JAKARTA - Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh telah lama terbentuk di tanah rencong sesuai mandat Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2015. Namun hingga saat ini dukungan terhadap lembaga itu dinilai masih kurang optimal.

Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Miftah Fadhli menilai, sejak awal terbentuk, KKR Aceh belum mendapat dukungan optimal dari pemerintah Aceh maupun Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). "Termasuk (dukungan) dalam hal pengisian jabatan apabila ada komisioner yang mengundurkan diri," kata Miftah kepada Gresnews.com, Senin (24/2)

Pada 24 Oktober 2016, pemerintah Aceh melantik tujuh komisioner KKR Aceh yang bertugas untuk melaksanakan dan menjalankan KKR Aceh selama periode lima tahun. Ketujuh komisioner tersebut adalah Afridal Darni (ketua), Muhammad MTA, Fajran Zain, Mastur Yahya, Fuadi, Evi Narti dan Ainul Mardhiah. Namun, Fajran Zain mengundurkan diri menjelang Pemilu 2019 karena mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Aceh.

Namun, sampai sekarang, selama 1,5 tahun terakhir sejak pengunduran diri itu, belum dilakukan pergantian komisioner baru. Padahal, mekanisme pengisian posisi komisioner KKR Aceh yang kosong karena mengundurkan diri semacam itu telah diatur dalam Pasal 18 Ayat (2) Qanun 17/2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). "Pergantian Antar Waktu (PAW) diambil dari cadangan komisioner KKR Aceh berdasarkan nomor urut tertinggi," demikian bunyi aturan Qanun tersebut.

Artinya, orang yang menempati urutan cadangan komisioner KKR Aceh berikutnya dari hasil fit and propert test yang dilakukan oleh DPRA seharusnya segera diproses untuk ditanyakan kesediaannya dan segera disahkan sebagai komisioner KKR Aceh yang baru, menggantikan komisioner yang telah mengundurkan diri. Namun, sampai kini, belum terlihat upaya apa pun untuk mengatasi kekosongan posisi tersebut.

Pergantian komisioner KKR Aceh tersebut terbilang lambat sekali. Padahal, komisi-komisi lainnya yang ada di Aceh, mampu melakukan penggantian komisionernya yang mengundurkan diri dalam waktu cepat. Misalnya, PAW di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Aceh pada September 2019 dan Komisi Informasi Aceh (KIA) pada Oktober 2019. Bahkan komisioner pengganti di KPI dan KIA itu bisa dilantik langsung oleh Plt. Gubernur Aceh Nova Iriansyah.

"Kenapa DPRA belum juga mau mengusulkan nama (pengganti komisioner KKR Aceh), ya itu hanya DPRA yang tahu. Tapi yang jelas dukungan politis ke KKRA saat ini memang tidak ada," kata Miftah.

Seharusnya, lanjutnya, komisioner KKR Aceh yang sedang menjabat harus segera mendorong penyelesaian proses PAW tersebut kepada pihak terkait yang memiliki wewenang, apakah melalui pihak DPRA di Komisi I maupun pemerintah Aceh. Hal itu bersifat mendesak, agar tidak ada kesan publik bahwa ada tindakan kesengajaan dalam mengurangi hak orang yang telah masuk dalam daftar cadangan komisioner KKR Aceh; dan ada tindakan menghambat berjalannya peran dan tugas spesifik yang ditinggalkan oleh komisioner KKR Aceh yang mengundurkan diri. Persoalan ini harus terus dikawal dan menjadi perhatian publik, khususnya di Aceh, mengingat kinerja KKR Aceh sebagai lembaga penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Aceh melalui jalur non-yudisial itu bersifat strategis untuk keberlangsungan perdamaian di Aceh.

"Sebenarnya kan cukup dengan kesepakatan di antara komisioner saja. Karena di Qanun juga tidak diatur tentang keabsahan pengambilan keputusan yang sifatnya internal," ujar Miftah.

Lebih jauh dia berpendapat yang juga perlu diingat sebetulnya adalah saat ini dalam salah satu progam legislasi Aceh ada rencana pembentukan Sekretariat KKR Aceh. "Jadi penting sekali DPRA untuk segera mengusulkan calon untuk mengisi kekosongan sebagai bentuk pelaksanaan program tersebut," kata Miftah. 

(G-2)

BACA JUGA: