JAKARTA - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak agar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) segera direvisi. Kali ini aktivis Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA) Padang, Sudarto Toto, yang menjadi korban pasal karet dalam UU ITE. Sudarto ditangkap karena mengkritik terkait dugaan pelarangan ibadah Natal di Nagari Sikabau.

Peneliti ICJR Ary Pramuditia menjelaskan penerapan Pasal 28 ayat (2) UU ITE terhadap Sudarto tidak tepat. Pasal tersebut tidak sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian. "Yaitu untuk mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau bahkan perpecahan berlatar belakang SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif," kata Ary dalam keterangan yang diterima Gresnews.com di Jakarta, Rabu (8/1).

Ary berpendapat Sudarto melontarkan kritik dalam media sosialnya karena adanya dugaan pelarangan ibadah Natal di Nagari Sikabau bukan untuk menghasut masyarakat agar membenci atau melakukan anarki, sehingga penerapan Pasal 28 ayat (2) terhadap Sudarto tidak tepat. Tidak terdapat unsur “untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan”. Pasal ini tepat penerapannya bila seseorang menuliskan status dalam jejaring sosial informasi yang berisi provokasi terhadap suku/agama tertentu dengan maksud menghasut masyarakat untuk membenci atau melakukan anarki terhadap kelompok tertentu.

Ari menambahkan tindakan yang dilakukan kepolisian terhadap Sudarto merupakan upaya pembungkaman kebebasan berekspresi, khususnya dalam isu kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta merupakan bentuk kriminalisasi atas upaya Sudarto membela hak konstitusional kelompok minoritas untuk beragama dan beribadah secara merdeka, sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Komite HAM PBB dalam Komentar Umum Nomor 34 juga telah menjelaskan kondisi pembatasan kebebasan berekspresi, namun (pembatasan tersebut) tidak diperbolehkan untuk mendiskriminasi atau menentang satu atau beberapa agama atau sistem kepercayaan, atau penganutnya atas yang lain, kecuali dibatasi secara ketat untuk mencegah hasutan yang mengarah pada diskriminasi, permusuhan dan kekerasan (except if strictly limited to curtailing incitement to “discrimination, hostility or violence”).

Ari mendesak agar revisi UU ITE segera dilakukan karena memiliki rumusan tindak pidana yang sangat “lentur” dan meluas, sehingga menyebabkan penggunaan pasal-pasal di dalamnya menjadi tidak presisi dan bahkan eksesif oleh aparat penegak hukum. "Kami dorong agar tidak ada lagi korban baru segera revisi, masukkan dalam Prolegnas Prioritas 2020 untuk direvisi," ujarnya.

Revisi UU ITE tersebut hendaknya juga memperhatikan beberapa hal. Pertama, pemerintah harus menghapus seluruh pasal pidana yang duplikasi dan berpotensi overkriminalisasi. Selain itu agar tidak terjadi duplikasi berkelanjutan, perubahan UU ITE nanti pun harus sejalan dan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam RKUHP yang kini sedang dalam tahap pembahasan. Kedua, revisi UU ITE harus mengembalikan hal baik yang pernah dirumuskan oleh UU ITE 2008 bahwa mekanisme upaya paksa harus dengan izin dari pengadilan. Ketiga, revisi UU ITE harus memperjelas mekanisme pengaturan blocking dan filtering konten.

Pada dasarnya ICJR memandang bahwa blocking dan filtering konten adalah kewenangan yang memang harus dimiliki oleh pemerintah, namun, batasan konten atau muatan internet yang dapat dibatasi, bagaimana prosedur pembatasannya, dan bagaimana mekanisme pemulihannya harus diatur dengan tegas dan jelas karena berhubungan dengan pembatasan hak asasi manusia. (G-2)

BACA JUGA: