraikan tersebut tidak bisa dijangkau oleh kewenangan negara, karena negara tidak bisa melihat/menguraikan konsekuensi atas pelanggaran kewajiban-kewajiban tersebut, karena kewajiban yang diuraikan adalah ruang spiritualitas seseorang.

Anggara juga mengatakan, dalam Pasal 2 huruf k RUU Ketahanan Keluarga diatur bahwa ketahanan keluarga berasaskan non-diskriminasi. Namun, pada Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (3) hak dan kewajiban suami istri jelas berbeda. Suami memiliki kewenangan menyelenggarakan resolusi konflik dalam keluarga, sedangkan istri hanya dalam ranah domestik seperti mengurusi urusan rumah tangga dan menjaga keutuhan keluarga.

"Dengan adanya RUU ini, maka pemerintah Indonesia harusnya marah, karena upaya-upaya pengarusutamaan gender justru dikerdilkan dengan pengaturan kewajiban istri hanya dalam ranah domestik," ujarnya.

RUU itu juga dianggap dapat menghina kelompok orang miskin. Sebab, dalam RUU tersebut diatur bahwa orang tua diwajibkan memberikan kehidupan yang layak kepada anak. Apabila orang tua gagal memberikan kehidupan yang layak terhadap anak maka dapat dinilai sebagai pelanggaran hukum.

Menurut Anggara, aturan itu terdapat pada Pasal 33 RUU, disebutkan bahwa setiap keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan, gizi dan kesehatan, sandang, dan tempat tinggal yang layak huni; mengikutsertakan anggota keluarga dalam jaminan kesehatan; dan menjaga kesehatan tempat tinggal dan lingkungan. Setiap keluarga juga diwajibkan memiliki tempat tinggal dengan sirkulasi udara, pencahayaan, dan sanitasi air yang baik; serta ketersediaan kamar yang dipisah antara laki-laki dan perempan untuk mencegah kejahatan seksual.

"Pengaturan ini jelas penuh stigma dan menghina orang miskin. Keluarga yang tidak mampu menyediakan kamar terpisah dianggap melanggar hukum dan tidak berupaya mencegah kekerasan seksual," ucapnya.

Diketahui bahwa RUU Ketahanan Keluarga masuk ke dalam Prolegnas 2020-2024 dalam daftar nomor 155, yang ditulis sebagai RUU yang diajukan oleh DPR/DPD. Dalam perkembangannya, mulai 7 Februari 2020 diketahui bahwa RUU ini telah memasuki proses harmonisasi di Badan Legislatif (Baleg) DPR.

RUU Ketahanan Keluarga juga masuk ke dalam Daftar Prolegnas Prioritas 2020. Draf aturan ini diajukan oleh lima politisi yaitu Sodik Mudjahid dari Fraksi Partai Gerindra, Netty Prasetiyani dan Ledia Hanifa dari Fraksi PKS, Endang Maria Astuti dari Fraksi Partai Golkar, serta Ali Taher dari Fraksi PAN.

(G-2)

BACA JUGA: