JAKARTA - Pemerintah saat ini tengah menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law atau RUU `Sapu Jagat` untuk memperlancar arus investasi dan harmonisasi aturan. Setidaknya ada dua undang-undang yang mendesak untuk dibahas dalam Omnibus Law, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang.

Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Mardani H. Maming berharap RUU Omnibus Law mampu menyelesaikan ketidakharmonisan dua aturan tersebut. "Tumpang-tindih dan ketidakharmonisan kedua undang-undang ini membuat investasi berjalan lamban," kata Mardani dalam keterangan yang diterima oleh Gresnews.com, Selasa (7/1).

Tak hanya itu, karena tak harmonisnya kedua undang-undang itu, kepala daerah, para pengusaha dan investor rawan bermasalah secara hukum. Parahnya lagi, kedua undang-undang tersebut, ujar Maming, mempunyai peta masing-masing sehingga bila izin yang dikeluarkan kepada pengusaha atau investor tidak sesuai dengan peta dalam salah satu undang-undang maka pengusaha kerap bermasalah secara hukum.

"Misalkan, tidak sesuai dengan peta yang ada di UU Kehutanan, kementerian terkait dan penegak hukum akan memperkarakan. Padahal peta itu sudah sesuai dengan UU Tata Ruang," ujar Maming.

Menurutnya, untuk mengeluarkan izin lokasi, AMDAL, dan izin lainnya, gubernur, bupati, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) berpatokan pada UU Tata Ruang, sehingga ketika kepala daerah mengeluarkan izin lokasi di atas hutan produktif, bisa saja bermasalah pada kemudian hari sebab dianggap tidak sesuai peruntukannya dengan peta di UU Kehutanan. "Kepala daerah bisa bermasalah secara hukum. Ini yang membuat kepala daerah khawatir mengeluarkan izin, sesuai kewenangannya," ujarnya.

Sementara itu di sisi lain, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan penegak hukum kerap berpatokan pada UU Kehutanan. Tak hanya itu, berdasarkan kedua undang-undang itu, Kementerian Tata Ruang mengeluarkan Hak Guna Usaha (HGU), sedangkan KLHK mengeluarkan Hak Pengelolaan (HPL). Masalahnya adalah kedua aturan itu membawa peta masing-masing yang berbeda satu dengan lainnya.

"Karena peta keduanya tidak sinkron, banyak pengusaha dan investor enggan berinvestasi. Sebab HGU-nya nanti bisa dianggap melanggar peta yang sudah ada di UU Kehutanan. Bisa bermasalah secara hukum. Jadi pada takut. Sebab semua tidak jelas alas hak lahannya. Di sini letak ketidakpastian hukumnya," kata Maming.

Tak hanya pengusaha, kepala daerah pun enggan dan takut mengeluarkan perizinan. Faktor inilah yang membuat banyak kepala daerah menunda menerbitkan izin lokasi maupun IMB untuk investor.

Sebab itu, HIPMI berharap agar program Omnibus Law mampu menyelesaikan persoalan ini ke depan agar investasi berlari kencang. Bila masalah pertanahan dalam dua undang-undang itu tidak terselesaikan, HIPMI memastikan investasi tak akan lebih akseleratif. "Sebab, sebelum berinvestasi, masalah lahan ini yang pertama kali diselesaikan oleh investor. Yang lain cuma ngikut," ucap Maming.

Apalagi, menurut Maming, sebanyak 32,6% penghambat investasi datang dari masalah perizinan, pengadaan lahan 17,3%, dan regulasi/kebijakan sebanyak 15,2%. Sebelumnya, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahaladia menyebutkan sebanyak 1.500 Surat Keputusan (SK) menteri menghambat kemudahan investasi. Tumpang tindih dan tidak sinkronnya regulasi yang ada membuat para pengusaha dan investor rawan dikriminalisasi.

Bahlil menjelaskan hingga kini tingkat kemudahan berbisnis di Indonesia berada di urutan 73 menurut data Bank Dunia. Pemerintah sedang berupaya menggenjot peringkat kemudahan berbisnis naik ke level 50. Untuk itu, BKPM akan meminta pemangkasan regulasi di kementerian dan lembaga pemerintah. (G-2)

 

BACA JUGA: