JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu dalam perkara uji materil UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menimbulkan berbagai tanggapan dan penafsiran di masyarakat. Salah satu poin yang mengemuka adalah konsekuensi dari putusan MK tersebut bahwa mulai saat ini kreditor atau pemberi pinjaman tidak dapat lagi secara langsung mengambil dan menjual barang yang menjadi jaminan fidusia, tanpa adanya putusan pengadilan. 

Fakultas Hukum Universitas Nasional (UNAS) Jakarta membedah masalah tersebut dengan menggelar seminar nasional bertajuk Kekuatan Eksekutorial Jaminan Fidusia Pasca Putusan MKRI Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang berlangsung di Auditorium UNAS, Jakarta, Rabu (5/2).

"Putusan Mahkamah Konstitusi itu bagi sebagian orang dianggap memberikan ketidakpastian bagi penerima jaminan fidusia," kata Ketua Panitia Aziz Rahimy kepada Gresnews.com, Sabtu (7/2).

Dosen Fakultas Hukum UNAS itu menjelaskan jaminan fidusia adalah bentuk jaminan kebendaan yang diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, dan memberikan hak-hak khusus bagi penerima jaminan, antara lain hak kreditor untuk menjual sendiri barang jaminan tanpa harus ada putusan pengadilan (parate executie). Dampak dari putusan MK itu, kata Aziz, antara lain, sebagian konsumen enggan untuk menyerahkan barang yang menjadi objek fidusia kepada pihak pemberi pinjaman, meskipun sudah diberikan peringatan, karena keterlambatan membayar angsuran. Di sisi lain, pihak kreditor---baik bank, perusahaan pembiayaan/leasing, maupun lembaga pembiayaan lainnya---akan lebih berhati-hati saat hendak memberikan pinjaman. "Pada akhirnya dikhawatirkan masyarakat menjadi lebih sulit mendapatkan pinjaman," ungkapnya.

Untuk dapat memahami putusan MK tersebut, menurut Aziz, perlu membaca lebih lanjut pertimbangan majelis hakim. Disebutkan bahwa dalam jaminan fidusia tetap melekat kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan kreditor selaku penerima jaminan fidusia tetap memiliki kewenangan penuh untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi), sepanjang debitur telah cedera janji dan tidak ada keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia. "Dengan demikian cedera janji dan tidak ada keberatan menyerahkan adalah dua faktor penting dalam eksekusi jaminan fidusia," kata Aziz.

Dijelaskan oleh Aziz, terhadap cedera janji tidak boleh ditentukan secara sewenang-wenang oleh kreditor, namun harus mengacu pada perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak. Dalam hal debitur merasa telah memenuhi semua kewajiban maka kreditor tidak bisa memaksakan untuk melakukan eksekusi, tetapi kreditor harus menempuh upaya hukum untuk membuktikan bahwa debitur cedera janji. Hal itu dilakukan untuk menjaga keseimbangan posisi hukum antara pemberi jaminan fidusia/debitur dan kreditor, serta untuk menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi yang dapat berakibat pada tindakan kekerasan dan perbuatan melawan hukum. Majelis hakim juga menyebutkan apabila debitur telah mengakui cedera janji maka tidak ada alasan untuk tidak menyerahkan benda yang menjadi objek fidusia kepada kreditor.

Aziz berharap, dalam hal eksekusi jaminan fidusia, kreditor sebagai pelaku usaha perlu meningkatkan transparansi informasi kepada konsumen, terutama informasi mengenai apa yang dimaksud dengan cedera janji dan konsekuensi dari cedera janji itu. "Perlu dilakukan peningkatan ketelitian konsumen untuk memahami isi dari perjanjian dan memberikan kepastian hukum serta menghindari `gesekan` antara kreditor dan debitur.

(G-2)

BACA JUGA: