JAKARTA - Saat menyampaikan pidato pelantikan, Presiden Joko Widodo menyatakan akan melakukan upaya penyederhanaan undang-undang di Indonesia yang ia sebut sebagai Omnibus Law. Namun, ternyata, penerapan Omnibus Law tidak mudah, perlu beberapa prasyarat agar bisa diwujudkan.

Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Muhammadiyah Surakarta Aidul Fitriciada Azhari, yang juga Komisioner Komisi Yudisial (KY), menjelaskan Omnibus Law dilakukan sebagai upaya untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan, terutama yang berkaitan dengan investasi. "Itu agenda yang sudah seharusnya dilaksanakan, bukan agenda khusus," kata Aidul kepada Gresnews.com, Kamis malam (12/12).

Ia menjelaskan, selama ini, menjalankan langkah biasa tidak akan efektif. Misalnya, bila ada aturan yang tumpang tindih di Kementerian Hukum dan HAM, sudah ada Direktorat Jenderal Perundang-undangan. Namun itu tidak efektif karena prosedurnya terlalu rumit dan menyangkut banyak instansi/lembaga lainnya.

Karena itu, lanjut Aidul, untuk melakukan sinkronisasi perlu dilakukan secara bersamaan, baik secara vertikal maupun horzontal. Di Indonesia banyak sekali lembaga atau instansi yang memiliki kepentingan dalam satu urusan. Namun aturan yang dikeluarkan tumpang tindih, belum lagi di daerah yang memiliki kewenangan otonomi daerah.

"Jadi Omnibus Law ini hanya metode untuk mempercepat harmonisasi dan sinkronisasi peraturan," ujarnya.

Menurutnya, kendati sudah masuk program legislasi nasional (prolegnas) di DPR, namun masih harus melalui empat tahapan lagi sebelum menjadi produk undang-undang. Belum lagi di tingkat pemerintah, masih dalam tingkat pembahasan.

Tentu saja selain dampak positif dari Omnibus Law yakni sinkronisasi dan harmonisasi sehingga memudahkan investasi masuk, ada juga dampak negatifnya. Misalnya, akan ada beberapa kewenangan yang hilang, terutama di daerah. Tentu juga terjadi perubahan struktural baik di daerah maupun pusat dengan pemberlakuan Omnibus Law ini. "Itu risiko yang muncul karena ada peraturan baru yang muncul," ungkapnya.

Ke depan, kata Aidul, tidak menutup kemungkinan ada peluang Omnibus Law dilakukan pada bidang lain seperti kemaritiman. Selama ini urusan kemaritiman ada banyak lembaga yang mengurusi, mulai dari TNI AL, Badan Keamanan Laut RI (Bakamla) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kelak semua itu bisa saja digabung dengan menggunakan aturan yang dipakai bersama. Tujuannya untuk mempermudah urusan kemaritiman sehingga menjadi lebih efisien dan efektif.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia mencatat pada masa pemerintahan Jokowi hingga November 2019, telah terbit 10.180 regulasi. Rinciannya, 131 undang-undang, 526 peraturan pemerintah, 839 peraturan presiden, dan 8.684 peraturan menteri. Dampaknya muncul tumpang-tindih aturan yang menghambat akses layanan publik dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Misalnya, pada proses pra-pendaftaran untuk memulai usaha saja diatur oleh sembilan undang-undang, dua peraturan pemerintah, empat peraturan presiden, dan 20 peraturan menteri. Akibatnya, untuk memulai usaha saja membutuhkan banyak biaya, waktu, dan prosedur yang harus dilalui.

Alhasil kemampuan pemerintah dalam membentuk serta mengimplementasikan kebijakan dan peraturan untuk mendorong pembangunan sektor usaha dinilai rendah dibandingkan dengan negara lain. Indeks dari Bank Dunia yang mengukur kemampuan tersebut memperlihatkan skor mutu regulasi Indonesia sejak 1996 hingga 2017 selalu berada di bawah nol (dari skala -2,5 hingga 2,5). Bahkan, di kawasan Asia Tenggara, pada 2017, Indonesia hanya menempati posisi kelima dengan skor -0,11, tertinggal jauh dari Singapura yang memiliki skor 2,12 di peringkat pertama. (G-2)

 

BACA JUGA: