JAKARTA - Media sosial bukan sekadar ruang untuk menyampaikan pendapat dan opini politik dalam pemilihan umum. Faktanya, di media sosial juga terjadi praktik iklan kampanye berbayar yang berpotensi melanggar privasi warga negara sekaligus mengancam demokrasi. Perlu pengaturan lebih jauh mengenai iklan berbayar dan penggunaan data pribadi di media sosial.

Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar menegaskan pemerintah dan DPR perlu mempercepat pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi. "Tujuannya untuk memperkuat hak-hak pemilik data, termasuk data pribadi pemilih, juga memperjelas tanggung jawab dari pengendali dan prosesor data pribadi, salah satunya adalah partai politik," katanya kepada Gresnews.com, Jumat (20/12).

Ia menjelaskan praktik kampanye politik lewat media sosial dalam praktiknya tidak ada transparansi mengenai kejelasan konten. Hal itu dapat menimbulkan kecurigaan pada hasil pemilu sehingga dapat berpotensi kerusuhan yang sangat besar. Masyarakat lebih banyak menggunakan unggahan pada ruang tertutup (Whatsapp dan Facebook) dengan akun terbuka. "Kami meneliti khusus pada eks sponsor (tidak secara keseluruhan konten) yang digunakan oleh kandidat di layanan media sosial," imbuhnya.

Wahyudi memberikan salah satu contoh penerapan iklan yang berkaitan dengan penyebaran informasi pemilihan umum. Partai politik seharusnya dapat menjelaskan secara spesifik dan detail terkait pembelanjaan iklan parpol di media sosial, konten yang disebarkan, dan target pemilih yang dituju. Perusahaan penyedia media sosial pun harus dapat menjelaskan iklan apa saja yang diminta oleh partai politik dan berapa total keseluruhan sehingga dapat dicek satu sama lain. "Sehingga semua orang bisa lihat," ujarnya.

Masalah lain yang timbul dari iklan di media sosial juga terjadi pada partai politik. Mereka melakukan analisis data politik dengan pemrosesan data, namun merasa tidak menjadi kewajiban untuk menjaga kerahasiaan data. "Saya berharap ini diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang dapat menjelaskan bagaimana posisi partai politik, kewajiban, dan tanggung jawabnya. Ini masih RUU dan akan dibahas pada tahun 2020," kata Wahyudi.

Penggunaan media sosial sebagai media kampanye politik, telah mengubah metode konvensional dalam penyampaian pesan kampanye. Jika media tradisional melakukan metode kampanye dengan target demografi yang besar, media sosial mampu melakukan penargetan pemilih secara individu melalui proses yang disebut political microtargeting.

Metode ini sebenarnya dikembangkan sebagai strategi pemasaran bisnis yang dilakukan dengan menggunakan data pengguna secara individu. Kemudian dikembangkan untuk mengidentifikasi pemilih yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) secara individual, dengan mengirimkan iklan kampanye politik yang sesuai dengan (kemungkinan) minatnya. Bahkan dalam beberapa kasus, konten iklan yang ditargetkan tersebut tidak menutup kemungkinan mengandung materi yang disinformatif.

Praktik iklan kampanye berbayar di media sosial berpotensi melanggar privasi warga sekaligus mengancam demokrasi itu sendiri. Pada 2018, masyarakat global dikejutkan dengan terkuaknya skandal Cambridge Analytica, yang menggunakan data pribadi pengguna sosial Facebook untuk menargetkan iklan politik berdasarkan hasil analisis pandangan politik mereka di media sosial.

Beberapa proses politik di berbagai negara juga terbukti melakukan penyalahgunaan data pribadi. Selain Amerika Serikat, praktik serupa juga ditemukan pada kasus Brexit dan Kenya. Hal itu kemudian mendorong publik untuk meminta pertanggungjawaban dari penyedia platform, perihal instrumen kampanye politik yang mereka sediakan. Dalam perkembangannya, Twitter akhirnya menetapkan kebijakan untuk menghapus iklan politik. Sementara itu Google melahirkan fitur transparansi terkait pemasang iklan kampanye politik. (G-2)

BACA JUGA: