JAKARTA - Pemerintah telah menyerahkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja  klaster ketenagakerjaan ke DPR tanpa meminta pendapat dari serikat pekerja. Rupanya hal itu diduga lantaran banyak pasal yang memang memberatkan pekerja, mulai dari yang berhubungan dengan upah minimum (UM) hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).

Berdasarkan draf yang diperoleh Gresnews.com, secara umum terdapat banyak pasal yang dibuat dengan perincian ketentuannya diatur lebih detail dalam peraturan pemerintah (PP). Hal itu berbeda bila dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang relatif lebih jelas.

Misalnya, aturan tentang  PHK menjadi dipermudah. Dalam Pasal 154 dikatakan bahwa PHK dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja atau buruh. Bila kesepakatan tersebut tidak tercapai, penyelesaian PHK dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Alasan PHK ini kemudian diperjelas lagi dalam Pasal 154 A ayat (1).

Namun, pada poin J muncul ‘kejutan’ yang menyebutkan PHK dapat dilakukan jika pekerja atau buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB). Poin tersebut jauh berbeda dengan UU Ketenagakerjaan yang berlaku saat ini, di mana sebelum PHK dilakukan, pengusaha, pekerja, serikat pekerja dan pemerintah harus mengusahakan agar pemutusan tersebut tidak terjadi. Salah satunya dengan adanya surat teguran atau peringatan terlebih dahulu dan tidak perlu penetapan pengadilan.

Sementara itu tentang urusan Upah Minimum (UM) tertuang dalam Bab IV tentang Ketenagakerjaan Pasal 88C. UM memang tidak dihapuskan, namun pemerintah ternyata menghilangkan peran dewan pengupahan dalam penentuan UM dan digantikan dengan gubernur.

Dalam pasal tersebut, gubernur sudah diberikan formula untuk penentuan UM. Rumusnya, UM provinsi dihitung dengan menjumlahkan UM tahun berjalan dengan hasil kali UM tahun berjalan dengan persentase pertumbuhan ekonomi tahun berjalan. Artinya tidak lagi menghitung inflasi dalam kenaikan UM. Berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, yang menyebutkan kenaikan UM berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Ketua Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI) Indra Munaswar menjelaskan dengan demikian UM akan sama di seluruh daerah. Padahal saat ini saja UM Karawang sudah mencapai Rp4,9 juta, jauh lebih besar dari UM Provinsi Jawa Barat yang berkisar Rp2 jutaan saja. "Tentu itu merugikan buruh," kata Indra kepada Gresnews.com, Jumat (14/2).

Hal penting lainnya adalah komponen pesangon yang mengalami perubahan. Ada dua komponen yang digunakan sebagai dasar perhitungan pesangon dan uang penghargaan masa kerja buruh. Yakni, upah pokok pekerja dan tunjangan tetap yang diberikan kepada buruh dan keluarganya.

Rumus ini berbeda dengan aturan saat ini yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Dalam aturan tersebut, komponen yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti adalah upah pokok. Kemudian, dalam UU ketenagakerjaan jelas aturannya, di mana kompensasi PHK berdasarkan alasannya. Misalnya, PHK dengan alasan efisiensi maka akan mendapat 2 kali PMTK (Peraturan Menteri Tenaga Kerja), yaitu 2 x pesangon (Pasal 156 ayat (2)) + penghargaan masa kerja (Pasal 156 ayat (3)) + penggantian hak (Pasal 156 ayat (4)).

(G-2)

BACA JUGA: