JAKARTA - Pakar hukum menyayangkan langkah pemerintah yang tidak terbuka saat melakukan pembahasan draf revisi undang-undang dengan sistem omnibus law yakni Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja. Proses yang tertutup itu sangat disayangkan lantaran menyalahi aturan tentang keterbukaan informasi.

Guru Besar Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Maria Farida Indrati menegaskan tindakan pemerintah itu meniadakan partisipasi masyarakat. "Itu yang disayangkan. Karena masih kelihatan tertutup. Jadi kita belum tahu. Di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan itu ada asas keterbukaan dan partisipasi masyarakat. Selama ini sudah ribut, tapi kok kita belum tahu seperti apa. Itu yang menjadi masalah," kata Maria Farida Indrati kepada Gresnews.com, Kamis (6/2).

Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) 2008-2018 itu menegaskan hingga kini ia belum mengetahui isi draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Ia hanya mengetahui undang-undang apa saja yang akan diambil pasal-pasalnya untuk dimasukkan dalam omnibus law tersebut.

Sementara itu Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria Sri Wulan Sumardjono menegaskan ommnibus law Cipta Lapangan Kerja itu dibuat untuk tujuan menarik investasi. Setiap investasi itu, kata dia, memerlukan ketersediaan tanah dan sumber daya alam yang lain seperti tambang, hutan dan sebagainya.

"Ketika ia membutuhkan itu untuk memulai usahanya, itu akan menuai permasalahan. Karena apa? Karena peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya alam itu tidak harmonis, tidak sesuai, tumpang tindih, bahkan bertentangan," kata Maria Sri Wulan kepada Gresnews.com.

Ia menilai, dari sisi agraria atau pertanahan, masih banyak terjadi konflik yang belum tuntas. Mulai dari peraturan yang centang-perenang, juga ketimpangan pemilik modal sehingga bisa menguasai sumber daya alam seluas-luasnya. Sedangkan masyarakat, kelompok rentan, petani, buruh, nelayan, perempuan, dan masyarakat hukum adat tidak bisa mengakses sumber daya alam tersebut. Bila hal tersebut dibiarkan maka ketimpangan akan semakin melebar. Dengan dibukanya kesempatan secara luas bagi pemodal besar dalam memperoleh sumber daya alam maka masyarakat kecil akan semakin sempit kesempatannya untuk memperoleh akses tersebut.

"Jadi ketidakadilan akan berjalan terus. Karena itu, ya tolonglah undang-undang yang centang-perenang di bidang sumber daya alam itu diharmoniskan. Konflik-konflik agraria itu diselesaikan secara tuntas. Undang-undang tentang masyarakat hukum adat itu tolonglah supaya disegerakan. Dan juga program-program untuk restrukturisasi dari ketidakadilan penguasaan tanah yang sudah ada Perpres-nya (Peraturan Presiden) itu, ya supaya dijalankan sungguh-sungguh. Jadi investasi diimbangi PR-PR (pekerjaan rumah) untuk menyejahterakan rakyat," harap Maria Sri Wulan.

(G-2) 

 

BACA JUGA: