JAKARTA- Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat masa kampanye lalu kerap melontarkan isu penuntasan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu. Namun, janji tinggal janji, nyaris tidak ada harapan bagi penuntasan pelanggaran HAM masa lalu.

Ketua SETARA Institute Hendardi mengatakan sebenarnya Jokowi memiliki banyak instrumen untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Salah satu gagasan Jokowi dalam penuntasan kasus HAM masa lalu adalah membentuk Komite Kepresidenan Pengungkapan Kebenaran yang tercantum dalam program Nawacita 2014.

"Model ini yang paling moderat untuk merintis penuntasan pelanggaran HAM masa lalu," kata Hendardi dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Selasa (18/2).

Menurutnya, fokus Komisi itu adalah mengungkap kebenaran, tanpa terjebak penyelesaian yudisial atau non-yudisial. Jika Komisi itu selesai menjalankan tugas pengungkapan kebenaran, berikutnya adalah mendiskusikan makna dan jalan keadilan yang bisa banyak variannya. Sayangnya, Jokowi justru mengurungkan niatnya pada periode II ini, dengan alasan prioritas kepemimpinanya adalah pemajuan ekonomi-kesejahteraan dan penguatan SDM. Lalu kapan janji penuntasan kasus HAM akan dipenuhi?

Hendardi menambahkan di bidang penanganan intoleransi, komitmen Jokowi tampak hanya ditujukan untuk menjustifikasi tindakan politiknya menunjuk sejumlah menteri yang oleh Jokowi dianggap memiliki kecakapan penanganan intoleransi. Nyatanya, sejumlah menteri dan kepala badan/lembaga tidak memiliki agenda terpadu dan mendasar dalam menangani intoleransi.

"Peristiwa-peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan terus terjadi dan pada saat bersamaan disangkal oleh elemen-elemen negara," ungkapnya.

Kepemimpinan Jokowi-Maruf belum genap satu tahun. Jokowi masih punya waktu dan mesti menjawab harapan publik yang setia memberikan dukungan pada periode II dan percaya bahwa janji penuntasan pelanggaran HAM dan intoleransi akan ditunaikan pada periode II ini.

Hendardi menjelaskan HAM adalah paradigma bernegara, bukan semata kasus atau pelanggaran HAM. Jokowi semestinya meletakkan HAM sebagai paradigma dalam pembangunan infrastruktur, kebijakan investasi, penguatan SDM dan agenda pembangunan lainnya. Dengan pemahaman yang demikian, agenda HAM bisa diintegrasikan dalam seluruh kinerja pemerintahan. 

Perlu diingat bahwa tugas konstitusional memajukan kesejahteraan umum dan melindungi segenap bangsa Indonesia, yang di dalamnya juga memuat jaminan atas keadilan, penanganan pelanggaran HAM dan jaminan kesetaraan dalam beragama/berkeyakinan bukanlah tugas yang harus dipilih-pilih oleh seorang presiden. Semua tugas konstitusional melekat pada seorang presiden dalam suatu periode pemerintahan.

Oleh karena itu, presiden dibekali kewenangan mengangkat menteri dan kepala badan dalam berbagai bidang agar bisa menjalankan tugasnya secara bersamaan. Sepanjang para pembantu presiden memiliki kepekaan dan kecakapan dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan maka tidak ada alasan bagi pemerintah menunda tugas-tugas konstitusional tersebut. Apalagi, khusus agenda penuntasan pelanggaran HAM masa lalu dan penanganan intoleransi, merupakan agenda yang tertunda pada periode pertama, di mana secara eksplisit termaktub dalam Nawacita Jokowi 2014. 

(G-2)

BACA JUGA: